Aku dilahirkan di Pulau Pembunuh. Bersaaman dengan darah yang mengalir membanjiri tanah moyang. Kudapati cerita itu dari dongeng dan mitos-mitos purbakala. Serta julukan para peneliti yang belum sempat kutahu dari mana.
Ketika mengenali dunia modern. Hatiku bahagia bukan kepayang. Kupejam mata dalam-dalam saat bertatapan seorang kewae bersarung kewatek dan tangannya dikalungi kala bala. Begitu sederhana perempuan tanah moyangku pewaris sejarah. Dalam dunia yang modern pun, sebagian dari anak cucunya masih memegang teguh pada sari pati budaya berseri di badan para pemakai.
Kewae itu ketika kuingat sekarang. Kami dilahirkan di hari, bulan, dan tahun yang sama. Tapi, jam yang berbeda. Karena bunda penimang kasih tak sempat menggengam pena kala nyeri dan rasa sakit menyerang. Sebab, budaya kami bukan tulis-menulis saat menjemput sang mata-suci mengenal dunia baru dengan tangisan.
1992, Sabtu kelabu tangisan mengalahkan hening. Saat itulah, dunia yang penuh budaya diganggu dengan tangisan mata-suci. Tanah perkampunganku menjadi saksi sejarah dalam babat zaman modern.
Aku dipanggil dengan nama Ata Edo, sedangkan dia yang kutemuai saat memakai kewatek dipanggil Ina Sina pemurah senyum. Hanya satu kali dalam waktu berkala sebuah perjumpaan. Entah kapan perjumpan itu terulang kembali. Setidaknya untuk mencarinya, maka aku terus menulis. Biar dia temukan nama Ata Edo dalam coretan sederhana. Dengan harapan ia rajin membaca seperti budaya orang Eropa.
Makassar
Minggu, 23 Desember 2018
By: Djik22
Komentar