Warung makan belum aku jelaskan. Bagaimana tata-letak dandanan dinding? Gambaran nilai bermakna pada warna cat bertabur tangan keikhlasan. Warung itu, tak jauh terletak di samping kampus pejuang. Ukurannya sederhana: seperti pakaian yang kau kenakan saat pertemuan pertama. Tanyamu berbakat malaikat "Kenapa di dinding warung ini memiliki beberapa warna?" Sambil menunjuk dengan jari telunjuk pada warna merona merah. "Ah...ah...kau ini, menguji atau mencari tahu? Merah yang kau sentuh dengan kedalam jiwa semangat adalah filosofi tentang keberanian mempertahankan kebenaran."
Jawaban kuberikan dengan kepala tegak sambil menatap sinar matamu. Seolah pancaran cahaya, mengalahkan penerang lampu menguning di perbatasan kota tua. Perbatasan antara bangsa minoritas dan mayoritas. "Patutkah dengungan lebah? Pada gigitan kecil hina: suntikan jarum imunisasi menusuk di lengan kiri masa kecilku." Dalam hati kuingat memutar memori masa lalu.
Belum begitu banyak, aku belajar dari kecerdasan bersembunyi di balik otak kiri-kananmu. Seperti otak besar dan otak kecil, susah aku dapatkan jumlah. Sejatinya berlabuh menari dalam kepalamu terbalut baju putih bergaris hitam.
Tetapi dengan kepercayaan berbudi, ada sisi keputihan pewarna netral lambang kesucian. Maka, berteduh di bawah kibaran bendera merah putih. Sang Saka yang kini berkibar mulai melayu. Padahal dulu diraih atas perjuangan tak kenal getir, tak kenal takut, tak kenal gentar melawan penjajah. Jangan-jangan curigamu "Aku adalah penjajah yang berwatak penindas?" Sebab, kuanalisis lewat psikologi komunikasi.
Ha...ha..."Kenapa aku begitu kolot berpikir? padahal kau, aku, dan mereka saudara sedarah. Darah merah bertumpah di negeri yang namanya Indonesia." Kau heran, "Hei...!!! kenapa kau senyum-senyum sendiri? Pasti kau berpikir buruk tentangku: atau kau simpati karena parasku cantik?" Walah...kuhelai kata-katamu "Jangan kelebihan percaya diri, kalau menggunakan metode subjektif. Seharusnya memakai metode dialektika. Sehingga melahirkan benih-benih hasil objektif." Langsung teringat dalam pikiran "Itu adalah ajaran 'Materialisme Dialektika Historis (MDH) yang digagas oleh Karl Marx. Marx...!!! penulis buku Das Kapital I, II, dan III? Begitu tebal, gila bacaanmu setebal bantal-bantal yang kutiduri di atas ranjang pulau nusaku" Heranmu dengan tatapan serius. Aku tahu, kau mulai mengagumiku.
Sang penerang mulai menuju ufuk timur, petanda senja perlahan hilang. Datang panggilan harmoni menjabat tangan menyapa "Hey bung...Apa kabar? Telah lama bung ditunggu di parlemen jalanan. Dengan goyangan begitu berbahaya tragis, bahkan rela mati demi kebenaran." Genggaman tangan semakin menguat, ternyata kau kawan lamaku. Mantan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kampus biru ternama.
Obrolan semakin menarik terjal karena datangnya kawan lama bersama anggotanya. Kuingat-ingat namamu, hampir mirip dengan pahlawan nasional. Ternyata nama lengkapmu Pati Raja Wijaya. Tak sembarang julukan nama pemberani, pecinta seni, dan pengagum sastra. Baik lewat pembacaan, penulisan dan panggung pementasan memukau. Seperti sajak Adonara yang dibacakan oleh 'maha guru' sastrawan nusaku, ialah Bang Bara Pattyraja.
Tanya kawan lamaku dengan mimik meyakinkan. "Kenapa pertentangan blok pemikiran terjadi? Kenapa Karl Marx banyak yang menghujat?. Lewat teori terkenalnya 'Agama adalah Candu'. Pasalnya, melihat realitas sosial agama digunakan sebagai salah satu jargon politik. Begitu kejam, keras, dan membara tamparan pada wajah. Indonesia adalah negara majemuk. Apalagi berdiskusi tentang nusa, maka Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai provinsi toleransi umat beragama terbaik di mata dunia.
Ini menarik kawan-kawanku. Perlu kita mengkaji secara ilmiah. Julukan provinsi toleransi umat bergama terbaik "Ada apa sebenarnya? Bukankah bangsa lain mengenal, NTT sebagai salah satu tingkat provinsi terkorup ke-4 (sumber: metrobatam.com 01:08- Juni 2016) dari 34 provinsi di Indonesia?" Agak ekstrim memang, kalau bicara soal kebenaran.
Dalam warung sederhana, kaulah satu-satunya perempuan. Maka, "Marilah belajar dalam kebenaran. Sebab, kebenaran adalah kejayaan untuk menata peradaban lebih megah" Suaramu mewakili kaum perempuan nusa.
Tiba-tiba suaramu terbata-bata sambil menitikan air mata "Lantaskah julukan aku adalah 'Perawan Bunda? Bila tanah keramat dikotori yang lalim?" Secara serentak semua kepala berucap kompak "Tuntaskanlah yang kotor jadi bersih, lawanlah sampai titik darah penghabisan."
Di perempatan jalan, aku, kau, Pati, dan anggotanya mohon pamit menuju pondokan kerdil. Di sanalah perselingkuhan gagasan terjadi. Sebab kita bersepakat pada nusa "Selama lautan berwarna biru luas, selama langit tak buram padam, selama mata masih normal, dan otak masih jernih. Maka raihlah kejayaan menjaga 'Perawan Bunda' sebagai tugas yang harus dijawab tiap-tiap generasi pelanjut.
"Salam satu nusa, berbahasa ragam, budaya mengaya. Tantangan lebih besar sedang memanggil. Karena ekonomi-politik nusa perlahan didikte, kesehatan tak merata, pendidikan menerima bungkam, budaya berkamuflase jual-beli. Maka, mari bergandeng tangan mulai hari ini dan esok. Sebab lusa adalah milik anak nusa" Itulah pesan penyemangat yang kau katakan, sebelum berucap salam berpisahan.
Makassar
Kamis, 18 Agustus 2018
By: Djik22
Komentar