Namamu dulu sering hadir dalam setiap hembusan nafas dan detak jantungku. Tapi sekarang, nama itu mulai buram digoda oleh politik penistaan. Kenapa buram karena penistaan? Karena dalam namamu adalah sebuah doa yang salah digunakan mereka. Maka, biarlah namamu tetap abadi dalam gemuruh suara dan kencangnya hasut-menghasut antara satu sama lain. Setidaknya, ajaranmu selalu kujalani tanpa jembatan pemisah.
Karena jembatan yang dibangun dengan kucuran dana yang tak main-main. Maka, aku lebih memilih mengingat namamu tanpa biaya. Sebab, sedari awal kita sadar akan kesederhanaan. Karena sederhanaan adalah pegangan kita dan kemehawan yang dibuat-buat adalah hal yang tidak kita sukai. Apakah kau ingat itu wahai manisku?
Semoga, ingatanmu masih setajam pisau cukur, penciumanmu sejauh teropong rahasia, dan analisismu sejitu tembakan panah yang tersembunyi. Biar dalam keadaan apa pun, kau tak tergoda oleh tawaran rupiah, jabatan, dan janji-janji palsu yang masih absur. Karena kita sering meningatkan tentang prinsip mana yang harus kita pijak. Jangan sampai, prinsip dilanggar kemudian menggelegar hasut-menghasut menaburi benih benci dan sekte di gelanggang perlawanan.
Ingatkah manisku. Saat terakhir kali kuucap kata di bawah pohon sukun bercabang yang sedang menari-nari? Kala itu tepat gerimis jatuh tanpa kita undang untuk membasahi kehangatan cerita.
"Jika suatu saat kita memilih jalan masing-masing. Maka, jangan jadikan aku sebagai musuhmu. Tapi, jadikanlah aku kawan juang yang selalu kompak dalam penyususunan strategi dan taktik perlawanan. Karena kecantikan tak harus diangungkan. Kegantengan tak harus dibanggakan. Apalagi, soal cinta yang memenjara rasa dan sampai kebencian tak pernah surut."
Cerita itu, masih kutulis rapi dalam naskah yang terbuang. Hilangnya entah dibumihanguskan oleh siapa. Akhirnya, sekitar beberapa tahun tak kutemui lagi. Tapi, naskah itu kutemukan kembali dalam babat pertengkaran sengketa ulayat berujung politisasi. Sekiranya, kejadian sengketa yang berdarah-darah itu kau tetap ingat. Karena, aku masih percaya pada kemiripan ingatan kita.
Tepat di bulan dua belas hari Rabu tahun ganjil. Kau kirimi aku sebua kado berbungkus rapi. Saat itu, darah pemberontakan belum turun normal menenangkan tubuhku. Tapi, kupaksakan diri setelah kubuka kotak cokelat tua tergeletak di atas meja tempatku menulis. Dengan rasa penasaran aku membukanya pelan-pelan sebuah naskah dijepit dengan karet. Ternyata, rasa penasaranku dikalahkan dengan kata-katamu.
"Gelora jiwaku selalu memanggil tentangmu. Mengingat lagi kenangan indah. Aku ingin kembali, tapi kita tak lagi sama."
Terkejut aku membaca potongan kalimat lepasmu. Sebegitu tegahkah dirimu! Apakah karena pilihan politik membuatmu mengambil sikap? Sampai kau menyeberangi lautan yang dihantam oleh ganasnya gelombang. Manisku, dalam doa dan arah langkahku. Aku memanjatkan kepada semesta. Kalau perbedaan politik tak harus memisahkan kita. Apalagi, kau meninggalakanku yang sedang ditumpuk tugas besar.
Makassar
Rabu, 26 Desember 2018
By: Djik22
Komentar