Ketika kemarin satu tangga aku telah naik dengan senyum dan renungan, maka hari ini apakah tetap tersenyum atau air mata. Namun doa terbaik dibutuh tabah dalam menambah cerita semesta. Karena pulau pesona menawan hati sedang menanti. Tapi belum juga aku sampai di dermaga tempat berdirimu. Tataplah aku wahai penyejuk hati, biar kebahagianmu bersama semesta yang menyulam intaian gemuruh doa setiap kaki ini melangkah. Apakah iklasmu dalam bisikan kata suara yang dikirim? Atau masih ada jelmaan lain dalam diriku?
Jika memang masih ada jelmaan dalam diriku, maka kukira butuh waktu untuk menghilangkan ingatanmu tentang pulau lama. Bukan juga aku ingin segera ingatanmu hilang begitu saja. Akan tetapi, masa lalumu bagian dari sejarah panjang penuh dendam dan pelajaran berharga. Maka ambillah pelajaran menawan sukma menambah laju berpikir. Biar jalan menelusuri arus gelombang kehidupan tetap dinikmati tanpa keluh. Sebab, mengeluh sebagai dasar berdiri, maka kebosanan dan pasrah menyayat-nyayat semangat lalu terpola menjadi tak berdaya menghadap tantangan zaman.
Apalagi zaman semakin memanjakan banyak raga. Aku jadi takut kala dirimu terjebak menjadi manusia yang lupa diri, lupa tugas sebagai generasi pembenah, dan lalai pada arah gerak perubahan. Lalu, untuk apa diberikan nafas dan raga? Apakah hanya menikmati semerbak harum mewangi, menghirup udara yang berpolusi, dan menjelma jadi manusia yang lupa pada kepentingan banyak orang. Bukankah perjuangan adalah kesamaan antara kau dan aku? Sehingga cinta pun kita memaknai sebagai 'perjuangan' tanpa protes.
Ketika kata 'protes' sering kutemui di jalan-jalan, sambil para massa aksi menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Dengan gagah berani para demonstran memberi nada kritis atas kebijakan pemerintah yang tak pro terhadap rakyat. Semoga kau dan golonganmu tak mengganggap miring tentang demonstrasi. Karena mereka rela kucurkan darah, keringat, dan suara melawan senjata yang dikalungkan di leher para aparat berdiri berjejer. Seolah-olah, suara lewat corong megafon dibendung dengan peluru emas. Lalu kemana hak kita sebagai warga negara? Atau kau memilih diam untuk melihat pebindasan? Ternyata, dunia kebebasan suara pun direnggus oleh kepentingan golongan. Hingga menggunakan rupiah menghambur menutup mulut.
Terus alam pun menderita akibat huru-hara kejar-mengejar kepentingan. Tapi, apa hendak dikata kalau alam lebih memilih diam serupa dirimu yang tak suka nada kasar. Karena bagimu "hal yang paling kau takutkan adalah berlaku kasar hidup sebagai manusia" di atas muka bumi. Karena trauma masa silammu belum bisa sepenuhnya kau hilangkan dari ingatan berlianmu. Maka, satu poin penting yang kupetik dari dirimu adalah "kau menolak berlaku kasar tak berprikemanusian, tapi kau lebih menyukai kelembutan dan kasih sayang sepanjang waktu".
Kemudian mataku menatap dalam-dalam keadaan yang sedang mengamuk. Ternyata ada bara api yang marah dengan kuatnya. Rupanya, ada kebakaran terjadi di lahan baru pulau baru. Maka sontak hatiku berkata "semoga ini bukan tanda buruk untuk langkah kedepannya" hidup sebagai akar yang mulai kekurangan siraman air. Tapi, api itu terus menjalar. Ketika ditelusuri, ternyat tangan manusia sering nakal untuk menyuliti bara api pada hutan baru yang sedang tenang. Lalu untuk apa punya tanah luas kalau tak dimanfaatkan dengan baik? Apakah pulau baru akan terus dihantam badai saat musim kemarau?
Pertanyaan tentang kebakaran terhenti sekeketika. Karena sapamu terlalu lembut di durasi waktu pukul 15.33 bertepatan dengan hari Senin. Tanyamu "Apakah masih ada lanjutan cerita semesta tentang kebakaran akibat ulah nakal tangan manusia?" Kemudian kutarik nafas dalam-dalam. Sambil membuka buku di lembar terakhir kuberi jawaban "Inilah cerita semesta tentang kebakaran yang sedang kurangkai dengan sedikit polesan sayang yang tak berkesudahan". Tanyamu lagi "Biar apa?" Jawabku "Biar kasih dan sayang mewakili perawatan cinta kasih untuk semesta".
Sudah saatnya, alam jalan cerita ini harus ditaburi dengan benang sastra yang bukan hanya mengotak-atik kata, mempermanis bahasa, dan memperindah kalimah yang jauh dari realitas. Tapi, cobalah tiduri gubuk-gubuk petani yang lahannya dibakar, dipaksa pindah tanpa ganti rugi suara dibungkam. Maka kau akan temukan derita yang sebenarnya. Sebab sayang tak hanya sebatas merapatkan bibir, mememluk dengan nafsu seolah dalam film-film menguci iman. Tapi baiknya adalah memeluk si lemah dengan berlian konsep. Lalu kau mrngajak aku dan si lemah tetap satu barisan perlawanan.
Tepat di tanah sengketa, tempat aku berdiri yang dianggap tamu lantaran budaya bisu nyanyian ala picik. Kisaksikan gemerlapan tangan yang dengan pongah tanpa prikemanusian mengusir dengan wajah-wajah kasar. Hingga menyeret-nyeret kesakitan dan pertolongan merupai jeritan. Tapi, tetap saja usiran tambah keras di tanah yang sudah lama ditempati. Apakah kau pun ikut prihatin kemudian diam? Atau kau satukan kepalan tanganmu menguatkan bara jiwa untuk terus melawan menuju keadilan?
Untuk kesekian derita luka alam yang kucatat masih buram dan samar. Maka perlu sebuah analisi yang tajam dalam kelam. Biar kekelaman di mana pun tempat segera terbenahi dengan arak-arakan semangat yang tak usang digilas kondisi kekinian yang sedikit manja. Sebab, kau pun pasti tak setuju sejuta konsep untuk sepakan hidup sebagai tamu di tanah sendiri. "Di manakah kau berpihak? Apakah pada ketenaran atau kebenatan?" Tanyaku semakin tajam di baria akhir cerita semesta dengan jiwa yang muali bergelora.
Perjalanan Lembata-Maumere
Senin, 10 September 2018
By: Djik22
Komentar