Pegunungan adalah dunia main yang penuh ketenangan di hempas angin ribut tak mengganggu. Tapi, jatuhnya daun lebih terasa ketimbang bunyi sunyi bisik kerabat membangun peradaban yang pernah membuming.
Dalam bahasa haru, tercacat getir dan air mata. Hingga tak mampu berjalan pada lorong indah dibangun dengan senyum. Kenapa senyum mulai redup saat usia mulai tua? Apakah ada kenangan pahit?
Ternyata hidup ada dua baris hitam dan putih. Hitam sebagai pristiwa kelam masa lalu yang mengucurkan air mata. Sedangkan putih sebagai kebaikan dalam pengabdian batas senja. Tapi batas-batas itu, kian terang membuka tabir. Hingga tetap terang tempat berdiri dalam langkah dan ayunan tangan.
Ingatan masih segar dalam alur pikir yang tersimpan rapi di memori otak. Tapi tak ada unsur hitam menodai pandangan objektif saat problematika kata dan bahasa. Sampai sejauh ini, tanah tempat berpijak masih membela dengan hati dan air yang mengalir masih memberi kehidupan bagi yang menimbah.
Hidup harus penuh dengan kejujuran, tanpa harus menutup mata dan telinga kalau tingkah pernah salah. Apalagi, ucapan sakral berlantun darah sebagai seremoni hajatan penting tanah rahim purba.
Oh...ibu alam semesta membesarkan anak manis berderet lugu. Namun ibu selalu ajarkan tentang cara 'memakan dari keringat sendiri tanpa harus mencuri dibalut kebohongan'. Karena kata ibu "Kebohongan tak ada guna bila hidup dalam rumpun gotong-royong". Apalagi, hidup diikat oleh adat, agama, dan pemerintah.
Tiga aspek penting harus menjelma dalam nafas dan denyut nadi, biar seiring sejalan dalam bentuk praktik kejujuran. Biar tak ada dusta dan pembelokan antara anak dan cucu, kakak dan adik, ayah dan ibu, dan bahkan antara tua dan muda.
Paling tidak, kenangan indah tetap dibawa oleh darah tanpa cedarai gulingan posisi. Namun, semesta tak buta. Hingga tetap mengingat kala bangun dan tidur biar refleksi diri sebagai manusia yang berbudaya.
Papilawe
Rabu, 1 Agustus 2018
By: Djik22
Komentar