Kawan-kawanku sedang menikmati hari bahagia. Keramaian pun tak kalah bersaing untuk memberontak dengan tawa dan senyum yang menawan. Senyum karena cerita dan kenangan yang lucu. Bahagia karena menikmati bangkit kembali dengan hari.
Saat-saat bahagia tercampur tawa menjadi kesatuan. Maka, aku pun ingin tetap bersatu. Setidaknya, kita bicara banyak soal-soal yang sulit dipecahkan. Namun, keinginan begitu besar harus dipangkas oleh sebuah rantai yang bernama 'jarak'. Ternyata, jaraklah yang membatasi semua yang sedang menanti di sana.
Terkadang kita sering mengulang kembali dari apa yang telah dilewati. Setidaknya, yang kita ulang adalah kenangan indah. Dan yang kita musuhi adalah kenangan pahit. Karena kita sama-sama memiliki dua sisi kenangan itu. Aku yang ingin merangkap di dua sisi, tapi kau tegur aku dengan cara lembut.
"Sudahlah, jangan berdiri pada dua sisi. Karena kekonsistenanmu akan tergoda dan teruji di balik jeruji-jeruji hari. Apalagi, kau lebih berpihak pada kenangan buruk. Maka, kau perlahan terkikis untuk kembali mengingat kepahitan yang selama ini membuatmu dilema."
Sayangnya, nasihatnmu tak kugubris dengan jawaban. Karena aku ingin menikmati hari-hari bahagia ini. Setidaknya, berkumpul menjadi senjata ampuh melawan duka. Apalagi, lara menggodaku dengan lemah. Maka, lara akan kalah dengan kebertahanan diriku pada kekuatan semesta.
Tepat 25 Desember, semua ramai-ramai berkumpul. Maka, aku memandang semua dengan bahagia. Biar yang kupandang itu hanya di dunia maya. Tapi, tepat di sebuah foto. Mataku tak ingin lari dari tatapan serius ini. Hingga aku menulis di sebuah kata terakhir kalimat bahagia.
"Saat bahagia kau tiba. Terima kasih kau yang telah hadir. Tetaplah bersama menyemai mutiara kebersamaan. Mari kita menari tanpa henti. Jangan menghentikan langkahmu dengan kata. Apalagi, kata-katamu mewakili diriku dengan doa. Maka, tak sadar aku menulis untuk menikmati kedamaian di tanggal 25 Desember 2018."
Makassar
Selasa, 25 Desember 2018
By: Djik22
Komentar