Sering ada
perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku
ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara
pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik
terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau
kesabaran.
Namun, pada kata
'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang
disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau
mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan
yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti?
Kemudian muncul
pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini,
aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap
siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap.
Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung
penampilan pakian putih belum pernah dijumpai sampai duduk di bangku SMP. Tapi,
kepercayaan itu selalu melekat.
Pada cerita sang
guru, setidaknya dipetik benang merah. Kalau malam jangan berkeluyuran. Ada
sebuah ajaran yang baik sebagai cahaya menelusuri jalan. Yaitu, bagi para siswa
harus melakukan sholat Magrib dan Isya. Setelah pulang sholat, harus belajar
membaca, menulis, dan mengerjakan tugas. Inilah cara terbaik untuk menenangkan
anak-anak usia kami.
Sampai-sampai,
cerita itu masih mendarah daging di benak kami semua kala reuni SD di tanah ulayat
yang dijadikan permasalahan. Kami pun mengulangi cerita, lalu tertawa lepas
sambil mengganggu antara satu dengan yang lain.
Masih tentang
masa indah yang tetap disulap jadi misteri. Sampai jawaban terus dicari-cari.
Seolah-olah kebenaran sesuatu tak akan usia. Karena dalam diri manusia, tak ada
kepuasan akhir setiap apa yang diperoleh. Lalu kapan manusia merasa bahagia?
Padahal, sederhana untuk peroleh bahagia. Cukup menjalani hidup pada kebenaran
dan jangan mengganggu orang lain. Karena, mengganggu orang lain akan membuat
ketersinggungan yang memunculkan perkelahian.
Terus siapa yang
menjadi penengah kalau pristiwa tak bisa diselesaikan? Apakah meminta si tuan
kuasa untuk turut andil? Sampai mendengar petuah sambil menunduk. Kurasa tak
sedemian menjadi seorang penakut. Hanya satu soal yang membuat manusia jad
penakut dan pecundang. Penakut karena memperoleh suatu informasi lalu ditelan
mentah-mentah. Tanpa menyaring mana yang bisa dijadikan pelajaran dan mana yang
harus ditinggalkan, kemudian tak berani mencoba. Sedangkan pecundang adalah
orang yang punya impian setinggi bukit, tapi kala halangan tiba tak ada jalan
keluar yang ia tangkis untuk tetap maju. Kemudian merasa dirinya tetap terbaik.
Padahal mimpi yang ia dengungkan pun tak kunjung dikerjakan.
Apalagi, zaman
sekarang banyak hal instan. Mau terkenal, cukup mengekspos gambar atau tulisan
pada media sosial. Mau cantik, cukup edit gambar pada aplikasi. Mau terlihat
trend cukup tambahkan latar pada gambar. Kemudian nongkrong di tempat-tempat sedikit
mewah. Padahal, hanya terlihat keren dan butuh pengakuan orang lain. Secara
realitas, belum tentu sesuai dengan apa yang dipamerkan melalui dunia maya.
Apakah kita
terus mengikuti perkembangan zaman? Atau memilih hidup sendiri biar menolak
modernisasi? Inilah pilihan hidup. Antara yang sadar dan tetap berjalan di
tempat. Bukan menolak perkembangan zaman. Tapi kita tetap mengikuti zaman.
Namun tetap bertahan pada prinsip dan cita-cita sebagai manusia yang berbudaya
dan berakal budi.
Kalau mengikuti zaman dengan tren
dan pengakuan. Maka zaman mengajarkan kau, aku, dia dan mereka untuk jadi
manusia yang manja. Setidaknya, antara kau dan aku saling berusaha dengan akal
sehat meraih mimpi. Antara dia dan mereka selalu satu niat untuk terus
bergelora. Setidaknya apa yang dipikirkan dituang dalam tulisan, dan apa yang
dicerita dijadikan sebuah naskah. Biar kita tetap seiring sejalan dalam dunia
menciptakan karya.
Papilawe
Jumat, 10 Agustus 2018
By: Djik22
Komentar