#Part 01
Lantunan suara di genteng masjid, tenangkan hati sejukan jiwa. Sampai ingin diputar ulang setiap telinga terbuka. Namun saat ini, waktunya telah lewat. Hingga terus menunggu menjemput esok. Biar jalan tertati sambil berusaha menghadap keabadian.
Lantunan itu, terbawa sampai ke alam mimpi. Bergelora pada buih-buih indah sajak yang ditulis. Tangan ini gemetaran kala desakan terus menekan, rayuan terus menipu, dan bisikan membuat ketakutan. Tapi lantunanmu mengalahkan segalanya.
Maya...
Apakah kau tahu tentang keburukan? Sampai di dinding hatimu tergambar jubah putih dikalungi tasbih. Bukankah kau artikan putih dan hitam sampai mata mengenal warna dan rupa?
Kalau memang suara kau lantun dari atap menara menjulang langit, maka kepercayaan selalu ada mengapit makna di sajak alam raya berdahan. Tapi buahnya belum banyak dinikmati. Hanya kebanyakan yang merasakan dengan sambil lalu. Sampai di dinding tubuhmu dicoreti kata-kata sesuka hati.
Maya...
Apakah kau mendengar suara parau sang mata pena? Atau hanya mengenal tentang Mata Elang lewat kemandiriannya? Kukira tak sebatas tetasan air penggalan ilmumu maya. Karena darimu kueja setiap kata, darimu kudapati indah pesona gubuk-gubuk tua dalam cerita, darimu kuperoleh catatan juang berwarna merah.
Dengarlah setiap ucapan manusia maya. Atas dasar izin alam, sehingga kau tak berkata apa-apa. Namun tenaga dan jasamu selalu dimanfaatkan oleh manusia.
Kau junjung tinggi kekuatan alam. Hingga jalanmu adalah kebenaran, tujuanmu ialah cahaya menuju taman firdaus. Setidaknya, dua warna yang sering diduduki sebagai ajaran dan petunjukmu. Tapi atas keinginan nafsu, maka salah menggunakan menuju maut meneror rerung-relung otak.
Maya...
Dengarlah walau sesaat. Bahwa, tanah yang dipijaki adalah permulaan, maka tunggulah dengan senang hati hingga kembali lagi ke tanah. Sebab, awal mula dari semesta adalah datang dari Yang Kuasa. Hingga tetap menginjaki tanah pertiwi ini.
Bele
Selasa, 14 Agustus 2018
By: Djik22
Komentar