Waktu begitu lama berputar, saat kakiku melangkah menuju antrian panjang yang namanya perubahan. Bukan hanya soal gagasan yang jauh dari hangatnya realitas. Tapi, kau dan aku sembari bergandeng tangan dalam babak tragis kehidupan.
Hidup memang penuh dengan teka-teki. Terkadang penuh dengan tanya yang harus dicari jawaban. Seolah, kotak kosong yang harus diisi dengan hati yang ikhlas. Bukan dengan kepentingan yang bersembunyi. Boleh bersembunyi, tapi jangan kau acungnkan jempol pada pijakan yang salah. Sebab, aku telah lahir dari rahim pergulatan kebenaran.
Atau kau tetap bersembunyi? Hingga yang dulu kau kutuk kini kau mengemis. Yang dulu kau lawan kina kau jual dengan murah idealisme. Oh... rupanya, kau bersembunyi dibalik kepentingan yang sudah tepat kuanalisis di kejauhan hari, di kejauhan jarak, dan di hembusan angin yang tak membenci ruang dan waktu.
Padahal, pertemuan kau dan aku sudah dibangun atas dasar panggilan tanah lahir. Namun, kini kau sudah lebih dahulu masuk dalam sistem yang mengutuk. Hingga kau tak mau berbuat banyak dalam segala lini. Malah kau ajak aku untuk ikut dalam mainanmu yang penuh drama.
Bukankah kau tahu? Kalau aku adalah pengikut yang tak mau ikut pada pikiran licikmu. Sampai kau tawarkan jabatan, kau janjikan kebahagian. Namun, dengan tegas kukatakan.
"Aku tak semurah yang kau tawar dan tak semudah kau goda untuk digadaikan".
Rupanya, pertemuan yang kita jalani jadi catatan sejarah. Kata-kata yang kau sulam kini telah kau telan dengan paksa. Sampai kumenunggumu di persimpangan jalan yang sakral. Seperti kau gembor dengan lantang seolah marah. Namun, apa hendak dikata. Kalau pilihanmu adalah menjadi seorang penjilat setia tiada tara.
Lucunya negeri ini, menyerupai kelucuan hati dan pendirianmu. Hingga komitmenmu seolah alam pun mulai tak mendengar. Seperti sudah kusisihkan antara baik dan buruk yang pernah kau bisikan. Semoga, kau tak jatuh dalam lubang pertama dan kau tak tergeletak di ruang yang pernah kau protes.
Papilawe
Mingggu, 22 Juli 2018
By: Djik22
Komentar