Kalau benar hukum bisa dibeli dengan sepecer rupiah, maka dongeng cerita dibalut kebohongan masih terus berlanjut. Hingga tangan Tuhan tak mampu menegur. Karena egoisme begitu berkuasa dengan alur naik turun suara parau orang kesakitan. Sampai membutuhkan obat untuk tenangkan rasa sakit.
Andaikan hanya rasa yang digunakan dalam berkecimpung di dunia nyata. Maka logika akan berontak meminta keadilan pengunaan. Sebab, hanya rasa akan mudah mengalahkan banyak hal. Apalagi belum terlalu matang corak berpikir dalam alunan musik berirama pada warga desa.
Belum lagi musik yang sempat memuncak namanya di lingkaran kerabat desa. Sekarang perlahan mulai redup bersama semilir angin malam menuju siang. Ditambah senja menuju pagi.
Jikalau pagi adalah lembut nafas menghelai kehidupan baru. Tapi kenapa tak ada pembaruan yang ditemukan semenjak dua tahun terakhir? Apakah tahun pun mati suri seperti meminta diputar lagi jarum jam? Kalau memang mengiyakan jarum jam berputar lagi. Maka keadaan pun tak mampu menyapai yang pernah lewat.
Ketika yang lewat adalah mata air mengalir penuh racun. Maka semoga esok datang menjemput tak lagi membawa penyakit yang menebar virus kegelapan. Biar gelap tetap ada, tapi sedikitlah berjalan di atas terang hingga langkah kaki terlihat dengan mata telanjang.
Ketika mata mampu meneropong dengan tajam pada gejolak masalah di rahim desa, maka banyak kejernihan yang diraih dalam batas mampu mata air mengalir. Sampai air mulai kering di masa yang sama. Yaitu, masa suram di keadaan gersang bulan kemarau.
Kembali pada kemarau, maka tak heran debu tetap di singgung. Hingga debu mampu hilang dari tempelan tembok tua yang dibangun kembali. Sampai muncul bangunan baru dengan cat putih berdiri kokoh.
Atau berdiri bangunan kokoh butuh keikhlasan? Atau hanya menggunakan nalar biasa tanpa pertimbangan logika dari hasil musyawarah mufakat? Kalau memang paham akan asal budaya asli Indonesia sampai tingkatan desa, maka budaya gotong-royong harus menjama dalam kehidupan sehari-hari.
Apalagi keadaan sekarang, di tahun genap bulan ke tujuh penuh makna tepat di malam Minggu. Lagi-lagi malam lebih disinggung menuju kegelapan dengan cahaya bola lampu yang mulai cemburu. Seolah sepasang kekasih yang salah paham sampai mengambil jalan pintas untuk berpisah.
Untuk apa berpisah kalau sementara memupuk persaudaraan dari rumah kecil? Atau rumah tak lagi berpenghuni sampai mulai keropos dimakan tanah? Kalau memang tanah lebih cinta menjemput dekat, maka jangan kau ambil nyawa yang masih ingin hidup lebih lama lagi.
Rupanya hidup butuh pengaturan yang baik. Sehingga edaran nadi dapat bermain dengan teratur. Sampai tak mengganggu aliran darah yang mulai menurun telusuri garis pinggir batas patok.
Papilawe
Minggu, 8 Juli 2018
By: Djik22
Komentar