Kopi hitam pekat menaburi ruang malam. Sembari tangan kiriku menjepit sebatang rokok berslogan menguning di Lembah hijau.
Tepat di kamar segi empat, mata belum sayu dari rasa kantuk yang tak berlebihan. Hingga jemari masih nakal mainkan peran menyulam kata. Namun, kagetku ketika mata menatap gambar. Rupanya, gambar bertanda penuh arti membuat rakyat terpesona. Seolah-olah, panggung politik ditonton oleh para penggemar membela sepenuh hati. Oh...panggung sandiwara yang melupakan sepak terjang para pejuang sebelumnya.
Kenapa pelukan terus menipu? Apakah senyum bergelombang menandakan Indonesia sedang dalam keadaan damai?
Lalu, badan tetap bertahan di sandaran empuk. Sampai lamunan ini tak membara rupai api hangatkan jiwa. Tapi kedinginan mengigil menyerang sum-sum belulang tanpa dibaluti Garuda dalam edaran darah. Sehingga Garuda hanya dalam ingatan tanpa dicumbui perbuatan sebagai bangsa yang tak buta sejarah.
Masih banyak yang belum sadar, kalau perdamain sesaat antara tokoh yang diagungkan dan dihujat merupakan rangsangan menggaet suara. Sampai isu lantunan suara adzan jadi buming kalahkan jeritan rakyat yang menderita. Karena sang aktor bermain lembut di depan layar. Tapi, di belakang layar tendensi kebencian membuat perut bertambah besar. Karena jerih payah penghasilan disalahgunakan.
Namun kekikukan terus muncul di malam yang mulai pergi. Tak sadar, asap bergelembung memudar di ruang rindu. Membuat ampas kopi sedikit tampak. Memberi tanda kalau semua akan pergi secara perlahan.
Terus pelukan seperti apa yang harus ditonton? Kelembutan seperti apa yang harus tercipta? Biar tak ada gonjang-ganjing lewat agama, budaya, dan politik. Supaya masyarakat tak dibutakan dengan permainan para elit. Sudahi saja sandiwara meninabobokan. Ciptakanlah kemurnian dalam bertarung, kesucian dalam bertindak, dan sinergis lewat pemikiran. Biar pelukan hangat terus melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa.
Papilawe
Sabtu, 1 September 2018
By: Djik22
Komentar