Sumber foto: Djik22
Saat berdiri di jarak yang begitu jauh. Merenung indah menawan alam yang dihiasi pohon sejukan jiwa. Belum lagi, barisan peninggalan rahim purba menyimpan ribuan makna yang belum sempat dikaji. Bagaimana menikmai sisa peninggalanmu oh para pendahulu? Apakah harus menjaga atau membinasakan?
Sekiranya kami adalah anak cucu yang mulai lupa. Sebab, banyak ajaranmu tergilas roda zaman melewati kerikil-kerikil tajam. Ditambah lagi dengan kotoran budaya terbawa dari negeri seberang. Lantas di mana berdiri dengan tegak atas keringat darah yang jatuh?
Kalau memang segan adalah alasan ketakutan, maka desiran debu pun akan protes kala tanah tandus ditiup angin pantai bercampur pegunungan. Lalu tangan ini, memetik tiga daun di atas kendaraan. Saat terhitung berjumlah sembilan garis. Jika digandeng dengan dahan yang sebelah, maka akan tegak sembilan puluh sembilan tertulis angka.
Oh... indah ciptaanMu ditambah dengan tanah sakral lewat perjuangan. Ibarat perang, maka berdiri gagah di barisan depan untuk menghalaui musuh yang datang menyerang. Apa sebenarnya mendasari darah dan putaran pikiran? Apakah ada mantera dan bisikan kekuatan yang sekarang sulit didapat anak zaman?
Baru di daun pun hati dan jiwa bergetar untuk menghiting. Seolah kaki yang melangkah merasa bersalah. Sebab, bumi yang dipijak adalah hasil perebutan perang tanding. Belum lagi, di sepanjang jalan puluhan kuburan yang berdiri kokoh. Serupa sambil memanggil di pelataran sembari mengirimi doa.
Ketika menatap ke arah kiri jalan pendakian, tangan menghitung penghalang jalan yang berjumlah dua puluh dua. Langsung hati bergetar bertanya dalam-dalam penuh kewaspadaan "Apakah semesta pun ikut bersaksi benda-benda di sekelilingnya?"
Ternyata, daun yang jatuh pun ikut tunduk atas pohon dan akar. Seolah enggan lapuk dimakan putaran waktu. Ingin terus mengapit induk yang berdiri tegak di terik matahari dan kerasnya batu-batu hitam..
Papilawe
Jumat, 3 Agustus 2018
- By: Djik22
Komentar