Kuputuskan untuk tak kembali jika pergi nanti adalah kebulatan niat yang ditimbang matang-matang. Bukan karena emosi yang berkuasa, hingga waktu pun tak bisa diajak kompromi untuk berhenti. Tapi inilah hidup yang penuh konsekuensi. Paling tidak ada pilihan, biar yang dipilih merupakan jalan penuh pertimbangan.
Menimbang dengan air mata yang mengalir akan membasahi tanah Nubalema yang telah membesarkan diri. Namun air mata terus mengalir sampai tak sadar kala tempat pembaringan ikut basah. Seolah hujan turun di musim panas dengan sinar yang menghitamkan kulit.
Bagaimana tidak? Di tanah Adonara begitu gersang kala musim kemarau tiba. Debu dengan senang hati memainkan ritme mengikuti langkah kaki warga desa. Langkah dengan rambut terurai kala gadis desa dan para ibu-ibu melewati lorong setapak yang dibangun satu tahun yang lalu.
Sampai hari ini, sisa sedikit menuju pembenahan demi kemolekan desa dari tata letak bangunannya. Semoga menjadi mata dan tenaga yang gembira. Walau sebagian yang protes kala bangunan 'taluk' sudah berdiri.
Rupanya, 'Aku dan Cita-cita' tetap jadi saksi, jadi pelaku, sekaligus tenaga penambah. Bukan harus mengungkap apa yang diperbuat lewat tenaga. Akan tetapi, mengingatkan kenangan jadi sejarah indah kala anak cucu tumbuh dewasa. Biar mereka tetap menikmati apa yang telah dibangun oleh para pendahulu.
Bukan sebagai generasi dan warga desa yang 'mengadu domba' dalam nafas kehidupan. Tapi memetik yang baik dan meninggalkan yang buruk untuk terus bertahan hidup di Papilawe. Iya, namamu pernah menjulang tinggi dalam ajang apa pun. Tapi kini perlahan mulai suram mengalahkan dedaunan yang berdebu.
Jika debu terus menempel di dedaunan, maka siramilah dengan air penantian yang ditunggu lewat perempatan jalan. Biar cita-cita yang baik terus dilanjutkan dengan senyum yang menawan. Bukan dilanjutkan dengan kebencian yang mendarah daging.
Papilawe
Sabtu, 7 Juli 2018
By: Djik22
Komentar