#1
Tak ada hati yang ingin diingkari. Tak ada raga yang ingin setiap saat dihujani luka. Apalagi, setiap gerak selalu diiringi dengan percaya. Pada hembusan nafas, harum bau curiga selalu ditepis sebelum ada bukti yang kuat diterima. Adalah kita yang tak mudah terima segala cerita tanpa menatap dengan mata rama. Adalah kita yang tak ingin segala duga sangka menjadi duri menyayat jiwa.
Akulah penikmat senja. Ibarat tubuh, aku selalu berharap kasih sayang dan kehangatan. Andaikan luka, aku menanti obat penawar demi menyembuhkan semua yang diderita. Dan, aku akan benci, jika senja terlalu cepat pergi. Aku mau lebih lama menatap. Aku mau ikut tenggelam bersama cahaya yang dipeleh oleh batas air laut dan langit. Sayangnya, aku ikut bersedih kalau senja tak lagi kupandang. Dan, dia pergi tanpa memberi pamit.
Menunggu esok adalah sebuah pekerjaan yang membosankan. Aku berdoa dengan teduh, biar esok kembali bisa menatap senja. Kemudian kubisikan padanya "Wahai senja yang menyimpan kisah. Jadilah objek terbaik yang tak membuat aku bosan menatap. Berilah cahayamu hingga tetap bermukim di hatiku. Aku tak ingin kau memilih pergi tanpa kembali. Aku tetap setia pada lautan rasa. Aku tak akan berpindah dari bibir pantai."
Sebuah pertalian yang apik selalu dijaga dengan baik. Dua nafas yang menderu sering mengucap rindu. Hingga kita terus berharap temu melepas belenggu. Adakah kau tetap menjadi cahaya tanpa berbagi rasa? Apakah kau serius membawa aku terbang jauh hinggap dan menetap di negeri impian? Yakinkan diriku, jangan kau beri keraguan. Tamparlah aku dengan kehangatan cintamu tanpa kau menduakan harap. Aku mau bersamamu tanpa ada yang menghalangi.
Kau dan senja selalu kukagumi. Selimut kedamaianmu sering membuat raga merasa hangat. Sampai, berpikir untuk meninggalkanmu pun tak pernah hadir dalam alam sadarku. Suara-suara bahagia suka memanggil. Dan, aku ikut arus gelombang ajakanmu. Sebab, menolak ajakanmu adalah menghukum diri sendiri. Tak menggubris tanyamu akan menyiksa hati. Dan, kau tahu aku tak mau larut sejauh itu.
Jika, kau adalah puisi yang sulit ditebak. Maka, aku memilih jadi prosa yang mudah dimengerti. Hidup tak perlu harus kita rumitkan. Takdir Tuhan dan kehendak semesta jangan kita mengeluh sampai terus bersedih. Dan, pastinya kau dan aku tak mau menjalani deru rindu dengan hitam putih. Aku memang suka hitam tanpa mendam, tapi tolong jangan kau tenggelamkan hatiku. Kemudian mengusirku dari hidupku karena sudah ada orang yang bersandar di bahumu.
Bahu yang selama ini menjadi tempat aku bersandar, kini mulai rapuh. Sebuah kata pergi yang paling kita kutuk, mulai mendekat ke arah hati. Iya, semua mulai kurasa dengan sadar. Lantaran sikap dan kebiasaan yang kau tampakan tak seperti biasanya. Dan, sudah pantas, aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan. Bukankah kau mengajarkan aku untuk kita saling jujur? Apakah kau lupa, kalau kita harus tetap terbuka?
Keadaan terus mendesak. Aku yang butuh kasih sayang, malah harus terima cinta yang terbagi. Aku yang ingin belaian Ibu tanpa menyudutkan diriku dengan saudara yang lain, tapi nyatanya inginku tak pernah terjawab. Dan, aku dengan tabah harus mendapatkan kasih rasa lebih banyak dari Ayah. Ayah adalah keringat yang memberi pancaran perjuangan. Hingga, tanpa peran dan belaian Ayah, aku tak bisa tidur. Aku merasa ada yang kurang. Dan, aku harus mencium bau badannya Ayah setiap saat.
Kau yang sudah kupercaya menjadi Ayah untuk anak-anak kita. Malah perlahan memilih menghindar. Kau menuai harap yang sudah lama kutanam, malah menampar aku degan sebuah penampakan yang luar biasa. Kau jadi seorang pemberani, tapi pilihanmu malah mengecewakan diriku. Kau yang menjadi tempat aku pulang, tapi malah memilih pergi dengan raga yang lain. Bukankah kau dan aku mau menuju sebuah pelaminan? Apakah cinta dan rasamu yang selama ini kau berikan hanya sebuah kepalsuan?
Suatu waktu yang tepat, aku beranikan diri membuka salah satu aplikasi di gawaimu. Dan, kau berjanji dengan perempuan lain. Bukankah selama ini muara selingkuhmu sering kali kumaafkan? Kenapa kau beranikan diri lagi untuk mengulangi perbuatan yang sudah pasti membuat hatiku hancur?
3 April 2019, tepat pukul 16.00 kau menampakan sebuah sandiwara yang begitu menakjubkan. Kau jadikan aku penonton yang memberi kesaksian dari dramamu. Kau "Coreng muka kekuargaku dengan arang hitam. Kau membuat aku malu sampai membatalkan pertunangan." Buat apa bertahan kalau kau tak mau berjalan serius di satu pelukan? Buat apa kugadaikan semuanya untukmu, kalau aku kau jadikan sampah setiap pembuangan kata-kata manis mengikatmu?"
Makassar, 10919 | Djafar Doel AH
#2
Kadang kita harus jadi penonton
Lantaran, menjadi pemain
Hanya menahan luka
Merawat bahagia
Panggung drama
Tak habis dipuja-puja
Senyum hanya tiba sesaat
Bahasa hati terus menjerat
Senja lama memberi kode
Aku menunggu begitu lama
Berharap luka segera berakhir
Dengan kata-kata yang paling jujur
Tragedi demi tragedi terus memberi tontonan yang tak pernah habis dirasakan. Drama kehidupan selalu memberi tekanan. Jalan kebuntuan sering kali membelenggu alur pikiran. Terkadang nada-nada suara harus terjebak pada tumpukan emosi. Amarah memuncak tak bisa dikontol dengan perasaan yang paling tenang. Hati begitu disayat tanpa ada rasa kasihan. Tubuh seolah menolak untuk dilahirkan. Dan, memilih segera berdamai dengan tanah. Sayangnya, bendungan cinta sudah dibangun. Apa pun tekanan, raga harus rela dengan lapang dada tanpa kedepankan keluh.
Resiko terbaik sebagai perempuan adalah menjadi ibu kelabu yang menanggung segala badai. Dalam keadaan yang paling tragis sekali pun, terkadang kita mencoba berdamai dengan polemik. Walau, luka hati semakin melebar, tapi kita menutup jalan baru yang dilalui secara sembarangan. Kita memilih dan memilah, agar tak mudah lelap dalam rayuan. Agar tak gampang tergiur dengan tumpukan tawaran yang menjanjikan. Nyatanya, dunia hanya sebagai tempat sandiwara orang-orang memainkan drama. Perlu bidikan mata tajam dan pikiran cemerlang untuk membuka segala kedok.
Perintah hati terkadang lebih mudah diikuti, walau kita tahu, segala kata-kata manis akan berujung pahit. Pada setiap janji yang membuat percaya, tapi kebanyakan lara sedang menunggu tanpa bergeser. Dan, menungg waktu yang paling tepat, ia akan mendekam di raga. Membuat kita terlarut pada penyesalan. Lirih air mata tak bisa dihentikan. Karena, kita terlau terbawa dengan perasaan.
Adalah aku yang terlalu merasa nyaman setiap awalan bahasa-kata. Adalah diri yang sering terlaut dalam dengungan-dengungan merdu. Hingga, tak pernah berpikir dua kali, kalau kenyamanan yang tercipta tak akan abadi. Kalau rasa yang dipupuk tetap akan musnah. Karena semesta akan membuka kesadaran. Kebenaran akan menunjukan dirinya. Dan, deru cinta dan rasa sudah pasti berujung luka. Jika, segalanya hanya karena nafsu dan ketamakan.
Kukira kau adalah muara terakhir untuk aku berlabuh. Ombak rayuanmu begitu kencang sampai tenggelamkan aku yang tak tahu berenang. Arus tenangmu menggiring aku ke pulau luka yang tak ingin diri berlabuh. Tapi, apa boleh buat, takdir berkehendak lain. Harapan tetap terhampar di pasir-pasir yang sedang menertawakan diriku. Apakah kau sengaja melakukan semua ini padaku? Atau kau ikut berkonspirasi dengan semesta lantaran ingin pergi?
Jangan kau datang kalau pergimu tanpa pamit. Jangan kau umbar setia yang terus mendidih, kalau kau bermain rasa dengan perempuan lain. Sebab, benih cinta yang pernah terawat akan menghasilkan pucuk luka yang kupetik. Dan, dengan mudah kau katakan "Kita adalah dua hati yang tak dikehendaki. Kita adalah dua tangan yang tak saling menggenggam lagi harus merelakan kepergian."
Semudah itu kau ucap kata pergi pada hati yang tak mau kehilangan. Lantaran apa yang kuperbuat sampai alasanmu selalu berbelit-belit? Lupakah kau tentang jawaban-jawaban yang kau layangkan malah membunuhku? Kau terlahir sebagai lelaki yang hanya datang mendekatkan tubuh. Kau sandarkan segala desah sampai keringat ikut mendidih. Setelah semua yang kujaga dalam diri kau peroleh, dengan enteng kau bergumam dan berajak pergi.
Mataku yang basah, tanganmu tak menghapus air hujan di pipiku. Malah, kau memikat hati yang lain. Kau peluk dengan rayuan dan trik yang sering kaummu dengungkan. Dan, aku adalah salah satu korban yang masuk dalam daftar incaranmu. Tapi, dengan sabar aku berdoa "Tuhan pasti punya rencana lain untuk hidupku. Jodoh telah Dia gariskan. Kita hanya berusaha dengan sekuat tenaga."
Suatu waktu
Bulan Agustus 2019, kau kembali menghubungiku. Kau dengan mudah berbicara, solah tak ada apa-apa yang terjadi. Dengan bangga kau berkata "Aku rindu tentang semua kisah kita yang dulu. Kami tak sama seperti apa yang pernah kita jalani. Dia tak mengerti aku seperti dirimu memberlakukan diriku."
Aku hanya membaca tanpa memberi jawaban. Tak ada peluang lagi untuk aku buka. Aku tak mau jatuh lagi ke perihal yang sama. Datangmu sebagai pengemis hanya untuk minta dikasihani. Tibamu dengan bahasa iba, tapi hanya ingin direspon. Maaf, aku bukan tubuh pembanding. Pertalian cinta dan rasa dahulu, semuanya sudah kukubur. Aku tak punya hubungan apa-apa lagi. Kau adalah aktor terbaik mengukir luka. Sedangkan aku adalah penonton setia yang menikmati lara.
Tidak ada perempuan yang mau jatuh di lubang yang sama. Tidak ada hati mau berjalan di atas kekangan dua hati. Saya tak membencimu. Tapi, kecewa yang menggelembung dan tumpah di ragaku. Kita harus menyudahi semua yang berlalu. Dan, aku memilih untuk memblokirmu dari salah satu aplikasi di gawaiku. Biar kau tak perlu sok bijak datang menghampiri diriku. Dan, kau tak pantas tahu, apa yang sedang saya alami.
Hamparan Pasir Putih yang sebenarnya aku menikmati keindahan pariwisatanya. Malah kau menghadang arah pandang mataku dengan sebuah penampakan. Pembuktian yang lama kunanti, akhirnya kau menunjukan sendiri. Dan, tanpa kau sadari, semuanya menjadi titik akhir. Kisah terpilu yang ditulis dengan bahasa hati berharap senja mampu mengajak aku berdamai. Senja yang tunggu tak menyapa seperti biasanya. Padahal, jarum waktu bergerak ke pukul empat sore.
Aku memilih pulang tanpa melihat senja. Air mata menjadi kado terindah sebelum tubuhku duduk di batu-batu sejarah. Di tepi pantai tempat biasa aku menulis namamu, malah ombak datang menyapu tanpa meninggalkan bekas. Sebuah drama kehidupan yang cepat menggempur. Tapi, kejujuran selalu terlambat menepis segala penyesalan.
Apakah kau mau kembali lagi ke pelukanku lagi? Atau dirimu sedang membutuhkan pelampiasan? Tak perlu kau jawab. Tanpamu aku tetap disetubi luka. Setidaknya, aku belajar ikhlas tentang hikmah dari sebuah kehilangan. Dan, terkadang menjadi penonton lebih mengerikan, ketimbang memilih jadi pemain yang berucap ribuan kata memikat. Tapi, semuanya hanya semu.
Makassar, 11919 | Djafar Doel AH
Kadang kita harus jadi penonton
Lantaran, menjadi pemain
Hanya menahan luka
Merawat bahagia
Panggung drama
Tak habis dipuja-puja
Senyum hanya tiba sesaat
Bahasa hati terus menjerat
Senja lama memberi kode
Aku menunggu begitu lama
Berharap luka segera berakhir
Dengan kata-kata yang paling jujur
Tragedi demi tragedi terus memberi tontonan yang tak pernah habis dirasakan. Drama kehidupan selalu memberi tekanan. Jalan kebuntuan sering kali membelenggu alur pikiran. Terkadang nada-nada suara harus terjebak pada tumpukan emosi. Amarah memuncak tak bisa dikontol dengan perasaan yang paling tenang. Hati begitu disayat tanpa ada rasa kasihan. Tubuh seolah menolak untuk dilahirkan. Dan, memilih segera berdamai dengan tanah. Sayangnya, bendungan cinta sudah dibangun. Apa pun tekanan, raga harus rela dengan lapang dada tanpa kedepankan keluh.
Resiko terbaik sebagai perempuan adalah menjadi ibu kelabu yang menanggung segala badai. Dalam keadaan yang paling tragis sekali pun, terkadang kita mencoba berdamai dengan polemik. Walau, luka hati semakin melebar, tapi kita menutup jalan baru yang dilalui secara sembarangan. Kita memilih dan memilah, agar tak mudah lelap dalam rayuan. Agar tak gampang tergiur dengan tumpukan tawaran yang menjanjikan. Nyatanya, dunia hanya sebagai tempat sandiwara orang-orang memainkan drama. Perlu bidikan mata tajam dan pikiran cemerlang untuk membuka segala kedok.
Perintah hati terkadang lebih mudah diikuti, walau kita tahu, segala kata-kata manis akan berujung pahit. Pada setiap janji yang membuat percaya, tapi kebanyakan lara sedang menunggu tanpa bergeser. Dan, menungg waktu yang paling tepat, ia akan mendekam di raga. Membuat kita terlarut pada penyesalan. Lirih air mata tak bisa dihentikan. Karena, kita terlau terbawa dengan perasaan.
Adalah aku yang terlalu merasa nyaman setiap awalan bahasa-kata. Adalah diri yang sering terlaut dalam dengungan-dengungan merdu. Hingga, tak pernah berpikir dua kali, kalau kenyamanan yang tercipta tak akan abadi. Kalau rasa yang dipupuk tetap akan musnah. Karena semesta akan membuka kesadaran. Kebenaran akan menunjukan dirinya. Dan, deru cinta dan rasa sudah pasti berujung luka. Jika, segalanya hanya karena nafsu dan ketamakan.
Kukira kau adalah muara terakhir untuk aku berlabuh. Ombak rayuanmu begitu kencang sampai tenggelamkan aku yang tak tahu berenang. Arus tenangmu menggiring aku ke pulau luka yang tak ingin diri berlabuh. Tapi, apa boleh buat, takdir berkehendak lain. Harapan tetap terhampar di pasir-pasir yang sedang menertawakan diriku. Apakah kau sengaja melakukan semua ini padaku? Atau kau ikut berkonspirasi dengan semesta lantaran ingin pergi?
Jangan kau datang kalau pergimu tanpa pamit. Jangan kau umbar setia yang terus mendidih, kalau kau bermain rasa dengan perempuan lain. Sebab, benih cinta yang pernah terawat akan menghasilkan pucuk luka yang kupetik. Dan, dengan mudah kau katakan "Kita adalah dua hati yang tak dikehendaki. Kita adalah dua tangan yang tak saling menggenggam lagi harus merelakan kepergian."
Semudah itu kau ucap kata pergi pada hati yang tak mau kehilangan. Lantaran apa yang kuperbuat sampai alasanmu selalu berbelit-belit? Lupakah kau tentang jawaban-jawaban yang kau layangkan malah membunuhku? Kau terlahir sebagai lelaki yang hanya datang mendekatkan tubuh. Kau sandarkan segala desah sampai keringat ikut mendidih. Setelah semua yang kujaga dalam diri kau peroleh, dengan enteng kau bergumam dan berajak pergi.
Mataku yang basah, tanganmu tak menghapus air hujan di pipiku. Malah, kau memikat hati yang lain. Kau peluk dengan rayuan dan trik yang sering kaummu dengungkan. Dan, aku adalah salah satu korban yang masuk dalam daftar incaranmu. Tapi, dengan sabar aku berdoa "Tuhan pasti punya rencana lain untuk hidupku. Jodoh telah Dia gariskan. Kita hanya berusaha dengan sekuat tenaga."
Suatu waktu
Bulan Agustus 2019, kau kembali menghubungiku. Kau dengan mudah berbicara, solah tak ada apa-apa yang terjadi. Dengan bangga kau berkata "Aku rindu tentang semua kisah kita yang dulu. Kami tak sama seperti apa yang pernah kita jalani. Dia tak mengerti aku seperti dirimu memberlakukan diriku."
Aku hanya membaca tanpa memberi jawaban. Tak ada peluang lagi untuk aku buka. Aku tak mau jatuh lagi ke perihal yang sama. Datangmu sebagai pengemis hanya untuk minta dikasihani. Tibamu dengan bahasa iba, tapi hanya ingin direspon. Maaf, aku bukan tubuh pembanding. Pertalian cinta dan rasa dahulu, semuanya sudah kukubur. Aku tak punya hubungan apa-apa lagi. Kau adalah aktor terbaik mengukir luka. Sedangkan aku adalah penonton setia yang menikmati lara.
Tidak ada perempuan yang mau jatuh di lubang yang sama. Tidak ada hati mau berjalan di atas kekangan dua hati. Saya tak membencimu. Tapi, kecewa yang menggelembung dan tumpah di ragaku. Kita harus menyudahi semua yang berlalu. Dan, aku memilih untuk memblokirmu dari salah satu aplikasi di gawaiku. Biar kau tak perlu sok bijak datang menghampiri diriku. Dan, kau tak pantas tahu, apa yang sedang saya alami.
Hamparan Pasir Putih yang sebenarnya aku menikmati keindahan pariwisatanya. Malah kau menghadang arah pandang mataku dengan sebuah penampakan. Pembuktian yang lama kunanti, akhirnya kau menunjukan sendiri. Dan, tanpa kau sadari, semuanya menjadi titik akhir. Kisah terpilu yang ditulis dengan bahasa hati berharap senja mampu mengajak aku berdamai. Senja yang tunggu tak menyapa seperti biasanya. Padahal, jarum waktu bergerak ke pukul empat sore.
Aku memilih pulang tanpa melihat senja. Air mata menjadi kado terindah sebelum tubuhku duduk di batu-batu sejarah. Di tepi pantai tempat biasa aku menulis namamu, malah ombak datang menyapu tanpa meninggalkan bekas. Sebuah drama kehidupan yang cepat menggempur. Tapi, kejujuran selalu terlambat menepis segala penyesalan.
Apakah kau mau kembali lagi ke pelukanku lagi? Atau dirimu sedang membutuhkan pelampiasan? Tak perlu kau jawab. Tanpamu aku tetap disetubi luka. Setidaknya, aku belajar ikhlas tentang hikmah dari sebuah kehilangan. Dan, terkadang menjadi penonton lebih mengerikan, ketimbang memilih jadi pemain yang berucap ribuan kata memikat. Tapi, semuanya hanya semu.
Makassar, 11919 | Djafar Doel AH
Komentar