Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum. Kesatuan dan keberagaman bangsa terdiri dari suku, ras, etnis, dan budaya yang berbeda-beda mulai dari Sabang-Merauke. Inilah kekhasan yang dimiliki oleh Indonesia. Bukan hanya pada keberagaman, tetapi bangsa Indonesia terkenal dengan tempat-tempat wisata yang memukau. Tak heran bila wisatawan luar negeri maupun dalam negeri selalu mengincar keindahan-keindahan alam.
Beriring majunya zaman. Polemik bangsa ini tak berkesudahan, baik di tingkatan nasional dan regional. Pada tataran nasional, banyak isu-isu yang berdampak terhadap perkembangan ekonomi-politik regional. Mulai dari pendidikan, kesehatan, korupsi, pembungkaman gerakan mahasiswa, kemiskinan, dan perseteruan tanah ulayat yang berkepanjangan.
Dari beberapa paparan masalah di atas, terus-menerus menyerang masyarakat secara luas. Apalagi keadaan ini, diperparah dengan masyarakat pada tingkatan menengah ke bawah. Seolah masyarakat kelas menengah ke bawah, jadi lahan pembodohan, pembohongan, dan pencucian tangan oleh oknum-oknum tertentu. Entah itu, birokrasi, partai-politik (Parpol), dan isntansi pada bagian terkecil.
Tanpa disadari, kejanggalan-kejanggalan menina-bobokan yang dimainkan dengan cara-cara tertentu. Hadir sebagai dewa penyelamat dalam penyelesaian polemik. Kondisi sangat prihatin bila semangat dan kepekaan kaum muda mulai menjauh dari pembelaan atas hak-hak masyarakyat. Kemana lagi perlidungan masyarakat kalau pemudanya diam? Diam di sini, bukan diartikan secara formal (tekstual) yang didapatkan dari meja kuliah atau hasil bacaan. Karena pemahaman diam adalah gerak, maka kaum muda dilucuti dengan serangan diskusi kusir tak berujung.
Momentum pemilu serentak sudah di ambang pintu. Ini menuntut peran kaum muda memberikan pemahaman kepada masyarakat. Baik itu lewat tulisan, bacaan, diskusi, memberi pelatihan, dan lain-lain. Kenapa masyarakat harus diberikan pemahaman? Ini pertanyaan yang harus dianalisis secara seksama. Karena masyarakat adalah farian dari negara ini. Masyarakat butuh sepak terjang eksekusi, bukan soal pintar dalam perpaduan kata-kata. Seperti retorika hanya pemanis di bibir.
Teknologi dan informasi, membuat pola pikir kaum muda terpengaruh. Seolah tugas kepoloporan terkikis, melepas tanggung jawab, dan bersikap seolah-olah menutup mata. Padahal sebagai kaum muda, harus memiliki jiwa kedekatan pada kaum-kaum lemah. Bukan mendekatan diri pada penguasa untuk mendapat keuntungan finansial secara pribadi.
Sejarah telah mencatat. Peran kaum muda dalam proses perjuangan tak bisa dielakan. Mari menengok pada ikrar 'Sumpah-Pemuda'. Dimana dari beragam pemikiran, kaum muda mampu disatukan lewat tiga poin penting dalam sumpah pemuda, yaitu mengakui "berbangsa, berbahasa, dan bertanah air yang satu". Karena berbicara kemerdekaan bangsa dan negara, tidak terlepas dari gerakan kaum muda. Terus menjadi pertanyaan, apa yang jadi tugas generasi muda masa kini?
Yang pertama, kaum muda dituntut membaca sebagai 'makanan pokok' dalam keseharian. Karena tanpa membaca, penyelesaian untuk menjawab keresahan-keresahan masih agak sulit. Semakin banyak membaca ragam literasi, data, dan referensi, maka pandangan (gagasan) terus diasah secara objektif.
Kedua, kaum muda diwajibkan selalu berdiskusi. Baik itu, pada tataran kampus, oranisasi intra, dan organisasi ekstra. Diskusi sebagai pemantapan transformasi ideologi (pemahaman). Apalagi pendiskusian dijalankan secara masif dan terorganisir. Karena dalam pendiskusian, banyak hal yang didapatkan. Maka kaum muda perlu berkecimpung dalam dunia yang bersifat ilmiah. Bukan hanya memperkaya diri pada koleksi kesenangan sesaat, menanam sifat acuh tak acuh, dan pemikiran-pemikir yang berbau subjektif.
Hal ketiga yang harus dilakukan oleh kaum muda adalah menulis. Kenapa harus menulis? Karena menulis adalah mengasah pemikiran-pemikiran yang diperoleh. Menulis sebagai refleksi ulang atas apa yang diperoleh. Karena tulisan tetap menjadi sejarah yang dinikmati oleh generasi penerus. Yang terpenting menulis dengan keiklasan, kecintaan, ketabahan demi proses pembangun bangsa.
Terakhir dari tugas kaum muda adalah menjalin hubungan silahturahmi. Hubungan tersebut disokong oleh agitasi teori menuju dunia praktik. Karena teori tanpa praktik: seperti "mengharap bulan yang jatuh di siang hari". Perlu sepak terjang mobilisasi secara kolektif (bersama). Agar apa yang menjadi cita-cita berjalan sesuai harapan. Aktualisasi diri sebagai batu loncatan melatih mental dan kedewasaan.
Sudahkah kaum muda menerapkan empat poin dijadikan pacar (pasangan) dalam bangun atau tidur? Teruslah berjalan pada rel-rel tersusun. Biar jalan berbunyi menyanyikan sepanjang lajunya kereta. Bawalah menuju ketengan akhir hayat, maka sejarah akan mencatat jiwa kaum muda yang menghabiskan waktu menjunjung tinggi keberagaman sejati.
Makassar
Selasa, 16 Januari 2017
By: Djik22
Komentar