Ajakan selalu tiba tanpa diundang, lalu berhenti di kening keinginan yang bergelora. Sepertinya, dua pilihan membutuhkan komitmen di percikan api dan air. Biar saat berhenti di gurun mampu disirami air tanpa amarah. Lalu membakar api dari kayu bekas sisa potongan para petani. Sehingga raga ini tak diserang dingin dalam kehangatan.
Akan tetapi, api yang kau nyalakan bukan karena kepentingan meraut suara. Sampai-sampai kau selipkan rupiah di dalam amplop untuk memasukan di kntongku. Dengan tegas kukatakan di depan matamu disaksikan pasir yang berdesir "Bahwa mataku tak gila pada warna rupiah, dan pola pikirku tak mampu kau bujuk dengan bahasa manis memanas rasa."
Kemudian rautmu tersipu malu dengan tangan gemetar. Kumelihat ke belakang, ternyata ada rombongan tuan bawa. Iya mereka adalah tim sukses yang tuan sewa dengan memakan gaji dari sisa hasil korupsi. Apakah tuan menggap uang negara dijadikan bisnis? Atau tuan mau buat rakyat Indonesia jadi kaya?
Hahaha... aku tertawa kecil sambil menatap tuan dan anggotanya dengan raut datar. Kemudian gumamku dalam hati "Inilah calon yang suka menghambur rupiah meraut suara, dengan harapan akan menang di putaran pemilu."
Panas itu semakin membara tercampur bahasa rayuan menggoda hati. Bukan menolak dengan cara kasar atas tawaran tuan, tapi menghormati tuab sebagai manusia. Maka aku tetap menghadap dengan sabar dan ketenangan jiwa.
Karena bukan hal tabu lagi, kalau politik selalu membutuhkan uang. Namun uang bukan raja di atas raja membelikan segalanya.
Boleh segala materi tuan beli. Tapi demi harga diri dan prinsip, rupiah yang tuan tawar tak dapat melanggengkan segalanya. Sebab tuan berdiri di jalan kotor dan rel yang keliru. Maka akan merugikan diri dan berjuta umat yang namanya 'rakyat Indonesia' dari Sabang-Merauke.
Bele
Kamis, 16 Agustus 2018
By: Djik22
Komentar