C/1/ Mimpi Anak Digilas Zaman
#Part1
Terlalu cepat tubuh dilahirkan
Terlalu sering raga dihantam kutukan
Dari setiap bahasa dibalut amarah
Pada setiap kata ditaburi sumpah serapah
Untuk apa dilahirkan?
Kalau kemudian tak dianggap
Sampai, dikucilkan dengan ejekan
Hingga air mata terus dibendung tertutup
Tuhan telah menggariskan takdir tentang jodoh, rezeki, dan maut pada setiap makhluk yang bernama manusia. Dari tiga jalan takdir yang terus melembutkan pikiran. Ada yang tetap berusaha sekuat tenaga. Ada lagi yang masih bersantai-santai menjalani hidup. Iya, itu adalah hak pribadi, mau tetap berusaha dengan tabah sambil dibumbui doa. Atau lebih banyak mengutuk diri ketimbang tetap bersyukur.
Nyatanya, hidup tetap berjalan. Baik mau ikut ego sendiri atau ikut terbentur oleh tekanan. Kemudian terbentuk oleh keadaan dari lingkungan sekitar. Siapa yang bertahan, maka ia tetap menjadi pemenang dalam percaturan hidup karena karakternya terbentuk perlahan-lahan. Dan, kita yang pasrah dengan keadaan, terus digoreng zaman sampai sering kali menyalahkan setiap tawaran bijak yang datang.
Arah jarum kehidupan tetap berputar. Roda zaman terus bergerak. Usia tetap bertambah. Kedewasaan berpikir dan bertindak sedang diuji. Dan, ingatan kembali bercumbu di langit pikiran, ketika ditarik ulur pada sebuah ingatan masa lalu. Maka, susunan ceritanya seperti ini.
24 Desember 1996
Tangis pertama pecah di rahim ibu ketuban. Perjuangan ibu sembilan bulan sepuluh hari demi merawat janin. Saat ini, antara maut dan tetap hidup sedang diperhadapkan di depan mata. Ialah proses kelahiran yang melelahkan dari usaha ibu pemurah senyum.
Malam menjemput lembut, waktu yang dinanti telah memikat. Sang bayi terlahir selamat. Semua mata tersenyum, sedangkan bayi mungil diletakan di atas dada, Ibu. Syukur tak lupa dipanjatkan. Suara adzan dilantunkan di telinga kanan dan ditambah qamat pada telinga sebelah kiri.
"Ayah, bagusnya dikasih nama siapa ini sang buah hati?" Tanya ibu sambil mengelus tubuh bayi yang masih menangis.
Jeda memilih berdamai menunggu jawaban. Ayah seolah diketuk hatinya berkali-kali. Bukan karena kaget dengan pertanyaan, tapi rasa bahagia terlalu mendalam. Karena antara bayi dan ibu ditakdirkan Tuhan untuk tetap selamat berteman raga. Dan, semesta masih ikut mendukung, kalau mereka akan menjadi atap keluarga yang segera meramaikan rumah.
Sudah sedari beberapa bulan lalu, nama sang bayi sudah disiapkan oleh, Ayah. Tapi, ayah belum juga berkata-kata. Seolah bicara pun berat seperti hidup dalam tikaman tombak. Sambil menatap ke langit rumah, ayah mengusap wajahnya. Ibu tetap menatap dengan tenang dan terus menggoyangkan bayinya.
"Namanya, Bara" Bisik ayah dengan suara terbatanya.
Senyum ibu kembali dipancarkan. Tangan ibu dipijit lembut oleh ayah. Ibu dan ayah seperti bernostalgia pada masa lalu. Pada sebuah masa tentang rasa dan rindu mencekam tubuh dua anak manusia yang berkomitmen hidup dalam satu naungan rumah.
"Namanya seperti sebuah kekuatan besar. Semoga, ia tetap menjadi anak yang teladan dan selalu patuh kepada orang tuanya." Kata ibu sambil menjatuhi air mata.
"Amin ... semoga tetap berbakti tanpa banyak menyakiti. Tetap mengabdi pada tanah kelahiran. Dan, ikut menyongsong segala panggilan baik yang datang secara mendadak dan sengaja, ia tetap dalam keaadan siap sediah." Kata ayah sambil mengusap rambut Bara.
-•-
Bara tumbuh dalam lingkungan yang dibilang cukup sederhana. Tak pernah mengelak segala perintah orang tua. Tak pernah melanggar segala larangan yang sering kali dinasihati.
Teman-teman Bara sering kali mengajak bermain di sekitaran halaman rumah. Anatara Bara dan teman-temanya, seolah sedang menikmati masa bahagianya. Mereka bermain dengan riang gembira tanpa ada yang melarang. Ayah Bara menatap dari dalam rumah sambil senyum sendiri. Kemudian melanjutkan membaca buku kembali.
"Bara... Bara... Bara..." Panggilan ibu dari arah dapur.
Bara bergegas menemui ibunya. Sambil berpesan kepada teman-temannya, bahwa sebentar ia akan kembali. Karena ibunya sedang memanggil.
"Iya, Ma. Ada apa, Ma!" Bara bertanya kepada ibu.
"Mainya besok baru dilanjutkan, Ya! Ini waktunya kamu harus istirahat. Menjaga kesehatan itu penting. Biar kamu tetap terjaga dari kelelahan karena terlalu banyak bermain."
"Kalau begitu Bara kasih tahu teman-temannya dulu, Ma!"
Bara berlari kembali ke kerumunan teman-temannya yang sedang asyik bermain.
"Maaf teman-teman ... saya tadi dipanggil, Ibu. Kata ibu, saya harus istirahat. Jadi, besok baru kita lanjutkan bermain lagi." Tegas Bara kepada teman-tenannya dengan rasa bersalah.
"Tidak apa-apa, Ra. Masih ada hari esok." Ungkap Zaki.
Rahim dan Fatih ikut sepakat apa yang diutarakan oleh, Zaki. Mereka berpamitan pulang. Dan, Bara kembali ke dapur untuk melihat kembali ibunya yang sedang mencuci piring.
"Cepat sekali kasih tahu teman-temannya. Seru tadi mainnya, Nak?" Tanya Ibu.
"Seru sekali, Ma. Tadi Bara, Zaki, Fatih dan Rahim main perang seperti yang sering ayah ceritakan."
Bara bergegas ke kamar mandi membersihkan badannya. Ibunya terlalu lembut melatih Bara hidup disiplin dan mandiri semenjak usia dini. Biar semakin tumbuh dewasa, ia tak dimanjakan oleh segala harta dan kekayaan kedua orang tuanya. Sebab, sebaik-baiknya harta harus diperoleh dengan keringat sendiri. Sebaik-baiknya usaha adalah keringat yang menetes karena bekerja keras. Dan, campur tangan kedua orang tua adalah sebuah jalan menjemput masa depan yang gemilang.
Setelah selesai mandi, Bara meminta izin kepada ibunya untuk istirahat siang. Tak lupa ia mencium tangan ibunya, sebelum kaki beranjak menuju ke tempat tidur.
"Wah... sudah bersih ini pangerannya, Ayah. Jangan lupa berdoa sebelum tidur, Nak. Biar dalam tidurmu tetap dalam lindungan Allah." Sapa ayah.
"Siap, Ayah. Bara selalu berdoa dalam melakukan hal apa pun. Seperti yang sering diajarkan, Ayah."
Kali ini, Bara tak didogengkan. Karena ia tahu ayahnya sedang serius membaca. Jadi, Bara tak menagi kebiasaan yang sering kali jadi budaya mengantar ia terlelap dalam alam mimpi.
-•-
Makassar, 25819 | Djafar Doel AH
C/2| Mimpi Anak Digilas Zaman
#Part2
Nurani mulai berdamai
Dengan kondisi yang ramai
Memilih banyak diam
Dan, menatap tajam tanpa memejam
Adalah tentang segala petuah
Tentang cerita sejarah
Dibalut duka
Diapit luka
Kebanyakan manusia, sering kali menghukum dirinya tanpa memperluas cara bergaulnya. Hidup dalam kamar damai yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Sedangkan tangis duka masih menghujan di luar sana tanpa henti, dibiarkan pecah menemui sepi. Ialah kita manusia yang terlalu kedepankan ego sampai tak peka melihat keadaan. Adalah raga yang ingin memenuhi nafsu diri sendiri dari pada harus banyak menyelamatkan orang lain.
Duka sengaja dibuat terlarut tanpa mencari kesibukan lebih menjanjikan agar semua bisa terusir. Luka tetap mencekam tanpa mengusir dendam. Padahal, maaf dan memaafkan adalah hadiah terbaik menuju kelegaan. Nyatanya, dendam terus membara seperti nyala api rasisme yang diteriakan di negeri ini. Kesampingkan perbedaan tanpa merawat persatuan. Sejarah kian dilupakan tanpa dipelajari ulang secara teliti.
Hidup dalam kotak hitam putih yang terus jadi abu-abu. Dan, tinggal debu jalanan yang akan menemani para pejalan yang terus berteriak lantang. Kaki setia melangkah tanpa ketakutan. Keyakinan masih bersemayam dengan jiwa besar yang bernafaskan baja. Udara sejuk teduh dalam gelombang sunyi.
Sakian luka dibiarkan menua. Tentang sejarah tak banyak yang berkata terbuka. Zaman pongah menggerogoti hati. Membuat kita tak berhati-hati sebagai anak manusia yang merdeka. Melampiaskan kata-kata dengan telanjang. Menampakan diri sebagai tamu di negeri sendiri yang penuh kekacauan. Hadirlah para pahlawan kesiangan seolah ingin ditokohkan. Omong kosong berlibat ganda mengalahkan prikemanusiaan.
Adalah tentang refleksi dari seorang yang bernama Bara. Ia kembali membuka lembar kusam yang pernah dicatat pada beberapa tahun lalu. Kekhawatiran dalam hatinya lebih cepat bergetar. Bara masih menyimpan rapi segala catatan. Kemudian meramu ulang segala petuah sesuai konteks zaman. Dan, Bara membagi kisahnya kepada publik pembaca.
Suatu Ketika
Ayah sering kali berpesan kepada saya untuk tetap peka melihat keadaan. Di punggung pengharapan arah gerak perubahan ada pada pundak anak muda. Menyulam perbuatan dengan cinta dan meramu kekuatan dengan rasa adalah salah satu cara terbaik merawat keberagaman.
Dalam ruang belajar, ayah datang mengetuk pintu kamarku.
" TOK ... TOK ... TOK ... Assalamualikum"
"Waalaikumsalam, Ayah." Jawabku.
"Pangerannya ayah lagi ngapain? Kayaknya fokus sekali membacanya!" Rayu ayah penuh kasih sayang.
"Lagi membaca, Ayah."
"Rajin sekali membacanya. Semoga dengan membaca, kamu tetap tajam meneropong dunia. Membaca itu bukan hanya sekedar memperkaya kosa kata untuk diri sendiri. Tapi, terjunlah di tengah-tengah masyarakatmu untuk bergaul bersama mereka. Karena di tengah kerumanan sana, banyak pengelaman yang dapat diperoleh. Belajarlah di lingkungan sekitarmu dengan damai. Karena lingkungan dan keadaan akan membentuk diri. Ayah memulai petuahnya. Saya menutup buku kemudian menyimak.
"Walau pun ayah tahu, kalau kamu masih remaja. Memupuk kesadaran sejak sedini mungkin adalah tugas setiap orang tua. Kasih sayang penuh kelembutan merupakan penyokong tumbuh kembangnya seorang anak."
Saya memandang wajah ayah. Tampaknya ia semakin tua. Rambutnya mulai memutih. Wajahnya mulai bergaris. Ayah tetap diam. Petuahnya belum dilanjutkan. Saya beranikan diri untuk bertanya.
"Ayah ... Bara mau bertanya. Kenapa semakin majunya zaman, kebanyakan manusia lebih menghabiskan waktunya berselancar di dunia maya? Dan, kenapa kegaduhan terus dibiarkan berlarut-larut?"
Dengan senyum ayah menepuk pundakku. "Nak, perkembangan zaman adalah sebuah tanda kemajuan. Tapi, dunia nyata semakin mengerikan. Setiap orang berhak untuk menikmati tawaran dari tekhnologi. Namun, jangan sesekali kamu ikut terjerumus sampai melupakan dunia nyata. Karena dunia maya adalah alam semu yang selalu menghipnotis. Makanya, ayah melarang Bara untuk menggunakan gawai kalau bukan untuk hal-hal berguna. Suatu saat, kamu akan tahu, siapa-siapa aktor tangguh yang selalu bersembunyi di balik rumah kaca."
Berkat segala petuah ayah, saya memahami setiap penjelasan. Sedari kecil saya didik untuk tetap membaca dan menulis. Ayah selalu melarang saya lebih giat berselancar di dunia maya. Saya boleh menggunkan gawai, tapi pada jam-jam tertentu. Atau hanya mencari bacaan tambahan.
Dunia masa kecilku yang suka bermain perang bersama sahabatku, kini perlahan mulai sepi. Fatih lebih sibuk membantu ayahnya pergi jualan di pasar sehabis pulang sekolah. Zaki ikut latihan bola kaki setiap sore. Sedangkan Rahim mengembangkan bakat melukisnya di sanggar yang dibina oleh Pak Muluk.
Palingan, kami hanya bisa bermain di hari Minggu. Itu pun kalau masing-masing keluarga kami tidak pergi berliburan.
Duniaku semakin berubah. Segala kebiasaan masa kecil seolah hanya bisa dikenang. Saya terkadang suka tersenyum sendiri setiap kali mengingat keakraban bersama sahabat-sahabatku.
"Apakah semua bisa terulang" tanyaku dalam hati penuh kerinduan. Rasanya, saya terlalu cepat tumbuh. Dengan bertambahnya umur, segala kebiasaan ayah tetap kuikuti. Ayah adalah sosok pejuang yang tak pernah padam. Jiwa periangnya tetap mengalir di darahku. Kebisaaan membaca dan menulisnya tetap diwariskan kepada saya. Apalagi, ayah selalu mengajarkan saya untuk tetap mencintai buku. Perpustakaan pribadi ayah sering saya kunjungi. Terkadang sampai keasyikan membaca, sampai saya lelap tertidur. Dan, dengan semangat ayah menggendongku pindah ke tempat tidur.
-•-
Pribahasa "Buah jatuh tak jauh dari pohon" terus saya percaya. Karena semua sifat dan kebiasaanku selalu mengikuti jejak ayah dan ibu.
Ibu adalah seorang ratu tercantik di dunia yang tak bisa disamakan dalam novel-novel yang ramai dituliskan oleh para pengarang ternama. Atau seperti dalam film-film yang disutradarai oleh aktor-aktor mentereng. Ibu tetap berbeda dengan dunia rekaan. Ibu adalah tempat saya bersandar membasuh peluh dan mendapatkan kelembutan.
Selain sebagai ibu rumah tangga, ibu mengelola butiknya yang terletak di tengah kota. Butiknya ibu ramai dikunjungi oleh pembeli dan lengganan setianya. Dan, beberapa anak cabang segera dibuka di beberapa tempat.
Sesibuk apa pun ibu, ia tak pernah lupa membimbing saya untuk tetap menjadi lelaki yang mandiri. Ibu sering mengajari saya pelajaran agama dan mengaji. Setiap satu minggu sekali, saya selalu setor hafalan Al-Qur'an ke Ibu. Rasanya peran ibu terlalu luar biasa. Menjadi ibu sekaligus guru sepanjang masa, ia ingin saya menjadi seorang penghafal Al-Qur'an.
Saya tetap menjadi seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Apa pun yang diperintahkan ibu, tetap saya jalani dengan ikhlas. Bahkan terkadang saya menggantikan peran ibu di rumah kalau ibu terlambat pulang dari tempat kerjanya.
"Bara ... tadi siapa yang cuci piring? Kok, tidak ada yang kotor!" Tanya ibu.
"Saya, Ma. Karena tadi sebelum tidur siang Bara mencuci."
"Aduh, Nak... sudah rajin kayak ibunya. Ini lama-lama semua seisi rumah Bara yang kerjakan ." Ungkap ibu.
"HAHAHAHAAA... nanti dikira laki-laki tapi kebiasaannya kayak perempuan, Ma. Bara hanya membantu ibu, karena tidak mau melihat ibu terlalu kecapean."
Terkadang, saya dengan ibu bisa jadi sahabat. Karena saya selalu mecurahkan apa yang saya alami ke ibu. Dan, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, kalau ibu punya cara sendiri untuk menjadi penenang sekaligus penyimak yang baik.
Menjadi anak tunggal, banyak yang suka dimanja-manja. Sampai, hal yang paling kecil sekali pun tak bisa kita kerjakan sendiri. Saya tidak mau, kalau terlalu larut dalam dunia yang manja-manja. Kasih sayang adalah harapan setiap orang, tapi semakin dewasa kita harus sadar dan peka untuk tidak menyusakan orang lain. Apalagi, kita harus membebankan kedua orang tua kita.
Sembilan bulan sepuluh hari harus dibalas dengan perbuatan kebajikan. Walau jasa ibu tak pernah tuntas dibalas. Membuat ibu bahagia adalah salah satu jalan pengabdian. Membuat ia tersenyum adalah patuhnya seorang anak yang tahu membalas lelah. Setidaknya, kesempatan kita di dunia lebih banyak dihabiskan untuk berbakti. Baik kepada kedua orang tua, atau pun orang lain. Bahkan terhadap bangsa dan negara.
-•-
Apa pun yang terjadi menimpa setiap raga, selalu ada jalan selusi. Kita tak semestinya terus mengeluh sampai menyalahkan orang lain. Lebih baik merawat bahagia untuk orang lain, ketimbang menabur kecewa dan kebencian sampai terus tumbuh menjalar.
Melihat segala soal yang terjadi di konteks kekinian, arah teropong mata perlu dibuka lebar. Pikiran berlian harus menolak tunduk pada sebuah ajakan yang menghasut sampai membuat perpecahan antarbangsa, ras, agama, dan lain-lain. Sudah terlalu lama, bangsa ini direnggut oleh penindasan dan keangkuhan sampai mengorbankan banyak nyawa. Tugas kita adalah meletakan jalan terang untuk dilalui secara kolektif di atas mimpi kemakmuran.
Kalau pun hak kita terus dirampas paksa, maka kita tak boleh mendiami tanpa berbuat apa-apa. Adalah kita yang harus mencari kekuatan lain untuk saling bahu-membahu biar keadaan tetap damai. Perubahan tak akan datang menghampiri, kalau budaya saling menyalahkan terus me darah daging. Para penguasa akan berkuasa dengan senang hati tanpa kedepankan hati nurani, kalau peringatan tak kita layangkan sebagai hadiah untuk mereka kembali ke jalan yang benar, masyarakat adil makmur.
Lantas apa yang harus disembunyikan kalau raga terus disayat tanpa ampun? Siapa yang berani membuka tabir gelap yang masih terjaga rapi kalau bukan anak muda berani? Bukankah sejarah bangsa mana pun, sebuah perubahan besar selalu dimulai dari semangat kaum muda?
Terkadang, kematian lebih banyak jadi tumbal karena sebuah usaha perlawanan. Banyak yang mati muda sampai sekarang belum dibuka siapa dalang sebenarnya. Semua tetap jadi teka-teki yang sulit dicari jawaban. Belum lagi, segala kekayaan kita kini jadi perjudian berjamaah yang terus beranak pinak. Hingga, kita yang tak bersalah dengan mudah dijadikan korban.
Sekiranya, kita tak mau terus dalam kungkungan komando yang terus menghajar anak bangsanya sendiri. Budaya saling mendengarkan pun mulai asing kita temui. Media yang sebenarnya sebagai corong kekuatan rakyat, kini perlahan dikuasai oleh para bedebah berjas rapi. Penampilan dalam dunia kaca selalu membuat bulu kuduk merinding. Tapi, di belakang layar kompromi tetap berjalan lancar sesuai sistematika berwatak garang.
Negeri ini terlu kaya sampai semua aset dibiarkan dikuasi oleh para investor asing. Perbedaan ras, suku, agama, budaya, dan adat istiadat kini sedang diadu dengan sengaja. Banyak manusia berjubah yang memainkan peran mendukung mereka yang nyatanya berwatak menggilas. Dengan potongan ayat dan kebenaran Tuhan, banyak yang mudah menjual kata-kata dan mengobrak-abrik keutuhan NKRI.
Kejayaan yang pernah menjulang tinggi di bumi pertiwi harus dikembalikan. Di tanah sendiri, harusnya kita tak dianggap sebagai tamu. Karena kita adalah tuan atas diri sendiri. Kita adalah bangsa yang ingin merdeka secara seutuhnya di atas bumi sejarah sendiri. Kita tak perlu membiarkan maling-maling berserak sampai bermukim ke setiap pelosok. Mari putar haluan sejati sesuai cita-cita bangsa. Karena tidak, tak ada sedikit kemajuan yang didapatkan. Malah, kita akan menjadi bangsa yang suka didikte tanpa ampun. Sampai, kemunduran dibiarkan begitu saja.
Makassar, 26819 | Djafar Doel AH
Komentar