Sumber foto: Dokumentasi Ikappem-Abat Flotim-Makassar
Perang terjadi dimana-mana. Mengangkat senjata dengan dalil pemusnahan bagi yang dianggap melawan. Kerusuhan menjadi makanan pokok bagi sebuah pembukaan lahan baru dan membangun kemegahan yang mewah. Kenapa kemegahan harus mengaliri darah orang-orang tak berasalah? Atau ini yang dinamai negeri pemanah demokrasi yang suka membidik dengan tembakan membabi-buta?
"Haahaha...!!! Lucu juga, jika dalil keamanan harus adanya perang, pembunuhan, dan penembakan senjata. Kok, murah sekali peluru penjuru mengenai orang yang bukan dibidik. Bahkan lebih parahnya lagi, bidikan itu mengarah di dada orang-orang yang tak bersalah. 'Aneh bin ajaib,' di negeri yang katanya penganut demokrasi, tapi mencederai nilai demokrasi. Lalu, apa tujuan berdirinya negara?" Ucapku dalam renungan saat membuka lembar kedua catatan kusamku.
Inilah negeri pengagum demokrasi. Atas nama perbedaan, kita dijuluki seribu ragam budaya dan tetek-bengek lainnya. Sayangnya, perbedaan hanya sebuah bahasa bersifat politis penuh ambiguitas.
"Aku tak ingin, Sayangku ... !!! Jika, perbedaan hanya sebuah kata tanpa diamalkan. Karena, aku takut negeri ini terbawa arus tanpa cinta dan arah yang tidak jelas. Maka, marilah dirimu yang kupuja untuk menjadi sahabat juang. Kau kudidik dengan tetesan darah dan usaha yang selalu berdiri pada kebenaran. Jadi, jangan kau bermodal 'perbedaan' dengan mudah meracuni segala yang bersih. Apalagi, hatimu dan hatiku diharumkan oleh bau wangi sisa-sisa kemolekan pertiwi yang mulai menangis. Hapuslah air matamu; hapuslah kesedihanmu. Keringkanlah air mata kita: air mata pertiwi. Perang tak hanya kau tangisi tanpa melihat secara objektif. Apalagi, perang hatiku-hatimu terombang-ambing oleh dalil retorika tanpa bukti." Keluhmu yang sedang tergoda cinta dan keadilan.
Cukuplah sudah sayangku. Jangan terlalu berharap kepada mereka yang kita anggap mampu. Karena mereka menjadi otak-otak kehancuran bangsa kita sendiri. Apalagi, mereka menggelinding bola pengkhianatan untuk mengobati rasa. Maka, sudahi saja percayamu pada maling. Berhentilah dengan 'ilusi mimpi' yang lama kau cita-citakan kepada mereka yang mulai bejat.
"Kembalilah, Sayangku kepangkuan hak hidup orang banyak yang berbicara tentang keadilan dan berjuang atas nama kesejahteraan. Setidaknya, perjuangan dengan segala perbedaan ini mampu menjadi pelangi yang selalu bermakna di setiap warnanya. Jangan lagi, kau bicara tentang warna-warni menyesatkan dirimu sendiri, Manisku. Tapi, jadikan setiap warna itu sebagai rahasia dan jalan kebenaran yang harus dipertahankan." Celotehku pada hayalan yang sedikit menggila.
Maka, tugas kita bersama adalah tetap menjunjung tinggi perbedaan. Tanpa harus memecah-belah keadaan. Ketika pemusnahan dan penembakan orang-orang tak bersalah diaminkan oleh mereka yang bejat itu. Maka, aku ingin kau aminkan perjuangan kita dalam setiap larik doa-doamu. Biar, tak ada lagi pertumpahan darah berserak murah. Sehingga, negara tak lagi menggunakan kesempatan otoriter untuk memusuhi warganya. Relakah kau jadi warga setia pada negara yang diborgol oleh kekuasaan dan kepentingan? Atau kau mengikuti arah juangku dengan gelombang yang mengombang-ambing? Pertanyan ini sebagai tantangan untuk kita semua yang berbicara perpedaan, Sayangku.
Makassar
Jumat, 7 Desember 2018
By: Djik22
Komentar