Langsung ke konten utama

AKU DAN CITA-CITA IV (435)


Rupanya predikat dari mereka yang memberi pandangan tak sah bila disalahkan. Sebab, hidup manusia harus butuh penilaian. Karena manusia secara individu tak bisa menilai dirinya sendiri. Ia harus membutuhkan penilaian dari orang lain. Baik itu yang menilai dengan pandangan bijak dan begitu juga sebaliknya.

Sebagai manusia, harus mampu dan terima atas apa yang ditafsir oleh mereka yang dikategorikan sebagai maha tahu di atas bumi tempat berpijak. Apa pun yang dikatakan, dibicarakan, dan didiskusikan dari mulut ke mulut sampai menggunakan perasaan adalah siklus dari pola pikir manusia. Karena pola pikir dipengaruhi oleh lingkungan dan cara bergaul. Bersyukur kalau mereka yang bergaul melewati batas wajar.

Maka sedikit tidaknya mata pena pengelaman lebih unggul dari bidang tanah datar yang dipersoalkan. Karena sampai dengan hari ini, tanah ulayat terkadang menjadi sengketa berkepanjangan. Sehingga kebencian membuat perceraian antara keluarga, sanak keluarga, dan saudara se air susu.

Lalu kapan bisa dilerai? Kalau toh keadaan gersang tak berubah di tanah yang dijuluki 'Edo' oleh lapisan kecamatan lain. Ah, rupanya anak tiri dalam julukan pun masih menjadi budaya. Seperti memasukan patahan pakian di dalam lemari, lalu dibongkar untuk simpan di talam kemudian dibawa ke rumah besar. Ini menandakan, kalau cela dan keburukan secuil lubang jarum tetap jadi cerita.

Terus kapan kebaikan dijadikan pijakan berdiri? Oh... tak ada hakim berlaku di desa berkecambuk dengan marah oleh sebagian orang. Seolah marah adalah arogan dan ciri khas sebagai manusia yang dijuluki pembesar. Bukankah manusia yang di bumi sama di mata Tuhan? Atau tuan sudah tuli dan buta akan amal dan ibadah sebagai pembeda di hadapan Tuhan?

Kalau memang benar atas ucapan untuk memupuk kebaikan. Sehingga ucapan terus dijaga sepanjang nafas masih teratur seirama detak jantung, maka jangan lagi menyalahkan satu dengan yang lain. Setidaknya, mari sama-sama membenahi diri demi 'gelekat' pada kampung halaman.

Atau masih ada keraguan dalam diri ketika berbicara tentang kebenaran? Pantaskah kebenaran harus dibungkam dengan ketakutan? Ini menjadi lucu, serupa darah kotor masih basah di tanah kering setiap pintu yang dimasuki. Kalau memang darah adalah ketakutan akan pertumpahan selanjutnya, maka jangan lagi gabungkan urusan keluarga dengan urusan pemerintahan di tingkatan desa.

Sehingga tidak ada kesan. Kalau yang diatur adalah tata pemerintahan yang mendukung pada warga. Tetapi secara penerapan, masih berlaku mementingkan keluarga. Ini menjadi budaya politik dinasti secara kekuasaan. Bukankah kita sebagai warga sama di mata hukum? Atau hukum juga bisa dibeli dengan uang dan politik adu domba? Lagi-lagi kembali pada 'adu' dan 'domba'.


Papilawe
Sabtu, 7 Juli 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh