#Part 01
Tentang sinar dan cahaya adalah sebuah jalan. Sebab terang melahirkan sinar yang berjalan di malam ketika gelap. Pasti akan muncul tanya, bagaimana dengan pagi? Tetap akan ada sinar kapan pun. Baik siang menuju malam dan malam menuju pagi.
Kala tangan terbata mengukir di gelap yang sedikit terang di akhir bulan perjuangan menggugah hati membuat tertarik. Hingga tetap melukis tentang indah yang sebentar lagi akan pergi. Walau pun datangnya penuh usaha dan perlawanan, sampai meraih yang diimpikan. Tapi saat ini, hari mulai berbisik dan lebih berpihak untuk pergi.
Entahlah, bila pergi adalah pilihan. Maka jangan sisahkan kenangan yang mendalam. Apalagi tak kala yang ditinggalkan adalah sakit. Maka sepanjang waktu, lebih banyak menerima luka yang membara bersemayam dalam kalbu.
Bisakah kau hentikan luka kalau kau tak berada di sampingku? Bagaimana kau tahu tentang keadaan diri? Ketika kau pergi tinggalkan air mata? Semoga akan tiba saatnya, kalau air mata mampu dihapus dengan perlahan yang bukan dirimu.
Sebab, sudah banyak air mata yang mengalir. Tapi tak satu pun mampu bertahan mengikuti putaran waktu. Kebanyakan memilih berpindah dari pada tetap bertahan. Karena banyak mengeluh dan pasrah.
"Untuk apa bertahan? Kalau yang diraih adalah janji". Tanyamu padaku di malam dingin.
"Atau kau takut janji yang memaniskan bahasa?"
Saat itu, kepalamu menunduk dan menitihkan air mata. Seolah mengalahkan aliran air yang mengalir kala musim hujan. Tapi sayang, hujan adalah ciptaanmu yang jatuh di pipi indahmu.
Aku tak bisa menjabarkan lebih dalam tentang baikmu. Apalagi kugambar lewat karya yang mahadasyat. Sebab yang kulukis tidak akan usai dan kugambar akan melahirkan imaji baru yang terus memanggil.
"Buat apa terus berimajinasi ketika harapan berhenti diserang kemarau?"
"Setidaknya kemarau adalah kering yang mengajarkan cara bertahan". Jawabku sambil mengelus tangan sebelah kiriku.
Rupanya takut begitu dekat. Hingga kau definisikan diriku menyamai yang lain. Padahal, luka antara kau dan aku terima adalah salah memaknai. Bagaimana kau mampu menghalangi badai? Kalau pristiwa kecil tak mampu kau bertahan untuk melalui.
Setidaknya, kecil dan besar sebuah rentetan jalan panjang adalah menerima 'proses' dengan lapang tanpa harus mengeluh. Karena aku tak pernah mengajarkan kau tentang 'mengeluh' tanpa berusaha. Yang kuberikan adalah cara bertahan yang baik dalam keadaan apa pun.
Lalu protesmu saat tatapan matamu menyoroti bola mataku.
"Bagaimana aku bertahan? Bila berkali-kali sumpah serapah yang diberi. Apalagi aku merasa tak terlalu dianggap".
"Aduh... Aku heran dengan bahasamu barusan. Kenapa kata-kata itu kau ungkapkan tanpa harus menimbang. Harusnya berpikirlah sebulum memilih kata. Apalagi yang kau ucap adalah perasaan. Bukan bahasa para politisi yang menggoda massa untuk terpikat".
Karena aku pernah bahasakan padamu di malam Kamis tepat pukul sepuluh malam.
"Aku tak akan jadi politisi atau masuk dalam sistem yang mengingat".
Masih di malam itu, ketika aku terus mengingat. Ternyata kau tak kalah seru untuk menjawab pernyataanku.
"Jika sistem yang mengingat adalah cara kau mengelak, maka kau akan tetap mengingkari segala janji yang terucap".
Suasana jadi hening lagi. Ketika jawabanmu dengan lembut sambil membelai rambut ikalmu.
Malam itu, adalah pristiwa yang tak bisa kulupakan. Sampai aku lebih mencintai malam dan pagi. Dari pada siang dan sore. Bukan aku tak ingin mencintai semuanya. Setidaknya, aku memilih hanya satu pasang. Biar ketakutanmu tentang berpindah hati mulai mengurang. Apalagi dihubungkan dengan logika para politisi, maka aku akan berpindah ke calon yang lain. Tapi dengan tegas kukatakan.
"Aku dididik untuk jadi pribadi yang konsisten. Bukan menjadi abu-abu di Rabu kelabu. Sebab Rabu telah lewat kemarin".
"Lantas kau lupa tentang kemarin?" Tanyamu padaku.
"Bukan melupakan yang pernah lewat, tapi..."
Kau lanjutkan seolah penasaran dengan bahasa lanjutan.
"Tapi apa?"
"Tapi... Aku mengambil yang kemarin adalah kebaikan dan melupakan yang buruk mulai hari ini dan esok mendatang".
Kau tertawa kecil seolah tak percaya. Namun dirimu lebih tahu tentang diriku dibandingkan orang-orang terdekatku. Tapi semuanya hanya jadi cerita, hanya tinggal kenangan tanpa harus bersama lagi.
Kalau memang bersama adalah membuatmu tak nyaman dan sinarmu mulai mengurangi terang, maka aku harus memilih pergi tanpa menjanjikan hal yang lebih indah lagi. Sebab yang indah akan terus bersemayam dalam hatiku. Hingga terus kujaga tak kala maut menjemput.
Papilawe
Jumat, 29 Juni 2018
By: Djik22
Tentang sinar dan cahaya adalah sebuah jalan. Sebab terang melahirkan sinar yang berjalan di malam ketika gelap. Pasti akan muncul tanya, bagaimana dengan pagi? Tetap akan ada sinar kapan pun. Baik siang menuju malam dan malam menuju pagi.
Kala tangan terbata mengukir di gelap yang sedikit terang di akhir bulan perjuangan menggugah hati membuat tertarik. Hingga tetap melukis tentang indah yang sebentar lagi akan pergi. Walau pun datangnya penuh usaha dan perlawanan, sampai meraih yang diimpikan. Tapi saat ini, hari mulai berbisik dan lebih berpihak untuk pergi.
Entahlah, bila pergi adalah pilihan. Maka jangan sisahkan kenangan yang mendalam. Apalagi tak kala yang ditinggalkan adalah sakit. Maka sepanjang waktu, lebih banyak menerima luka yang membara bersemayam dalam kalbu.
Bisakah kau hentikan luka kalau kau tak berada di sampingku? Bagaimana kau tahu tentang keadaan diri? Ketika kau pergi tinggalkan air mata? Semoga akan tiba saatnya, kalau air mata mampu dihapus dengan perlahan yang bukan dirimu.
Sebab, sudah banyak air mata yang mengalir. Tapi tak satu pun mampu bertahan mengikuti putaran waktu. Kebanyakan memilih berpindah dari pada tetap bertahan. Karena banyak mengeluh dan pasrah.
"Untuk apa bertahan? Kalau yang diraih adalah janji". Tanyamu padaku di malam dingin.
"Atau kau takut janji yang memaniskan bahasa?"
Saat itu, kepalamu menunduk dan menitihkan air mata. Seolah mengalahkan aliran air yang mengalir kala musim hujan. Tapi sayang, hujan adalah ciptaanmu yang jatuh di pipi indahmu.
Aku tak bisa menjabarkan lebih dalam tentang baikmu. Apalagi kugambar lewat karya yang mahadasyat. Sebab yang kulukis tidak akan usai dan kugambar akan melahirkan imaji baru yang terus memanggil.
"Buat apa terus berimajinasi ketika harapan berhenti diserang kemarau?"
"Setidaknya kemarau adalah kering yang mengajarkan cara bertahan". Jawabku sambil mengelus tangan sebelah kiriku.
Rupanya takut begitu dekat. Hingga kau definisikan diriku menyamai yang lain. Padahal, luka antara kau dan aku terima adalah salah memaknai. Bagaimana kau mampu menghalangi badai? Kalau pristiwa kecil tak mampu kau bertahan untuk melalui.
Setidaknya, kecil dan besar sebuah rentetan jalan panjang adalah menerima 'proses' dengan lapang tanpa harus mengeluh. Karena aku tak pernah mengajarkan kau tentang 'mengeluh' tanpa berusaha. Yang kuberikan adalah cara bertahan yang baik dalam keadaan apa pun.
Lalu protesmu saat tatapan matamu menyoroti bola mataku.
"Bagaimana aku bertahan? Bila berkali-kali sumpah serapah yang diberi. Apalagi aku merasa tak terlalu dianggap".
"Aduh... Aku heran dengan bahasamu barusan. Kenapa kata-kata itu kau ungkapkan tanpa harus menimbang. Harusnya berpikirlah sebulum memilih kata. Apalagi yang kau ucap adalah perasaan. Bukan bahasa para politisi yang menggoda massa untuk terpikat".
Karena aku pernah bahasakan padamu di malam Kamis tepat pukul sepuluh malam.
"Aku tak akan jadi politisi atau masuk dalam sistem yang mengingat".
Masih di malam itu, ketika aku terus mengingat. Ternyata kau tak kalah seru untuk menjawab pernyataanku.
"Jika sistem yang mengingat adalah cara kau mengelak, maka kau akan tetap mengingkari segala janji yang terucap".
Suasana jadi hening lagi. Ketika jawabanmu dengan lembut sambil membelai rambut ikalmu.
Malam itu, adalah pristiwa yang tak bisa kulupakan. Sampai aku lebih mencintai malam dan pagi. Dari pada siang dan sore. Bukan aku tak ingin mencintai semuanya. Setidaknya, aku memilih hanya satu pasang. Biar ketakutanmu tentang berpindah hati mulai mengurang. Apalagi dihubungkan dengan logika para politisi, maka aku akan berpindah ke calon yang lain. Tapi dengan tegas kukatakan.
"Aku dididik untuk jadi pribadi yang konsisten. Bukan menjadi abu-abu di Rabu kelabu. Sebab Rabu telah lewat kemarin".
"Lantas kau lupa tentang kemarin?" Tanyamu padaku.
"Bukan melupakan yang pernah lewat, tapi..."
Kau lanjutkan seolah penasaran dengan bahasa lanjutan.
"Tapi apa?"
"Tapi... Aku mengambil yang kemarin adalah kebaikan dan melupakan yang buruk mulai hari ini dan esok mendatang".
Kau tertawa kecil seolah tak percaya. Namun dirimu lebih tahu tentang diriku dibandingkan orang-orang terdekatku. Tapi semuanya hanya jadi cerita, hanya tinggal kenangan tanpa harus bersama lagi.
Kalau memang bersama adalah membuatmu tak nyaman dan sinarmu mulai mengurangi terang, maka aku harus memilih pergi tanpa menjanjikan hal yang lebih indah lagi. Sebab yang indah akan terus bersemayam dalam hatiku. Hingga terus kujaga tak kala maut menjemput.
Papilawe
Jumat, 29 Juni 2018
By: Djik22
Komentar