Kita terlalu jauh untuk dipertemukan. Jarak terlalu kejam memberikan hadiah. Namun, kata hati terus berbisik, “antara kau dan aku segera berlabuh di pelataran teduh. Biar kita sama-sama bersandar dengan kelembutan." Kita semakin larut dalam pembahasan yang sulit dijabarkan satu persatu. Memilih lebih banyak diam daripada harus berbusa-busa dalam bicara adalah pilihan kita untuk sementara waktu. Dalam diam, kita sama-sama mengetahui tentang getaran jiwa yang tak bisa dibendung. Adalah sebuah bisikan dari perasaan yang tak mudah kita utarakan demi mendapatkan jawaban dari sederet tanya.
Apakah bisikan hatimu masih tetap gerogi seperti kali pertama mendengar suaraku? Bagaimana dengan getaran perasaanmu saat ini yang sedang menggebu dengan kencangnya? Semoga ragamu tak cepat bergetar menerima setiap respons kata-bahasaku. Aku mau, kita sama-sama menikmati setiap harap dan semua ingin tanpa harus buru-buru terjatuh ke sebuah pengakuan. Biarkan semua ini berjalan sesuai bahasa hati. Laju jalan menuai jawaban akan tiba. Tinggal kau dan aku bersabar menyatukan setiap perbedaan. Saling berbagi setiap kelebihan serta mengisi setiap kekurangan.
Sudah pasti ada saja ketegangan datang menghardik. Menunggu lebih banyak untuk siapa yang lebih dahulu memulai mengungkapkan segala rasa. Sayangnya, keberanianku untuk memulai belum bisa menyapa lewat bahasa. Aku lebih memilih mendiamkan semuanya dalam jiwa bersihku. Kukumpulkan lagi kesediaan suci, agar bisa mengungkapkan rasa yang diberi jarak menjerat sepenuh hati. Kuramu lagi setumpuk kisah tentangmu untuk masuk dalam daftar istimewa. Kelak kita membaca kembali apa yang telah ditulis generasi perasa.
Kita belum pernah menyapa dalam adu pandangan secara langsung. Waktu masih membentang sekat pembatas. Sedangkan, kau begitu rumit untuk kutemui. Antara kau dan aku hanya bisa memendam segala ingin. Pelan-pelan kita tergoda oleh pengakuan. Tepat di sebuah sapa bernada kau berkata, “kita baru saja kenal, tapi entah kenapa saya merasa nyaman. Ini serius perintah dari hati yang harus kuteruskan. Soalnya, saya sudah terlalu lama mengagumimu. Entah, sudah berapa lama waktu dalam kalender kiblat hitungan tanggal, saya pun sudah tak mengingatnya dengan pasti.”
Negerimu terlalu mahal untuk kukunjungi. Tak semuanya bisa dibeli dengan uang setumpuk gunung. Dalam relung dadamu, terkalung tali sejarah pengikat warisan peradaban. Tanganmu dililiti gelang sukma berwarnakan emas bercahaya. Tubuhmu dilindungi sulam sakral yang mahakaya. Semua, masih kau rawat dengan manja. Kau tak membiarkan siapa pun datang berlabuh merampas segala yang terjaga dengan sesuka hati. Apalagi, memilikimu harus menyiapkan mental baja menghadap perintah adat. Menyentuhmu pun aku harus memenuhi segala ketentuan yang sudah digariskan.
Segala tanya kelak akan terjawab. Cepat atau lambat, aku akan memutar haluan teduhku menuju ke arah negerimu. Karena tubuhmu dan tubuhku, sama-sama bermuara dari satu rahim ibu penyulam tenun. Adalah tentang pertalian cinta dan rasa yang lahir dari rahim peradaban Pulau Pembunuh, Adonara.
Gerak jemariku meramu kata seketika terhenti. Bahasa sakralmu mampu membunuhku dengan sebuah teguran. Tanganku ikut tenggelam bersama angin malam. Tubuhku bisu, udara begitu sejuk menggoda. Sampai, bahasa lembutmu membuat jemariku tak bisa lagi melanjutkan kisah apik berapi agar lebih menarik lagi. Mungkin pintaku terlalu deras melampaui batas kewajaran sebagai anak budaya. Sedangkan, inginmu begitu berat demi mengiyakan permintaan anehku. Kita begitu lama mendamaikan dua kekonyolan yang tiba dengan derasnya. Sampai, hatimu dan hatiku sulit berdamai di malam yang semakin larut. Kau dan aku kembali terdiam. Entah, gerogi atau ada rasa ragu yang tiba-tiba muncul. Sampai, sekarang masih tetap jadi rahasia hati.
Pengakuanmu membuat aku kaget. Susunan kata-bahasamu bergema menerobos masuk bertahan ke daun telinga. Aku ikut terlarut dalam-dalam menerima kembali pengakuanmu, “mendengar suaramu saya merasa teduh. Lantunam irama suaramu saya merasa bahagia. Jadi, jangan diam. Ajaklah saya terus membaca dan menulis.” Apakah ini sebuah tanda dari permintaan yang berujung bahagia? Atau ini hanya sebatas bahasa melemahkan pendirian terhadap sesok pejuang yang tak mudah jatuh pada rasa dan cinta?
Hati selalu peka pada setiap kata-bahasa tiba, aku sudah mengerti sejak awal kau menyapa di kolom rahasia layar mayaku. Kuletakan semua susunan anak kalimat tetap terurai dengan laju. Kau lebih cepat lagi bergerak membalas setiap serangan merduku. Rupanya, kita sudah ditakdirkan menyatukan sisi perbedaan. Tapi, butuh berapa lama lagi ruang waktu agar tak membuat luka. Semua masih sedang kita usahakan.
Padamu darah pelanjut peradaban, tetaplah saling mengapit tanpa mengenal ruang dan waktu. Dengan sadar, aku tetap menjunjung tinggi segala petuah dan bisikan hangatmu. Restu darimu tetap memudahkan jalan. Tetaplah menjaga dirimu di mana pun bumi yang kau pijaki! Jangan pernah lupa pada rintihan sakral yang mulai dibumbui kemajuan zaman! Hiduplah dengan napas merdeka tanpa cepat terpengaruh. Teruslah melangkah tanpa mudah jatuh karena rayuan-rayuan konyol. Rawatlah semua dengan rasa dan asa! Sebab, kemenangan bermodal cinta tak bisa terkalahkan menjawab semua tanya dari kata-bahasa yang terus melangit.
Lantaran dari rahim peradaban yang sama, aku menerima cinta dan rasamu. Kujunjung tinggi kata-bahasamu. Sebab, semua yang kau lantunkan adalah kejujuran. Semua yang kau tuliskan adalah membuka diri untuk menyediakan peluang. Maka, tetaplah percaya!
Bahwa, kekuatan cinta dan rasa yang mendekatkan kita adalah saling mengingatkan. Bukan saling memiliki. Sebab, kita lebih memilih menjadi sepasang saudara yang berbeda air susu. Ketimbang sepasang kekasih yang ingin memuntahkan hafa nafsu dunia tanpa mengenal tempat. Namun, cinta dan rasa yang kita agungkan adalah menjaga warisan budaya. Meneruskan petuah dari fatwa agama. Dari segala ajaran kebajikan.
#
Aku memilih pergi karena menghormati prinsipmu. Kita adalah sepasang serasi yang siap menghalaui hari. Jiwa terus dipanggil pulang untuk memelukmu. Dan, tunggu aku di negeri sejarah agar kita tetap berlindung di bawah tempat naungan teduhmu. Kemudian saling menguatkan antara satu sama lain.Makassar, 11819 | Djafar Doel AH
Teduh #2
Kita yang pernah saling menaruh rasa kagum, mulai memberi jeda untuk saling merayu. Kita yang kemarin masih terpikat oleh getaran hati, kini mulai menampakan kekesalan. Adalah kita yang tak mudah menerima kenyataan terjadi. Adalah kita yang tak menyangka, kalau badai kecewa telah berlabuh di hati dua sepasang serasi.
Pelan-pelan jeda komunikasi mulai berubah tak seperti biasanya. Kau yang sehelumnya sering memberi kabar tanpa henti, sudah mencium segala perkataanku hingga terlelap dalam ranjang emosi. Posisiku sudah kau mendengar dengan samar, kalau aku adalah sosok misterius yang sulit ditebak. Dan tak ada henti kau terus mencari tahu. Sampai, setiap kolom maya yang tertera tentangku, kau beranikan diri untuk memeriksa satu persatu.
Hadirku di bentangan jarak bukan untuk melayangkan kecewa. Kenyamanan yang tercipta bukan sebatas ruang sandiwara. Tapi, semua yang kulakukan adalah berdasarkan ketulusan. Semua yang diutarakan adalah perintah nurani. Bukan karena untuk melampiasian rasa. Bukan untuk memenuhi hasrat dan nafsu belaka. Apakah kau masih menaruh pandangan miring untuk memberi penilain tentang diriku?
Jangan kau mudah terpancing lantaran kecewa. Drama antara jarak masih terus berlanjut. Aku hadir bukan untuk sementara waktu. Tapi, aku berlabuh untuk bertahan selamanya tepat di nadimu. Dan aku memelukmu dengan damai tanpa harus berpura-pura mengobral rasa dan kuasa hati. Bukankah atas dasar jeda rindu kita ingin bertemu? Kenapa semudah itu kau memilih menyerah?
Kau adalah perempuan peradaban dari ibu rahim purba. Sedangkan aku adalah anak kandung ayah perang sengit bermata tajam. Antara kau dan aku, sedang dihantui oleh gelora yang sama. Antara kau dan aku, kita sama-sama menyimpan harapan. Atau kau menarik kembali segala kata-bahasa yang sudah terlanjur diutarakan? Harapku "Kau tak perlu menarik semua yang pernah diungkapkan. Jangan kau ungkit segal yang terjadi. Aku tahu jalan pulang untuk kita sama-sama bertahan."
Di putaran waktu yang paling tepat, kau menyandarkan penat di bahuku. Di detik yang paling tegang, kau basuh aku dengan kelembutan. Kau dan aku sampai lupa diri. Kalau, kita ditenggelamkan oleh gelombag cinta. Dan kita terhempas arus rasa membawa jauh ke pulau rahasia. Apakah kau takut kesasar? Atau kau ragu tentang diriku?
Arah pandangan kita terus bergelora. Keyakinan kian berdamai tanpa memberi pertimbangan yang matang. Hingga kau dan aku sepakat berteduh di dalam satu rumah. Kita akan bermukim di teras bahagia. Sambil menceritakan kisah yang menggugah. Kemudian, aku memilih jadi pendengar yang baik untuk kau lantunkan ayat-ayat rasa.
Kau kirimkan aku segudang untain kecewa. Lantaran, aku tak mengungkap posisiku sebelumnya. Kau hujat aku dengan bahasa yang paling menyayat. Kau tampar aku dengan emosi yang tak terkentrol. Sampai, aku harus mendengar dan coba menangkan amarahmu "Kenapa tak jujur dari awal? ternyata, hadirmu hanya mengukir kecewa. Kau tak beda jauh dengan para serdadu perang yang suka menembak dada saudaranya. Kau adalah peluru yang menghunus jiwaku."
Aku kaget membaca dengan teliti. Kuanalisis dengan damai untaian kata-katamu. Kulayangkan maaf, tapi kau tak menggubris. Kusirami bahasa teduh, tapi tetap saja kau tak memilih berdamai. Malah kau katakan dengan terbuka "Aku hanyalah pengagum rahasiamu yang memilih bersembunyi dibalik kamar duka. Aku adalah darah kecewa yang terus mengalir tanpa henti setiap hembusan angin derita yang kuhirup."
Tenangkan dirimu wahai perempuan berkalung rantai budaya. Ikatlah aku dengan bahasa budayamu. Jangan pernah kau mengutuk diriku yang sedang mencari jalan pulang memelukmu. Aku tahu, bahasa kutukanmu tetap nyata. Maka, aku harap kau tak layangkan sumpah-serapah. Kita harus tetap berkiblat ke pijakan dasar bahasa perkenalan. Kita harus saling mengenal antara satu sama lain lebih dalam lagi.
Kalau kau kecewa lantaran tak mau menerima kenyataan, maka aku memahami itu. Tapi, tetaplah menjalin komunikasi seperti biasanya. Aku tak mau kita harus menjadi musuh. Aku tak ingin kita memilih jadi kepingan lawan yang tak mau menggelorakan perdamaian. Maka, berdamailah dengan tenang. Jangan kau terpana pada tatapan buta yang menghipnotis dirimu sampai tak bisa mengontol diri.
Kejarlah segala mimpi yang sedang menyapa. Mari memadukan rasa yang masih berselisih. Aku tetap mengukir bara bahagia. Semua tergantung pada peran dan inginmu. Karena kunci keberanian dan prinsip dasarku, sedang berada di genggamanmu. Maka, jangan buang aku ke sembarang tempat. Aku tak tergoda pada dunia luar yang lebih menjanjikan. Aku mau tetap bersamamu dalam godaan sederhana dan rayuan dari bibir manis ibu peradaban.
#Hingga detik ini
Hati tak bisa bersembunyi
Kalau hadirmu adalah insiprasi
Tibamu adalah susunan puisi
Makassar, 4919 | Djafar Doel AH
Komentar
Iron Cliffs, Vitanium, and More are titanium pot a unique piece of glass titanium bike from the where to buy titanium trim company's black titanium wedding bands own glass bridge with a ford escape titanium 2021 twist.