Sumber foto: Djik22
Hatiku dilanda dengan kata 'literasi.' Seketika pesan semesta membuat pendengaranku tertarik. Pesan itu menggodaku dengan bergeraknya literasi di berbagai daerah. Aku renungi sambil menyimak pesan.
"Harusnya gerakan literasi tak ada ketakutan. Literasi tetap berpijak secara merdeka di dunia seni dan sastra. Biar lantunan aksara menggetarkan telinga. Lalu, lewat suara membuat lawan-lawan bandel ketar-ketir.
Tak lupa aku mengabari kepada Papin yang berada di Kota Malang. Papin bergelut di literasi tapi tak diikat oleh sistem yang membodohi. Apalagi hanya alasan, takut jabatan akan dilengser kalau membelok ke arah pemberontakan. Maka Papin mendirikan Warung Baca Nelayan di Desa Lamahala dengan virus seni dan sastra. Sampai Papin pun mengeluh dari jarak yang begitu jauh.
"Kenapa orang melakukan serangan udara dengan dalil literasi? Tapi, tak secara masif turun ke lapangan? Setidaknya memberantas melek huruf, pemuda yang putus sekolah, dan generasi emas berpotensi?" Pertanyaannya dibarengi suara tawa angin malam.
"HAHA... Itulah, Om. Ketakutan terkadang membuat orang selalu sempit bergerak. Ketika bergerak, dihantui dengan sistem melengserkan jabatan. Apalagi, mulai dekat dengan elit politik. Terus dimana kemerdekaan ruang gerak literasi sejati?" Aku bertanya memancing keadaan.
Padahal, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Sederhananya literasi berhubungan dengan budaya, pengetahuan, dan bahasa. Tapi, terkadang budaya tak disentuh oleh literasi. Pengetahuan literasi diikat oleh sistem formal. Dan bahasa dari pegiat literasi tak dimengerti oleh orang-orang yang patah pulpen.
Kondisi kembali hening seirama putaran jarum jam. Hingga aku dan Papin memutuskan untuk menulis tentang literasi. Biar lewat aksara disulam bahasa, mampu menerawang kebobrokan bertopeng. Kami sadar, kalau generasi mileneal tak harus digilas zaman. Tapi, tetap pada pendirian yang kokoh lewat metode dialektika untuk telanjangi keadaan.
Makassar
Rabu, 5 Desember 2018
By: Djik22
Komentar