Langsung ke konten utama

CERITA SEMESTA #2

Saat hari Jumat malam panjang di limit waktu yang sengaja dirahasiakan. Kau terus menyapa dengan kaku. Apakah aku terlalu jauh masuk di relung pertanyaan? Hingga seolah memulai dari awal kala bibit-bibit pohon piaraan tumbuh. Kalau memang aku terlalu jauh masuk, maka tariklah tangan dan badan ini untuk terus dilindungi semesta. Karena duri pesimis masih membekas tanpa dikumandangkan. Terus sampai kapan rasa pesimis diusir oleh catatan panjang langkah kaki dan panggilan alam?

Apakah alam pun tahu tentang keluh dan derita umat manusia? Atau alam terlalu jujur untuk diajak mendekat tanpa merusak? "Entahlah" jawabmu seperti penggalan kata dari gemuruh nyanyian Bung Iwan Fals. Lalu kenapa banyak yang merusak kemudian pergi tanpa permisi? Bukankah tempat yang bernama bumi selalu mendewasakan makhluk yang menghuninya?

Semoga kata-kata singkatmu tak serupa putusan hakim yang selalu memvonis sebuah perkara. Sampai aku bertanya berselang beberapa menit setelah dua kata yang dianggap larangan.

"Apakah cita-citamu menjadi hakim?" Jawabmu datar menyimpan teka-teki yang sedikit perlahan mulai terbuka. Kenapa teka-tekimu harus dipecahkan dengan kompromi sajak rindu dan semangat? Sampai membuat diriku selalu terpukau tanpa harus malu bertanya. Karena bagiku, malu tak bisa mewakili jiwaku yang sedang mendidih lantaran terlalu dipanaskan. Bukan hanya tentang didih karena panas membara. Tapi, sebagai simbol untuk terus mencari di Tanah Karang tempat kehidupan.

Sampai di pagi yang mulai mendekat. Pertanyaan demi pertanyaan bertambah memancing keadaan. Hingga aku dianggap mengintrogasi dirimu yang sedang berdiri di pulau baru. Aku pun tertawa luas seantero tanah kuberdiri. Bukan hanya berdiri dengan badan kosong kalau dipandang mata. Akan tetapi, aku selalu dilindungi para leluhur, dilindungi semak belukarnya pohon, dan diizinkan semesta untuk terus melaju.

Untuk terus mencoret lajunya cerita semesta, maka aku masih dalam prinsip dan janjiku di bagian pertama 'Janjiku akan terpenuhi kala mataku masih terbuka lebar, telingaku masih bersih mendengar, tanganku masih lancar memahat patahan kata, dan tenagaku selalu direstui semesta untuk menambah indah cerita semesta'.

Masihkah kau ragu dan terus menyamakan dengan yang lain? Seolah satu kata larangan terus dibatasi sampai terucap dua kali. Sebab, katamu "Aku seolah misterius" dalam hingar-bingar suara kata, berucap laku, dan teka-teki penuh jelmaan. Namun perlu kusampaikan biar semesta pun mendengar. Bahwa "Aku tak mau disamakan dengan pihak mana pun, didekatkan dengan sosok masa silam yang masih melekat, dan ditanda keramat kecupan hangat dengan paksaan" Ucapku sambil membuka mata menatap dalam-dalam.

Dengarlah sekali lagi wahai pulau penunggu menawan hati. "Kau dan aku dihadirkan bukan untuk menambah luka, memupuk lara, dan membumihanguskan alam yang mulai marah, tapi kita bersatu dalam pijakan prinsip untuk mengeja bait-bait semangat, menyusun sajak-sajak kutukan, dan membalut obat untuk sembuh dari keadaan yang sedang sombong" kala semua dimudahkan tekhnologi.

Teruslah melaju tanpa ada ketakutan di waktu mana pun. Karena kemudahan akan menyertai bagi raga yang terus berjuang, bagi jiwa yang sedang mencari, dan bagi pikiran yang terus maju. Maka, kemudahan selalu menunjuk jalannya sendiri di batas patok mana pun. Atau kau malah memilah antara lalu dengan sekarang? Tapi, tangan ini memilih berhenti di baris kesembilan cerita semesta. Setidaknya ada tingkat tangga yang diraih. bagaimana tidak! Kalau kemarin kuberi angka delapan dengan dua bulatan. Tapi hari ini, kutambahkan satu jadi sembilan. Biar satu telah jadi tambahan cerita dan janji.


Jalur Boleng-Lembata
Minggu, 9 September 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh