Sumber foto: Faisal B. Payon
Derup suara musikalisasi puisi menggoda hati mengorek luka. Saat mendengar suara dari gawai milikku di tepi pantai. Mataku memandang ke arah laut, sambil bermain jemari terhempas ombak. Kondisi seolah sepi tanpa ada suara protes. Namun, hanya suara melo diiringi angin ribut samping tempatku duduk. Kembali aku diracuni dengan sajak dari musikalisasi itu.
Aku yang terobang-ambing
Oleh derasnya badai laut bergemuruh
Seolah mengajakku untuk bergoyang
Namun hanya tangan yang bisa mengasah
Maka...
Aku mengasah rasa lewat kata
Yang kuselami lewat musikalisasi
Untuk mengobati badai luka hari ini
Terkadang kita lebih memilih mengutuk
Tanpa menimbang belajar pada luka
Biar tak menambah hati berkata
Kalau tak bisa menghindari luka
Aku ingin...
Kita mengejar cahaya
Di jarak yang begitu jauh berwarna
Sembari kupeluk bahumu yang menawan
Setidaknya...
Ada kenyamanan yang kita rasa
Sambil melupakan masa lalu mengajar
Dalam sukma yang sudah nyaman mengakar
Seketika lamunan terhenti. Kala menikmati sepotong sajak terbalut musik. Hingga sedikit membuka nalarku untuk tetap berpikir positif. Kekagetan terasa seolah sedang dalam mimpi. Karena ada sesok terurai menghampiriku. Sosok itu tak asing bagiku. Dialah perempuan berhati menawan. Yang selalu mengajakku selingkuh dengan kata-kata. Sembari jemari diajak nakal untuk menggoreskan tinta.
"Serius amat ngelamunnya?" Tanya Lara padaku sembari melepas earphone di telingaku.
"Eh...!!! Tidak kok, Ra. Ini lagi nikmati alunan musikalisai puisi dari penyair gila anak kampung. Gak tahu juga, penggalan sajaknya seolah mewakili pristiwa silam yang membuat hatiku terluka sampai sekarang ini." Jelasku dengan basa-basi.
"Udahlah, Di... Tak usah lagi dipikirkan, karena mendengar keluhmu selama ini. Aku pun merasa iba. Sebagian kisahmu mewakili apa yang aku alami. Jadi, biarkan masa lalu itu berlalu. Sudah saatnya kita menanti cahaya itu datang. Biar perlanan sepasang sayap yang patah mampu menuai hasil untuk saling bersatu. Ada waktu yang tepat untuk menemukan yang lebih tepat." Tangan Lara sambil menunjukan cahaya senja yang mulai tenggelam.
Kondisi tak biasanya sedang aku rasakan, ketika Lara begitu terbuka mengungkapkan perasaan yang selama ini tak dia ceritakan. Kenapa tiba-tiba Lara ada di sini? Apakah aku dan Lara disatukan oleh semesta? Semoga saja, selalu ada keajabain mengisi hariku. Setidaknya, mengenal Lara, masa laluku sedikit terkubur.
Aku yang ditinggal pergi tanpa penjelasan oleh sosok perempuan yang sudah sepenuhnya dipercaya. Namun, ketika perempuan itu menghilang tanpa terus terang, kenapa Lara datang di kehidupanku? Ada-ada saja ini semesta memainkan ritmenya.
"Terkadang aku heran sama semesta memainkan ritmenya, Di. Karena di saat sedang menyendiri, aku digoda untuk mengingat tentangmu; mengingat tentang kisahmu selama ini yang terus kugali. Rasanya begitu berat polemik menimpamu. Sebagai teman, aku turut menguatkanmu. Entalah, kamu percaya atau tidak, Di. Namun, bagiku kita tak harus berlarut-larut dengan kisah yang saling kait-mengait. Sudah saatnya, kita berjalan seiring sejalan. Tanpa harus menyalahkan siapa-siapa."
Aku kaget dengan segala diksi yang diucapakan Lara dengan wajah kejujuran tanpa sehelai dusta yang lewat dan berlabu lesung pipinya. Apakah Lara tahu banyak tentangku. Itu juga masih penuh tanda-tanya. Karena sepengetahuanku, tak semua masa lalu yang kualami aku ceritakan ke Lara. Atau Lara kenal dekat sama Siska? Semoga Siska tak kenal dekat dengan Lara. Karena, aku masih trauma pada kisahku bersama Siska lima tahun yang lalu. Waktu lima tahun yang lalu pun membuatku tetap sendiri tanpa ditemani sang kekasih. Bukan aku tak laku-laku, tapi aku ingin merdeka dengan hubungan tanpa status oleh pengagum rahasia.
"Aku tak lagi menyalahkan siapa-siapa kok, Ra. Karena dengan cara meninggalkan hubungan tanpa penjelasan, aku juga tahu banyak kekurangan diriku. Makanya, aku harus memulai lembar baru. Biar dalam lembar baru kutulis penggalan bertintakan emas seperti senja yang sedang menyapa kita berdua. Apalagi, suara gelombang mampu membawaku ke kedamaian yang tiada tara," aku jelaskan ke Lara sambil melempar pasir mengiringi gelombang yang sedang menggoda kami.
"Sejak kapan kamu jadi puitis, Di? Selama ini, aku mengenalmu sebagai lelaki tanpa bermuara pada kata mutiara dan diksi yang melembutkan hati. Jangan-jangan kamu juga seorang penulis yang suka mengungkapkan resah dalam tulisan-tulisanmu. Biar aksara dalam kisah, mampu menjadi sejarah." Lara memancingku, dengan segala tanya.
Tapi, tak kujawab kepada Lara. Kalau aku adalah penulis atau bukan. Karena Lara tak berharap sebuah pengakuan yang bersifat subjektif. Biar tak kujawab, Lara mampu membacanya dengan mimik wajahku yang mulai tak teratur.
Malam semakin gelap, senja pun mulai pergi ke pangkuannya. Aku mengajak Lara untuk mengabadikan kisah dalam sebuah potrem buram. Biar kelak, aku akan berguna dalam cacatan singkat yang kunamai 'Kita Mengejar Cahaya.'
Jangan mengharapkan segala yang telah lewat bisa terulang kembali. Jika tidak kembali walau dengan bahasa hati pun kita berharap. Maka ungkapkanlah kisahmu dalam sebuah naskah. Lalu, setiap perjalananmu yang disaksikan oleh semesta mampu dimaknai oleh orang lain. Karena semesta mempunyai kejutan dan keanehan tersendiri yang tak diduga-duga.
Buatlah hatimu setenang mungkin. Biar masa lalumu penuh dengan tipuan dan janji belaka. Yakinkan pada dirimu dengan sebuah prinsip. Bahwa, di waktu yang tepat, ada yang cocok dengan posisiku. Karena, bukan aku pasrah. Akan tetapi, aku ingin menuliskan kisah yang kualami sebanyak-banyaknya tanpa terus-terus mengeluh.
Maka, dimana pun tempat, aku berani menari dengan tinta emasku. Sebab, kata-kata adalah 'melawan' dengan bidikan arah mata dan bahasa hati. Apalagi, leluhurku selalu berbisik.
"Tetaplah kuat dalam mengarungi hidup. Berdirilah pada kebenaran walau kau di tanah orang. Biar darah diminta sebagai bayaran, maka berikanlah namun jangan menyerah. Karena semesta ini adalah milik kita bersama. Tuhan telah menggariskan semua untuk berpasang-pasangan. Jika dulu, para leluhurmu bersaing dengan parang dan tombak, maka di bagian generasimu akan terus berperang. Tapi, perangnya kalian adalah buku dan pena. Maka, tancapkanlah pesan-pesan leluhur dalam dada dan nadimu. Karena, ketika kamu lupa pada petuah leluhur, maka kau tak lagi mengamalkan sejarah dengan ajaran begitu kramat. Sampai kau menjadi generasi yang tak melestarikan budaya."
Pesan dari para leluhurku itu, aku mendengarnya lewat cerita-cerita. Karena kebanyakan kisah moyangku masih berserak di segala mitos dan cerita. Sampai hari ini, masih minim orang menuliskan kisah yang penuh tanda keramat. Harapanku, suatu saat ada yang mewakili generasi untuk menjaga budaya keramat itu.
Dengan pendirian pada budaya, maka aku selalu menghargai perempuan, aku lebih suka disakiti dari pada menyakiti. Aku lebih rela ditinggalkan dari pada meninggalkan. Dan diriku ini, tak gampang menerima sosok lain untuk berlabuh ke hati. Lalu, kami saling bersandar dan berharap. Karena bagiku, 'perempuan adalah ibu' yang harus dijaga dalam keadaan apa pun.
Tak ada keheranan lagi, ketika lima tahun yang lalu, aku ditinggal pergi oleh Siska. Biar ditinggal oleh Siska tanpa penjelasan. Aku selalu berdoa, dikemudian hari aku dan dirinya dipertemukan oleh semesta. Setidaknya, sebagai teman cerita. Namun, entah kapan waktu yang diharap akan berpihak kepada pinta dan alunan doa-doaku.
-Dedi-
Makassar
Rabu, 5 Desember 2018
By: Djik22
Komentar