Lama telah datang emberio mungil berwatak pejuang. Saat dalam kandungan diasuh dengan kasih melampau sayang. Setiap hembusan napas bunda kala tangannya mengelus-elus perut. Tangan bunda adalah tangan halus, yang tidak ada tara dalam dunia peradaban. Kisah ini kau (baca bunda) ceritakan padaku saat di atas gunung berapi lagi mengamuk keluarkan asap panasnya. Gelombang badai, penumbangkan pohon-pohon tua mulai bosan hidup. Lantaran tangan rakus durhaka manusia.
Bertambahnya umurku, kutatap mata bunda dalam-dalam. Ternyata bunda mulai lesu. Matanya mulai rabun, kulit keriput, dan rambut beruban putih yang tidak ada hitam sedikitpun. Bisikku pada telinga kanan bunda "Apa cita-cita bunda menginginkan aku lahir?" Sambil memeluk hangat badan yang tidak lama lagi menuju pembaringan. Sambil membelai rambutku bunda berkata "Waktu kau masih dalam kandungan, bunda selalu mendoakan kelak berilah pengabdian kepada nusamu: inilah alam pertiwimu yang memiliki beragam etnis dan kehangatan alam" Lalu bunda melanjutkan "Jangan rusaki lagi perawan alam indahmu" Tak sadar bunda menitikan air mata. "Kenapa bunda menangis?" Tak ada jawaban panjang untuk meneruskan cerita. Karena saat itu, bunda takut kalau cerita keburukan ini didengar oleh anak-cucu kelak.
Tumbuh besar, aku meninggalkan bumi lahirku. Bersama kawan-kawan mencari patahan-patahan emas pengetahuan di tanah perantauan. aku memilih di Makassar, sedangkan sebelas kawanku memilih terpisah-pisah. Ada yang di Bali, Kupang, Sumatera, Malang, Jogja, Jakarta, Surabaya, Kalimantan, Ambon, Papua, dan Maluku.
Ternyata, sampai sekarang tak lagi ada kabar berita dari kawan-kawanku. Coba kulacak lewat facebook, tak ada satupun yang kutemui.
Dapatlah aku pada sebuah kontak persen. Yang kunamai "Sepasang Juang," padahal nama lengkapmu Tasya Ana Wati.
Hari-harimu mengajaku diskusi. Satu pertanyaan yang kau dengungkan dengan marah "Kenapa alam nusamu selalu bertengkar soal gagasan? Padahal, sebagai genenerasi muda harus menerima perbedaan. Entah itu bahasa, budaya, penampilan, dan lain-lain. Malah ikut bermain dunia politik yang merampas hak banyak masyarakat." Tanganmu gemetar karena kisahmu dan kisahku adalah kesamaan. Yaitu, sama-sama ditindas dan dibohongi.
Sambil memesan makanan di warung sederhana. Kulihat dari belakang tubuhmu, ternyata kau adalah aktivis pejuang pembebasan perempuan. Saat itu, aku membaca pin (sejenis papan nama) yang kau gantung di tas terletak tak jauh dari meja makan.
Kembalimu dari memesan sambil mengatur napas, menghelai rambutmu yang keriting ikal. "Kenapa kita selalu merasa paling jago, pintar, cerdas, dan hebat dari pada bangsa lain?" Dengan heran kau jawab "Kita...!!! lo aja kali. Itulah kesombongan, itulah kekeliruan, itulah ketamakan. Seharusnya kita (baca kaum muda) banyak belajar ke bangsa lain. Mengambil ilmu pengetahuan dengan ketekunan."
Bagaimana tidak, ekonomi nusamu, nusaku kian banyak yang dikuasai oleh perusahan asing. Ini aneh, padahal kekayaan alam terus dijaga dan dirawat oleh pribumi sendiri. Tanyamu padaku "Sebenarnya apa yang tidak bisa ditanam di sini: batu karang saja masih bisa bertahan hidup dari gersangnya terik matahari mengganas." Sambil tersenyum kau mencubit tanganku sedang menulis 'Perjuangan Kaum Muda.'
Kutambahkan penjelasan, "ini zaman milineal, jadi siapa saja bebas menentukan pilihan. Tapi ingat, pilihan yang membangun kejayaan di atas peradaban Nusa Tenggara Timur.
Sekian
Makassar
Jumat, 12 Januari 2017
By: Djik22
Komentar