Saat hari Jumat malam panjang di limit waktu yang sengaja dirahasiakan. Kau terus menyapa dengan kaku. Apakah aku terlalu jauh masuk di relung pertanyaan? Hingga seolah memulai dari awal kala bibit-bibit pohon piaraan tumbuh. Kalau memang aku terlalu jauh masuk, maka tariklah tangan dan badan ini untuk terus dilindungi semesta. Karena duri pesimis masih membekas tanpa dikumandangkan. Terus sampai kapan rasa pesimis diusir oleh catatan panjang langkah kaki dan panggilan alam?
Apakah alam pun tahu tentang keluh dan derita umat manusia? Atau alam terlalu jujur untuk diajak mendekat tanpa merusak? "Entahlah" jawabmu seperti penggalan kata dari gemuruh nyanyian Bung Iwan Fals. Lalu kenapa banyak yang merusak kemudian pergi tanpa permisi? Bukankah tempat yang bernama bumi selalu mendewasakan makhluk yang menghuninya?
Semoga kata-kata singkatmu tak serupa putusan hakim yang selalu memvonis sebuah perkara. Sampai aku bertanya berselang beberapa menit setelah dua kata yang dianggap larangan.
"Apakah cita-citamu menjadi hakim?" Jawabmu datar menyimpan teka-teki yang sedikit perlahan mulai terbuka. Kenapa teka-tekimu harus dipecahkan dengan kompromi sajak rindu dan semangat? Sampai membuat diriku selalu terpukau tanpa harus malu bertanya. Karena bagiku, malu tak bisa mewakili jiwaku yang sedang mendidih lantaran terlalu dipanaskan. Bukan hanya tentang didih karena panas membara. Tapi, sebagai simbol untuk terus mencari di Tanah Karang tempat kehidupan.
Sampai di pagi yang mulai mendekat. Pertanyaan demi pertanyaan bertambah memancing keadaan. Hingga aku dianggap mengintrogasi dirimu yang sedang berdiri di pulau baru. Aku pun tertawa luas seantero tanah kuberdiri. Bukan hanya berdiri dengan badan kosong kalau dipandang mata. Akan tetapi, aku selalu dilindungi para leluhur, dilindungi semak belukarnya pohon, dan diizinkan semesta untuk terus melaju.
Untuk terus mencoret lajunya cerita semesta, maka aku masih dalam prinsip dan janjiku di bagian pertama 'Janjiku akan terpenuhi kala mataku masih terbuka lebar, telingaku masih bersih mendengar, tanganku masih lancar memahat patahan kata, dan tenagaku selalu direstui semesta untuk menambah indah cerita semesta'.
Masihkah kau ragu dan terus menyamakan dengan yang lain? Seolah satu kata larangan terus dibatasi sampai terucap dua kali. Sebab, katamu "Aku seolah misterius" dalam hingar-bingar suara kata, berucap laku, dan teka-teki penuh jelmaan. Namun perlu kusampaikan biar semesta pun mendengar. Bahwa "Aku tak mau disamakan dengan pihak mana pun, didekatkan dengan sosok masa silam yang masih melekat, dan ditanda keramat kecupan hangat dengan paksaan" Ucapku sambil membuka mata menatap dalam-dalam.
Dengarlah sekali lagi wahai pulau penunggu menawan hati. "Kau dan aku dihadirkan bukan untuk menambah luka, memupuk lara, dan membumihanguskan alam yang mulai marah, tapi kita bersatu dalam pijakan prinsip untuk mengeja bait-bait semangat, menyusun sajak-sajak kutukan, dan membalut obat untuk sembuh dari keadaan yang sedang sombong" kala semua dimudahkan tekhnologi.
Teruslah melaju tanpa ada ketakutan di waktu mana pun. Karena kemudahan akan menyertai bagi raga yang terus berjuang, bagi jiwa yang sedang mencari, dan bagi pikiran yang terus maju. Maka, kemudahan selalu menunjuk jalannya sendiri di batas patok mana pun. Atau kau malah memilah antara lalu dengan sekarang? Tapi, tangan ini memilih berhenti di baris kesembilan cerita semesta. Setidaknya ada tingkat tangga yang diraih. bagaimana tidak! Kalau kemarin kuberi angka delapan dengan dua bulatan. Tapi hari ini, kutambahkan satu jadi sembilan. Biar satu telah jadi tambahan cerita dan janji.
Jalur Boleng-Lembata
Minggu, 9 September 2018
By: Djik22
Apakah alam pun tahu tentang keluh dan derita umat manusia? Atau alam terlalu jujur untuk diajak mendekat tanpa merusak? "Entahlah" jawabmu seperti penggalan kata dari gemuruh nyanyian Bung Iwan Fals. Lalu kenapa banyak yang merusak kemudian pergi tanpa permisi? Bukankah tempat yang bernama bumi selalu mendewasakan makhluk yang menghuninya?
Semoga kata-kata singkatmu tak serupa putusan hakim yang selalu memvonis sebuah perkara. Sampai aku bertanya berselang beberapa menit setelah dua kata yang dianggap larangan.
"Apakah cita-citamu menjadi hakim?" Jawabmu datar menyimpan teka-teki yang sedikit perlahan mulai terbuka. Kenapa teka-tekimu harus dipecahkan dengan kompromi sajak rindu dan semangat? Sampai membuat diriku selalu terpukau tanpa harus malu bertanya. Karena bagiku, malu tak bisa mewakili jiwaku yang sedang mendidih lantaran terlalu dipanaskan. Bukan hanya tentang didih karena panas membara. Tapi, sebagai simbol untuk terus mencari di Tanah Karang tempat kehidupan.
Sampai di pagi yang mulai mendekat. Pertanyaan demi pertanyaan bertambah memancing keadaan. Hingga aku dianggap mengintrogasi dirimu yang sedang berdiri di pulau baru. Aku pun tertawa luas seantero tanah kuberdiri. Bukan hanya berdiri dengan badan kosong kalau dipandang mata. Akan tetapi, aku selalu dilindungi para leluhur, dilindungi semak belukarnya pohon, dan diizinkan semesta untuk terus melaju.
Untuk terus mencoret lajunya cerita semesta, maka aku masih dalam prinsip dan janjiku di bagian pertama 'Janjiku akan terpenuhi kala mataku masih terbuka lebar, telingaku masih bersih mendengar, tanganku masih lancar memahat patahan kata, dan tenagaku selalu direstui semesta untuk menambah indah cerita semesta'.
Masihkah kau ragu dan terus menyamakan dengan yang lain? Seolah satu kata larangan terus dibatasi sampai terucap dua kali. Sebab, katamu "Aku seolah misterius" dalam hingar-bingar suara kata, berucap laku, dan teka-teki penuh jelmaan. Namun perlu kusampaikan biar semesta pun mendengar. Bahwa "Aku tak mau disamakan dengan pihak mana pun, didekatkan dengan sosok masa silam yang masih melekat, dan ditanda keramat kecupan hangat dengan paksaan" Ucapku sambil membuka mata menatap dalam-dalam.
Dengarlah sekali lagi wahai pulau penunggu menawan hati. "Kau dan aku dihadirkan bukan untuk menambah luka, memupuk lara, dan membumihanguskan alam yang mulai marah, tapi kita bersatu dalam pijakan prinsip untuk mengeja bait-bait semangat, menyusun sajak-sajak kutukan, dan membalut obat untuk sembuh dari keadaan yang sedang sombong" kala semua dimudahkan tekhnologi.
Teruslah melaju tanpa ada ketakutan di waktu mana pun. Karena kemudahan akan menyertai bagi raga yang terus berjuang, bagi jiwa yang sedang mencari, dan bagi pikiran yang terus maju. Maka, kemudahan selalu menunjuk jalannya sendiri di batas patok mana pun. Atau kau malah memilah antara lalu dengan sekarang? Tapi, tangan ini memilih berhenti di baris kesembilan cerita semesta. Setidaknya ada tingkat tangga yang diraih. bagaimana tidak! Kalau kemarin kuberi angka delapan dengan dua bulatan. Tapi hari ini, kutambahkan satu jadi sembilan. Biar satu telah jadi tambahan cerita dan janji.
Jalur Boleng-Lembata
Minggu, 9 September 2018
By: Djik22
Komentar