Bagian 1
Akhir Bulan Desember
Lama telah kuuikir pena kanfasku. Tiap balutan kertas, bercakan tembok, dan ukiran bersenjata yang bersemayam dalam takdir tanganku. Seolah tangan ini tidak ada hentinya terus menggores: kisahmu, kisahku, dan kisah mereka. Kupadukan dalam larutan bermakna menuai asa dalam bayangan wajah. Seperti sandaranmu padaku saat di ranjang bersobek. Berbisik "Jagalah diriku, hari ini sampai kelak", nyatanya ingatanku masih normal dikuasai oleh napsu sedikit nakal.
Pembaringanmu di bahu kiriku, ialah bak roh penembak tembakan menggores. Bila di kejauhan selalu merindu merinding berlarut sakitnya tenggorokan. Sambil kau oles dengan garam dan meminum air hangat yang di cok pada dispenser. Airnya hangat menyengatkan, menghilangkan suntuk, menghilangkan obatan terlarang dalam tubuhmu. Larangan telah kau langgar, nasihat telah kau abaikan. Begitu juga musibah yang menimpa kemalangan diriku.
Tentang cerita sederhana: akhir bulan Desember. Darah dan memar, lesu dan loyo, pucat dan menguning. Tercampur riak dalam pelukan dua malam. Kuajari kau tentang cinta, kuajari pendewasaan, dan penjagaan kemandirian. Sahutmu memalu "Iya...aku paham" lanjutkan celotehmu "Omongan harus dibarengi dengan kata-kata". Aku heran, seperti kata-kata menusuk, kata-kata beracun, kata-kata berduri membunuh. Dengan senyum dan tatapan melotot, membuatmu malu dan sedikit berontak "Jangan menatap begitu" ucapanmu padaku malam itu.
Ingin kukatakan, dari kisahmu telah menambah semangatku, menguatkan sayapku, menambah imajinasiku. Seolah kau adalah narkoba yang memberi candu setiap tarikan. Tak memberi penyakit, hanya memberi bekas di tubuhmu yang molek, rambutmu menghitam berair, matamu jernih, kulitmu sawo matang, dan gayamu sedikit tomboi. Aku ingin, kau jadi perguruan suatu ilmu bela diri. Jadilah editor handal yang berbakat terus berdampingan.
Makassar
Jumat, 29 Desember 2017
By: Djik22
-------------------------
Bagian 2
Berdampingan? "Bagaimana akulah sang kriting?" Bisikku pada telinga kananmu yang memakai anting berwarna hitam. Warna hitam itu mengingatkanku pada penampilan anak rocker. Yang suaranya serak basah. Karena sering melantunkan lagu kritik dan emosi total. Keringatmu takku temukan pada dahimu. Sebab beda tak kala kutatap penyanyi andalanku. Talentanya jiwaku rocker, tetapi hobiku mendengar lagu perjuangan berbau kutukan.
Penyanyi, musisi legendaris, dan politisi. Mereka juga punya ciri khas tersendiri. Ada yang suka ngelawak, membohong, korupsi, ingkar janji dalam bahasa meninggi. Pada tingkatan tertentu, aku dan mereka bisa terbang, tapi bagaimana tak punya sayap? Bertanyaku pada hati.
Aku ingin cerita sederhana ini, sebagai penghargaan terus membawamu. melalui sisi kehidupan. Menjerit pada dataran tragis, jalanan belukar, semak-semak berduri sampai ke perkantoran beretalase pencurian.
Tanyamu "Siapa pencuri hasil alam ini?" Kujawab "Amerika dan oknum yang mencederai". Oknum itu seolah masih abstrak, seperti kubayangkan bidadari di taman Firdaus. Taman yang menjanjikan segala penyediaan tak ada habisnya.
Jangan dulu bahas kebobrokan bangsa. Kalau peran pemudanya mati suri, jongos dibohongi gaji mengecil. Saat itu mataku lagi sayu bercerita. Kau dorong tubuh ini sambil menyuapiku tusukan pentolan ayam dalam mulutku. Kuraih tanganmu sambil mengelus berucap "Mari menjaga hubungan ini: dalam balutan cinta, dalam dekapan kisah romantis".
Haha...ha...Cerita ini seperti tumpang-tindih. Tak kala beringasnya bangsa Indonesia dengan isu sara, korupsi, pembungkaman, dan keburukan lainnya. Wow...menghayal penuh kenikmatan tanpa dilakukan. Atau seperti perdebatan logika yang menanyakan Tuhan. Lalu sambil menunjuk ke mataku "Dimana Tuhan berada?" Aduh jangan bahas Tuhan donk. Sebab Tuhan ada dimana-mana, Tuhan ada dalam dirimu, Tuhan ada di dalam aliran darahmu. Kau tercengeng memeluk boneka Biduilala22 (nama yang kuberikan).
Bertambah usia merdekanya negara Republik Indonesia (RI) ke-72 tahun. Perlu napak tilas atau refleksi oleh anak negeri, terutama kaum muda. Bukan hanya sibuk mengelus boneka, mainan gadget berhari-hari, dandanan merawat tubuh, menambah kecantikan, dan menambah kegantengan. Aku jadi lupa, menambah tingkat pengangguran, pembelaan diri: bosan urus masalah bangsa. Nah toh, kesehatan terganggu "Keluh salah satu pemuda hedon yang sukanya buat onar. Bangsa inikan sedang baik-baik saja, buat apa diributkan? Inilah pemikiran kerdil, pemikiran siap saji informasi tanpa menimbang menggunakan analisis dialektik. "Siapa yang jago, yang cerdas, dan cerdik?" Pertanyaan ini mengingatkanku pada perdebatan panjang di kontrakan Suka Hati. Waktu itu, tahun 2013 akulah pengikut terbaik dalam pembelajaran kerangka logika. Yang menghubungkan Tuhan dan menegasikan teori, data, dan referensi yang kubacai di deretan perpustakaan milikku.
Dengan suara melembut, kutawari pertanyaan pancingan "Kalau Tuhan jadi perdebatan, kapan pendiskusian menuju aksi?" Malah kau menjawab "Bacalah sebanyak-banyaknya buku, lalu diskusilah bersama tembok". Tembokkan tidak bisa diajak bicara!!! atau ini yang dibilang "Tembok juga merupakan tempat pembelajaran, iya kalau itu anak ingusan di pelosok desa juga bisa menjawab" Sambil kurapikan baju bagian depanmu yang kusam. Bajumu kebesaran, sebab badanmu terlalu kurus dan tinggi. Bukanku mengejek, tapi kebenaran itu harus diungkapkan walau pahit. Dari pada kebohongan yang ditutupi.
Langsung dengan gerakan refleks. Lalu kau buka buku catatan harianmu. Ternyata kau baru ingat, apa yang kubisikan tak pernah kau baca. Malah dijadikan pajangan keenakan mata memandang. Mendingan mencuri emas menyimpan di laci terbuat dari kayu Jati hasil produk dalam negeri.
"Sabar-sabar" Tanganmu sambil membuka buku harianmu. Bangsa ini, jadi miskin di negeri sendiri karena ada pembukaan ruang dari negara ke swasta. Baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. "Swasta itu, seperti makanan cemilan berhari-hari ya?" Pertanyaanku memancing lebih keras kau baca buku harianmu dengan kemarahan. Oh...ternyata dulu ada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Teka-teki persembunyian mulai dikaji. Saatnya belajar pada kebenaran. Karena kebenaran akan terus hidup (lirik lagunya Fajar Merah). Mantap, cubitanku pada lesung pipimu. Kulayangkan lagi pertanyaan "Mau bahas Tuhan terus-menerus atau sejarah yang salah diluruskan?" Jawabmu "Dengan simbol menguap" yang mengartikan, matamu sudah tak lagi bersahabat.
Terpaksa pembahasan penting tentang penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) bukan sepenuhnya lagi milik negara harus diakhiri. Entahlah, Sumber Daya Manusia (SDM) berwatak licik atau memang pura-pura diam. Belum lagi menyinggung soal UU Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Undang-undang ini bila dilihat dari kaca mata hukum, maka ada kejanggalan yang pernah dilakukan. Sampai lahirlah kesepakatan Kontrak karya. Bagaimana tidak, penandatanganan Kontrak Karya didalangi oleh dekengan yang mematikan. Saat itu, masa yang disebut (baca rezim). Pasti tahu siapa yang dimaksud? Sambil membuka mata, dengan parau kau menjawab "Masa pemerintahan Soeharto atau Bapak Pembangunan" Aku kira sudah di alam mimpi. Padahal masih konek menambah keseksian pembahasan. Dari ekonomi-politik yang dimainkan waktu di awal masa perintahan Orde Baru (Orba).
"Banyak julukan masa pemerintahan Orba ya?" Tanyamu sambil bangun dari tidur siangmu yang sempatku ganggu. Tanyaku "Apalagi julukan lain?" dengan suara agak mengeluh kemalasan kau jawab "Aduh...takut membahas julukan-julukan. Nanti terkesan terlalu formalis. Hanya melakukan perdebatan panjang, tanpa melahirkan solusi. Banyak perdebatan kusir menguras tenaga dan membuang waktu. Karena memperdebatkan suatu yang tidak dapat dibayangkan, apalagi dilihat". Rupanya, kau cerdas retorika dan penjabaran yang menarik.
Makassar
Jumat-Sabtu, 29-30 Desember 2017
By: Djik22
----------------------
Bagian 3
Memberi Semangat
Sedikit menghilangkan kecapean selama beberapa hari beraktivitas, Banyak hal yang kudapat darimu. Banyak kemegahan pengetahuan luas yang bersembunyi menyimpan keindahan. Penyimpanan memukau, ingin terus kugali siapa sebenarnya dirimu. Penggalian harus dalam agar kudapati cahaya tersimpan di dasar ketulusan semangat. Membayangkanmu adalah penyemangat tak terhingga. Bayangan seperti tempat-tempat bersejarah atau tempat berwisatanya para pelancong. Seperti Teluk Triton di Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. Tempat impian para pelancong dan kau juga salah satunya.
"Kenapa ya, keindahan terlalalu menyembunyikan dirinya?" Tanyaku padamu. Keindahan bersejarah atau menjadi kisah sejarah pelanjut?" Dengan tegar kau menjawab "Aku menyukai keindahan, karena keindahan menyimpan banyak makna, menyimpan kesejukan jiwa"... Ha...ha...ha... Seperti kata-kata gombalan. Aku benci gombalan, aku benci kebohongan, aku benci pengungkitan. Bahasaku pernah terlontar adalah bahasa perasaan. Yang kutulis dengan harapan, kutulis dengan semangat. Agar kelak jadi kegembiraan diraih bersama. Tapi kau adalah ketertarikan selalu muncul. Karena kisahmu menyimpan jutaan cerita. Yang nantinya akan kugoreskan dalam catatan akhirku.
"Walau Desember penuh kepahitan, amarah, pengkhianatan, tetapi tidak ada tawaran untuk menolak lupa. Akan terus terbayang sampai napas penghabisan. Biar cerita Desember tentang kelahiran, tentang kematian, tetang ratapan. Tapi jangan ingatkanku pada derita" Kalimat ini, ketika kubacai chatt yang kau kirim begitu panjangnya.
Ketika yang terlahir Desember, Seharusnya bersedih. Karena beberapa saat lagi ia akan pergi. Butuh waktu lama dalam penungguan. "Maukah menunghunya lagi?" Bertanya terus menerus meraih kepastian. Atau Desember terlalu cepat berlalu. lalui jalan membawa semerbak harum kegembiraan menjemput tahun yang baru. "Tapi bagaimana bila ada kawan, sahabat, pacar yang tidak bisa jalan di Desember?" Pertanyaan butuh mengerutkan kening untuk menjawab. Tidak bisa jalan karena sakit menusuk ulu hati, tidak adanya kehangatan bahu penyemanngat yang segera datang. Oh...sakitnya ulu hati di bulan Desember.
Dari semua keluhan, ternyata masih ada yang bertahan hidup, bertahan diri, pertahankan hubungan. "Sukakah membunuh mawar berdurian beracun?" Dengan menunduk kau menjawab "Tak ingin kubunuh mawar, karena mawar merah adalah kesukaanku" Yang terpenting mawarnya tak berduri menusuk, biar merawat dan menyiramnya. Sukamu adalah mawar merah. Gambarnya sering kau kirimkan ke aku.
Kesakitan saat-saat terakhir. Perlu obat mujarab meraih kesembuhan, agar kesehatan layaknya seperti dulu. Sehat, bugar, dan selalu senyum menawan. Ibarat mengoles air di badan langsung mengering. Karena panas tubuhmu mengalahkan air. Sambil berjalan perlahan berusaha hindari badan terkena hujan. Tepat di lantai dua kediamanmu tak ada orang. Hanya sendirian mendiami hunian. Menunggu azan Subuh mengusir ketakutan, roh jahat dalam diri. Tetapi ingatlah, ketakutan harus dilawan. Jika tidak, diri tak terkontrol menuju kehancuran.
Keberanian perlu dipupuk dari dalam diri. Jangan jadikan ketakutan yang menghamba diri. "Bagaimana kekuatan dalam diri tetap bertahan?" Keluhan sedikit sinis sambil menjatuhkan air mata dihadapanku. Lanjutkan keluhmu "Setiap yang kuhafal telah kulupai, yang kuingat dengan cepat memghilang terbawa angin malam berteman bunyian suara burung malam. Aku terharu mendengar kisah setiap kata yang keluar dari artikulasi jujurmu. Kau adalah ibu, kau adalah sahabat, saudara, kawan, dan tempat curahan hati.
Kuhabiskan banyak waktu bersamamu. Dari cinta, pilitik, dan kehidupan. Ada banyak pertamanyanmu belum kutemukan jawaban sesuai arah yang kau tunjukan. Pertanyaanmu seperti ini "Bagaimana menemukan politik sejati lewat cinta? Kau layangkan pertanyaan ini dengan alasan "Karena sebagian orang menggunakan cinta melanggengkan kepentingan politik: menggunakan agama sebagai dalil kebenaran secara subjektif, menggunakan perempuan sebagai tempat pelampiasan". Perempuan adalah lahan basah (keuntungan), perempuan ditindas begitu mengerikan. Baik di kota maupun di desa, perlakuan perempuan semena-mena. "Bagaimana pihak kami (baca perempuan) melawan?: Secara budaya perempuan tidak boleh bergabung dalam urusan lelaki. Karena hanya ditugaskan memasak di dapur, memenuhi kebutuhan hidup, memenuhi kebutuhan seksualitas". Saat bicaramu, di tangan kananmu memegang buku merah yang bertuliskan "Perempuan di Titik Nol" yang ditulis oleh nawal el-Saddawi (Penulis Mesir). Buku itu, merupakan catatan kisah nyata yang harus dibaca.
Jalur politik, ruang gerak hanya didominasi oleh lelaki. Dengan bangganya dijuluki "Kepala Rumah Tangga (RT). Protesmu kepadaku "Lelaki itu, selalu memanggap diri paling kuat: ketika kontes politik tiba, perempuan hanya untuk melanggengkan kemenangan. karena itulah logika pemikiran modern, maka lahirlah: tak ada kawan yang sejati, yang ada hanyalah lawan sejati:
Makassar
Minggu, 31 Desember 2017
By: Djik22
---------------------
Bagian 4
Sepuluh Letusan Puisi Persembahan Penutup Tahun
Janjiku, janjimu, janji mereka adalah ikrar yang harus dibuktikan. Ikrar itu, maha dasyatnya tak bisa kubendung dengan tameng pertahanan. Serangan bertubi-tubi memporak-porandakan keadaan hati gelisah. Bagaimana tidak, di luar sana dentupan kembang api memerahkan langit-langit kota. Entah apa yang didapat dengan berbuat kesenangan. Bagiku "Semua adalah kemajuan menghabiskan tubuh digauli kesombongan" Apakah aku terlalu kaku berpikir? Mohon diluruskan pintaku pada malaikat berdampingan di sisi kananku.
Banyak kalangan munusisa yang meramaikan antero kamar dengan minuman alkohol berbotol: mengeduk sambil berucap "Mari kita tutup tahun ini dengan membuka lembar baru" Kalimat itu, kudengar dengan kesedihan tak kala tanganku lagi menuliskan Sepuluh Letusan Puisi Persembahan Penutup Tahun. "Kenapa memilih melepaskan letusan puisi?" Serius kujawab "Sepuluh letusan puisi persembahan jadi sejarah. Kelak dibaca, didiskusikan, dan makanan yang lezat. Ia tak mati oleh tangis tragisnya kepongahan. Inilah bukti kecintaan anak negeri lewat karya, lewat tulisan". Biarkan jalan ini dipilih, sebab tidak dipenuhi, maka julukan "Pengkhianat" menimpah diriku. "Ah...manusia biar kelakuannya seperti maling, koruptor, perampok, germoh tidak akan mau dijuluki seburuk itu" Bisikmu pada kamar sebelah dari tempatku menulis cerita ini.
Tepat hari Minggu tertanggal 31 Desember 2017 akan ada keributan dalam grup Menulis Kreatif. Dan betul, saat kubukai handphone, ada sepenggal kata bertuliskan "Tepat pukul 23:55 kita akan melepaskan petasan puisi, tetapi dengan syarat: menulis tentang apa saja. Yang terpenting satu orang menulis sepuluh karya tanpa plagiat". Dengan semangat berapi-api, kuhabiskan rokok dalam genggaman hangat dan kukeduk sisa kopi sore. Muzizat dalam abad ini, karena tulisan tidak dijadikan barang dagangan demi mengenyangkan perut dan membesarkan nama sedikit dipolitisi.
Soal harga diri sebagai penulis, memang tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi. Tetapi jangan karya dengan murah terjual. Prinsipku "Lebih baik tak diterbitkan kalau hanya menerima materi (uang)." Apalagi menulis adalah sebuah rutinitas yang tidak bisa lepas dari napas kehidupanku. Menulis aalah mentari semedrbak menyinapi kehidupan di gurun, memberikan kehangatan bagi kehidupan gemerlap kedinginan. Kegangatan menulis dalam kepiwaian pemilihan diksi.
Komentar