Saat mata mengeja aksara asa dalam cerita yang ditulis oleh Anak Bangsa. Mulai dari yang tua sampai golongan muda. Tetap saja, memuji puja pada bentangan khatulistiwa. Seolah ajakan terus merayu jiwa berkeliling dari Sabang-Merauke. Namun pertanyaan yang harus dijawab, kapan memulai ekspedisi berkeliling menyentuh wilayah-wilah indah itu?
Karena untuk kondisi mileneal sekarang. Banyak yang lebih memuja keindahan yang ada di negara lain. Lalu, menegasikan keindahan alam di rahim bangsa sendiri. Lihat saja, tak banyak yang bersyukur atas indah rayu ibu pertiwi minta dirawat, minta dijaga, serta minta dilestarikan. Tapi, malah kita hadir sebagai tumpukan generasi yang menyibukan diri sendiri dengan dunia maya yang jauh dari alam realitas.
Terus kapan keindahan bumi pertiwi ini tetap jadi cerita yang tak kala menarik? Coba dikaji dengan analisis objektif tanpa mengedepankan ego yang berlebih-lebihan. Maka, janganlah terus berkhayal tentang dunia fiksi yang menjerat beban. Lalu, memanjakan pola pikir untuk jadi penikmat senja dan malam. Lantas kapan kita (baca anak bangsa) relakan darah dan keringat menuju masyarakat adil makmur yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa?
Mulai dari budaya, wisata, ras, dan keindahan alam. Maka Indonesia pantas dijuluki negeri surga. Atau pertanyaan yang harus dijawab bersama, apa yang kurang indah dari negeri ini? Baik korupsi, penyebar hoax, politik adu domba, penindasan dengan cara halus, dan masih banyak lagi ketimpangan yang menjelma dari sistem kapitalisme dan neoliberalisme.
Bagaimana negeri surga ini kita genggam bersama dalam asas gotong-royong?
Makassar
Selasa, 9/10/2018
By: Djik22
Komentar