Mata ini terus melotot pada pergulatan semesta. Ingin terus bergerak melaju di batas-batas trotoar dan rumah kumuh. Kemudian melantunkan lagu-lagu gemuruh tentang perjuangan. Bukan hanya sebatas lagu, namun lagu itu mengajak massa rakyat untuk terus berkobar. Sampai keringat dan darah sebagai sejarah. Karena bukan hanya sejarah yang menjauhkan diri dengan rakyat. Tapi sejarah yang terbuat dari harum bau wanginya keluh kesahnya penghuni gubuk-gubuk tua dan anak-anak yang tak punya rumah.
Akan tetapi, sebagai satu kesyukuran atas embrio dari dinding-dinding rumah yang menghipnotis para penghuni. Sampai mengajak terus menganalisis segala kondisi. Baik dari sejarah awal nation sampai membaca ke depan bangsa ini menjadi tamu di tanah sendiri. Terus apa yang harus diperbuat kalau rumah mulai tua digerogoti jaring laba-laba dan rayab merajalela?
Tak ada kehabisan akal untuk perbaiki rumah tua. Kerena keberanian yang kau didik bukan ketakutan, kejujuran yang kau wariskan bukan janji dan akal licik. Namun semua dirajut dalam jemari dan badan penuh drama tulang-tulang bergerak. Ia, kaulah mengeja batas asa dan aksara tentang sebuah RUMAH.
Sekiranya di dalam rumah terbagung daru ragam darah, ragam suku, ragam daerah, dan ragam bahasa. Tapi, pergaulan tetap menjadi kawan sekaligus saudara yang berbeda air susu. Namun, rumah mengajarkan tatapan penuh analisis yang objektif tanpa ada kekerdilan subjektif. Sehingga penjara pada tembok-tembok di jalanan mampu di terobos dengan suara dan tindakan nyata. Kemudian menghalaui senapan dan tembakan dengan corong suara 'megafon' merah penuh darah dan basah keringat meleleh.
Tetaplah jadi rumah menaungi anak cucu yang ideologis. Sebab, kaca mata yang dipakai tak bisa rabun dilawan dengan tembakan, pakian yang dipakai tak mudah sobek karena hantaman dan tamparan. Maka jadilah tempat pengkajian dan mampu membayar semua pekerjaan rumah dari bangsa dan negara.
Makassar
Selasa, 2 Oktober 2018
By: Djik22
Komentar