#Part 02
Sudah aku memilih untuk pergi dari kehidupan yang terikat. Baik tentang ikatan berikrar, maupun ikatan yang berantai. Sebab ikatan menguncang hentakan sampai lelah. Seraya berkumandang lantang dalam jalan sunyi.
Jalan antara kau dan aku lalui, pernah disinggahi orang lain. Karena kuberdiri di batas pertemuan, namun aku tersingkir di ajakan menggoda. Kenapa kau goda dalam kata berbalut kalimat? Bukankah sumpah dan kutukan selalu kuterima?
Ternyata, kau bahagia tak kala duka yang kuterima. Lalu kau tersenyum saat sinar yang kutunggu tak kunjung tiba.
Kemana kau bawa hati? Di mana sulam yang kau sembunyi? Rupanya tak secuil pun kutemukan titik memberi kode. Seolah aku yatim dalam sengsara dan hinaan.
Iya... kau yang menghina, sampai di depanku sikap manis tak kau lupa. Kemudian senyummu selalu kuartikan sinis. Karena bola mata dan kata yang kau pilih. Mulai jauh dari pendirian tak kala kumengenal dulu.
Pasti setiap jawabanmu penuh alasan berlogika. Tapi, aku sudah merasa jadi budaya. Hingga kucampuri budaya peninggalan leluhur di tanah Rahim Purba. Tanah yang membesarkan nyawa dan menghaluskan raga. Sampai aku tumbuh dalam keadaan penuh keterbatasan.
Masih dalam waktu yang sama. Di pukul sepuluh lewat dua puluh tujuh menit. Kau menyapaku saat menuju jalan pulang.
"Kapan kau kembali?"
"Sudah lama kukembali, tapi tak kuberi kabar".
Protesmu "Kau adalah lelaki. Setidaknya ada keberanian untuk menyapa dan menegurku. Bagaimana kau ajarkan aku jadi pribadi yang berani? Kalau menyapa pun tak kau lakukan?
"Ah... aku adalah lelaki yang dipojokan. Sama perlakuan yang kau hajar setiap kata yang keluar dari mulutmu".
"Terus kau mau apa?"
"Aku tak menginginkan apa-apa. Namun yang kuinginkan adalah keterangan tanpa terbalut benci yang disimpan hingga jadi dendam".
Suasana malam kembali hening. Sambil kupejamkan mata menarik nafas panjang. Yang kalau diukur, maka mampu melewati batas usia yang terbentang sampai ke ujung samudera. Namun, itu hanya penggalan bahasa tak menyinari malam yang hening.
Jika malam adalah sahabat, maka dengan gembira kutuang resah dalam sunyi. Biar kehidupan alam mimpi tak terbuang sia-sia. Setidaknya, mimpi penuh arti tentang tanda hidup tak bertepi. Apalagi, selama nafasku masih normal seusia muda dua puluh dua tahun. Hingga edaran darahku mengalir seperti aliran cinta yang bermelodi.
Melodi yang kudengar lewat lagu dinyanyikan oleh orang lain adalah bahasa hati dilantun dengan merdu. Serupa ingin terus mendengar hingga menemani diri dalam gembira.
Sampai detik ini. Aku masih mencari gembira dalam persembunyian. Bukan gembira bertemu dirimu menggores luka. Tapi, gembira karena ikatanku telah diputus tanpa meminta pertimbangan. Setidaknya, posisiku tetap menjadi tempat empuk untuk kaki tegarmu menginjak.
Namun, tanpa kau sadari. Kekuatan yang ada dalam dirimu adalah doa terbaik kukirim setiap sujud dan rukukku. Sampai mataku lembab lantaran kubahiskan malam untuk berdoa. Bukan hanya berdoa, tapi semua kenangan pahit dan manis selalu kugores dalam karya. Biar kelak, kau bacai dalam bingkisan persembahan.
Saat pagi menyapa. Kulihat palangi dalam raut linang tanpa air mata. Hingga kutemukan dendam dalam air muka. Kemudian kau bertanya.
"Kenapa usia mudamu kelihatan tua?"
Aku heran. "Emmm...mmm... Tua? Mungkin pandanganmu".
"Terus bagaimana pandangan umum?"
Kujawab dengan hati. "Jika yang kau lihat adalah berantakan rambut ikalku, maka sengaja kubiarkan. Belum lagi, tambahan kumis dan jenggot selalu membuatmu tertawa".
"Kenapa kau sengaja?"
"Karena aku ingin tangan ayah yang mencukur. Biar nasihat dan belain tangan mesrahnya masih mengelus kepalaku. Sebab, aku ditimang dan dibesarkan dengan ayah yang dimusuhi karena berbuat baik".
Kau terus bertanya. "Kenapa orang-orang kebanyakan membenci kala kita berbuat baik?"
Kali ini, aku memilih diam. Sebab, tak ingin kugambarkan aib dalam rumah yang belum kau masuki.
Kau terus bertanya. Tapi aku terus diam tanpa harus memberi jawaban. Karena di dalam rumahku adalah rahasia. Apalagi, orang yang berbuat baik harus diam tanpa memebeberkan. Itulah prinsip 'Kala tangan kanan memberi, maka tangan kiri jangan meminta' seolah menuntut.
Hingga ke baris dua puluh tujuh menuju tiga puluh paragraf karya ini. Pertanyaan terakhirmu tak kujawab. Biar kau rayu dan paksa. Karena percuma kujabarkan dengan rinci. Lagian, tetap tak berguna untuk kau simak.
Karena telinga telah kau tulikan, mata telah kau butakan. Sehingga tak ada lagi sinar di mata berwarna hitam putih penuh misteri. Andaikan matamu memberi sinar, maka aku akan berhenti mencari. Tapi sayang, seratus duka kau gelapkan, lima puluh sakit yang kau racuni dalam berabad lamanya.
Hingga aku berusaha keluar dari derita. Sampai kutemukan sinar dan cahaya. Baru aku berhenti dan berucap syukur tanpa henti kepada alam semesta dan Sang Pencipta.
Papilawe
Jumat, 29 Juni 2018
By: Djik22
Sudah aku memilih untuk pergi dari kehidupan yang terikat. Baik tentang ikatan berikrar, maupun ikatan yang berantai. Sebab ikatan menguncang hentakan sampai lelah. Seraya berkumandang lantang dalam jalan sunyi.
Jalan antara kau dan aku lalui, pernah disinggahi orang lain. Karena kuberdiri di batas pertemuan, namun aku tersingkir di ajakan menggoda. Kenapa kau goda dalam kata berbalut kalimat? Bukankah sumpah dan kutukan selalu kuterima?
Ternyata, kau bahagia tak kala duka yang kuterima. Lalu kau tersenyum saat sinar yang kutunggu tak kunjung tiba.
Kemana kau bawa hati? Di mana sulam yang kau sembunyi? Rupanya tak secuil pun kutemukan titik memberi kode. Seolah aku yatim dalam sengsara dan hinaan.
Iya... kau yang menghina, sampai di depanku sikap manis tak kau lupa. Kemudian senyummu selalu kuartikan sinis. Karena bola mata dan kata yang kau pilih. Mulai jauh dari pendirian tak kala kumengenal dulu.
Pasti setiap jawabanmu penuh alasan berlogika. Tapi, aku sudah merasa jadi budaya. Hingga kucampuri budaya peninggalan leluhur di tanah Rahim Purba. Tanah yang membesarkan nyawa dan menghaluskan raga. Sampai aku tumbuh dalam keadaan penuh keterbatasan.
Masih dalam waktu yang sama. Di pukul sepuluh lewat dua puluh tujuh menit. Kau menyapaku saat menuju jalan pulang.
"Kapan kau kembali?"
"Sudah lama kukembali, tapi tak kuberi kabar".
Protesmu "Kau adalah lelaki. Setidaknya ada keberanian untuk menyapa dan menegurku. Bagaimana kau ajarkan aku jadi pribadi yang berani? Kalau menyapa pun tak kau lakukan?
"Ah... aku adalah lelaki yang dipojokan. Sama perlakuan yang kau hajar setiap kata yang keluar dari mulutmu".
"Terus kau mau apa?"
"Aku tak menginginkan apa-apa. Namun yang kuinginkan adalah keterangan tanpa terbalut benci yang disimpan hingga jadi dendam".
Suasana malam kembali hening. Sambil kupejamkan mata menarik nafas panjang. Yang kalau diukur, maka mampu melewati batas usia yang terbentang sampai ke ujung samudera. Namun, itu hanya penggalan bahasa tak menyinari malam yang hening.
Jika malam adalah sahabat, maka dengan gembira kutuang resah dalam sunyi. Biar kehidupan alam mimpi tak terbuang sia-sia. Setidaknya, mimpi penuh arti tentang tanda hidup tak bertepi. Apalagi, selama nafasku masih normal seusia muda dua puluh dua tahun. Hingga edaran darahku mengalir seperti aliran cinta yang bermelodi.
Melodi yang kudengar lewat lagu dinyanyikan oleh orang lain adalah bahasa hati dilantun dengan merdu. Serupa ingin terus mendengar hingga menemani diri dalam gembira.
Sampai detik ini. Aku masih mencari gembira dalam persembunyian. Bukan gembira bertemu dirimu menggores luka. Tapi, gembira karena ikatanku telah diputus tanpa meminta pertimbangan. Setidaknya, posisiku tetap menjadi tempat empuk untuk kaki tegarmu menginjak.
Namun, tanpa kau sadari. Kekuatan yang ada dalam dirimu adalah doa terbaik kukirim setiap sujud dan rukukku. Sampai mataku lembab lantaran kubahiskan malam untuk berdoa. Bukan hanya berdoa, tapi semua kenangan pahit dan manis selalu kugores dalam karya. Biar kelak, kau bacai dalam bingkisan persembahan.
Saat pagi menyapa. Kulihat palangi dalam raut linang tanpa air mata. Hingga kutemukan dendam dalam air muka. Kemudian kau bertanya.
"Kenapa usia mudamu kelihatan tua?"
Aku heran. "Emmm...mmm... Tua? Mungkin pandanganmu".
"Terus bagaimana pandangan umum?"
Kujawab dengan hati. "Jika yang kau lihat adalah berantakan rambut ikalku, maka sengaja kubiarkan. Belum lagi, tambahan kumis dan jenggot selalu membuatmu tertawa".
"Kenapa kau sengaja?"
"Karena aku ingin tangan ayah yang mencukur. Biar nasihat dan belain tangan mesrahnya masih mengelus kepalaku. Sebab, aku ditimang dan dibesarkan dengan ayah yang dimusuhi karena berbuat baik".
Kau terus bertanya. "Kenapa orang-orang kebanyakan membenci kala kita berbuat baik?"
Kali ini, aku memilih diam. Sebab, tak ingin kugambarkan aib dalam rumah yang belum kau masuki.
Kau terus bertanya. Tapi aku terus diam tanpa harus memberi jawaban. Karena di dalam rumahku adalah rahasia. Apalagi, orang yang berbuat baik harus diam tanpa memebeberkan. Itulah prinsip 'Kala tangan kanan memberi, maka tangan kiri jangan meminta' seolah menuntut.
Hingga ke baris dua puluh tujuh menuju tiga puluh paragraf karya ini. Pertanyaan terakhirmu tak kujawab. Biar kau rayu dan paksa. Karena percuma kujabarkan dengan rinci. Lagian, tetap tak berguna untuk kau simak.
Karena telinga telah kau tulikan, mata telah kau butakan. Sehingga tak ada lagi sinar di mata berwarna hitam putih penuh misteri. Andaikan matamu memberi sinar, maka aku akan berhenti mencari. Tapi sayang, seratus duka kau gelapkan, lima puluh sakit yang kau racuni dalam berabad lamanya.
Hingga aku berusaha keluar dari derita. Sampai kutemukan sinar dan cahaya. Baru aku berhenti dan berucap syukur tanpa henti kepada alam semesta dan Sang Pencipta.
Papilawe
Jumat, 29 Juni 2018
By: Djik22
Komentar