Rupanya predikat dari mereka yang memberi pandangan tak sah bila disalahkan. Sebab, hidup manusia harus butuh penilaian. Karena manusia secara individu tak bisa menilai dirinya sendiri. Ia harus membutuhkan penilaian dari orang lain. Baik itu yang menilai dengan pandangan bijak dan begitu juga sebaliknya.
Sebagai manusia, harus mampu dan terima atas apa yang ditafsir oleh mereka yang dikategorikan sebagai maha tahu di atas bumi tempat berpijak. Apa pun yang dikatakan, dibicarakan, dan didiskusikan dari mulut ke mulut sampai menggunakan perasaan adalah siklus dari pola pikir manusia. Karena pola pikir dipengaruhi oleh lingkungan dan cara bergaul. Bersyukur kalau mereka yang bergaul melewati batas wajar.
Maka sedikit tidaknya mata pena pengelaman lebih unggul dari bidang tanah datar yang dipersoalkan. Karena sampai dengan hari ini, tanah ulayat terkadang menjadi sengketa berkepanjangan. Sehingga kebencian membuat perceraian antara keluarga, sanak keluarga, dan saudara se air susu.
Lalu kapan bisa dilerai? Kalau toh keadaan gersang tak berubah di tanah yang dijuluki 'Edo' oleh lapisan kecamatan lain. Ah, rupanya anak tiri dalam julukan pun masih menjadi budaya. Seperti memasukan patahan pakian di dalam lemari, lalu dibongkar untuk simpan di talam kemudian dibawa ke rumah besar. Ini menandakan, kalau cela dan keburukan secuil lubang jarum tetap jadi cerita.
Terus kapan kebaikan dijadikan pijakan berdiri? Oh... tak ada hakim berlaku di desa berkecambuk dengan marah oleh sebagian orang. Seolah marah adalah arogan dan ciri khas sebagai manusia yang dijuluki pembesar. Bukankah manusia yang di bumi sama di mata Tuhan? Atau tuan sudah tuli dan buta akan amal dan ibadah sebagai pembeda di hadapan Tuhan?
Kalau memang benar atas ucapan untuk memupuk kebaikan. Sehingga ucapan terus dijaga sepanjang nafas masih teratur seirama detak jantung, maka jangan lagi menyalahkan satu dengan yang lain. Setidaknya, mari sama-sama membenahi diri demi 'gelekat' pada kampung halaman.
Atau masih ada keraguan dalam diri ketika berbicara tentang kebenaran? Pantaskah kebenaran harus dibungkam dengan ketakutan? Ini menjadi lucu, serupa darah kotor masih basah di tanah kering setiap pintu yang dimasuki. Kalau memang darah adalah ketakutan akan pertumpahan selanjutnya, maka jangan lagi gabungkan urusan keluarga dengan urusan pemerintahan di tingkatan desa.
Sehingga tidak ada kesan. Kalau yang diatur adalah tata pemerintahan yang mendukung pada warga. Tetapi secara penerapan, masih berlaku mementingkan keluarga. Ini menjadi budaya politik dinasti secara kekuasaan. Bukankah kita sebagai warga sama di mata hukum? Atau hukum juga bisa dibeli dengan uang dan politik adu domba? Lagi-lagi kembali pada 'adu' dan 'domba'.
Papilawe
Sabtu, 7 Juli 2018
By: Djik22
Komentar