Karena tanahmu tak pantas menumbuhkan rasa dengan suara tuduhan tanpa bukti. Apalagi, perbuatan baik terus dikutuk. Hingga membuat tabu kalau banyak yang melakukan perubahan besar dianggap tak pantas. Namun ketika dua pasang perbuatan yang mencakar langit bangunan rumah, maka bangunlah dengan hati dan kerjakanlah dengan jiwa yang besar. Biar sedikit perlahan, tabu keburukan terus dibenahi.
Sebab keburukan akan terus dipertahankn, maka kemajuan berjalan perlahan mulai lambat hingga pudar. Untuk warnanya pudar, tapi bagaimana alam semesta ikut pudar sampai tak terlihat oleh mata yang jujur? Lalu kemana telinga menyimak pesan indah menenangkan jiwa?
Sadarlah untuk mata yang melihat, untuk telinga yang mendengar, dan kulit yang merasai segala hiruk pikuk tanah lahir yang berumur tak lagi muda. Biar umur terus bertambah, tapi jangan bendung usia masuk ke liang lahat bersama papan catur penuh warna.
Berilah makna setiap warna yang dijadikan simbol. Ingatlah pesan pada hitam yang telah melekat dan putih yang membias di teba-teba jalan antardusun. Setidaknya lorong indah tetap jadi saksi yang maha hidup. Biar mata kejora memandang sampai ke langit yang mulai sedikit gelap.
Sampai di bagian kelima tulisan ini, mulai terang dan jelas atas perbedaan pemikiran. Hingga selalu kuingat apa yang pernah dibahasakan oleh kawanku dari tanah Lembata.
"Bung, jikalau tibamu di tanah yang membesarkanmu. Maka janganlah terlalu bersuara dan jangan terlalu diam. Sebab akan ditanggapi berbeda".
Betul kata kawan yang telah mengingatkan di kejauhan tanah seberang. Kini mata dan kepala menyaksi dengan seksama dalam babat tanah perkampungan. Bahwa terlalu banyak bicara dianggap 'bodoh' dan terlalu banyak diam dianggap 'bodoh'. Padahal kata ini, hanya sebagai predikat dari mereka yang memberi pandangan.
Papilawe
Sabtu, 7 Juli 2018
By: Djik22
Komentar