Langsung ke konten utama

UNTUKMU YANG PERNAH MENGKLAIM #2

Sumber foto: Felitsia Oseana B. Gerin

Semenjak pertemuan terakhir di sebuah tempat pariwisata Makassar. Abdu dan Misel tak lagi saling bertemu. Mereka berdua kini menghilang antara satu sama lain.

Jika, dulu Abdu dan Misel adalah kedua soko perguruan, maka kini mulai berubah dengan pengkotak-kotakan pandangan. Karena perbedaan pandangan dari masalah sepele berujung sebuah pembukaman komunikasi. Entah siapa yang harus disalahkan. Yang terpenting tak ada dalil pasti untuk menguatkan pembelaan sembari meminta kekuatan semesta.

Semesta memang punya cara tersendiri untuk menegur kepada siapa saja yang sedang lara; kepada siapa saja yang sedang bermusuhan. Untuk apa lara menjadi panjang mengara bara? Kenapa harus saling diam kala bertemu? Inikah cara terbaik baik antara Abdu dan Misel?

Tiba-tiba di sebuah ruangan, tanpa sengaja ruang rindu membuka pintu. Namun, tak ada lagi rasa yang seperti dulu. Seolah kerinduan diganti kebencian. Sampai lama bertemu tak membuat Abdu dan Misel kaget antara satu sama lain.

Ketika pintu ruang itu dibuka, perlahan bunyi sepatu melangkah menuju ke arah tiga lelaki yang sedang duduk di dalam ruangan. Di antara ketiga lelaki itu, Abdu duduk membaca tanpa menyapa dan menggubris kedatangan Misel.

"Tidak datang angkatanmu, Dek?" Tanya Misel kepada Ilang.

"Tidak, Kak. Sibuk katanya fokus latihan pementasan."

"Oh ... iya, Dek. Karena kebetulan pematerinya juga kecapean."

Entahlah materi apa yang mau didiskusikan. Namun, itu bukan lagi urusannya Abdu. Karena bagi Abdu.

"Lebih baik memilih diam tanpa berkata apa-apa. Dari pada coleteh dengan konsep besar tanpa ada realisasi yang jelas. Biarkan aku memilih menari dengan kata-kata. Sehingga kata-kataku tak akan mati termakan oleh roda zaman." ucap Abdu dalam hati.

Abdu seolah menjadi orang asing. Namun, Misel berharap Abdu yang menegur terlebih dahulu. Tapi, Abdu tetap menunuduk dalam lautan aksara bacaannya. Sempat Misel berdiri dekat dengan Abdu. Namun Abdu tetap diam dalam posisinya. Hingga Misel kembali duduk untuk memberi penjelasan kepada Ilang dan temannya.

"Minggu depan baru kita lanjutkan diskusi, Dek. Karena tidak enak juga kalau diskusi mengundang pemateri handal. Tapi, anggota yang terlibat tak sampai sepuluh orang."

"Iya, Kak. Minggu depan saja. Karena sebentar sore juga teman-temanku ada latihan."

Abdu hanya menggubris pertanyaan Ilang. Namun, apa yang memengaruhi sehingga tak seperti biasa sikapnya Abdu kali ini. Entalah apa yang disembunyikan oleh Abdu. Apakah ada kata yang terseret? Atau kata-kata yang pernah terungkap menyimpan misteri. Semua masih penuh dengan tanda-tanya.

Jika kemarin mimpi Abdu dan Misel adalah sama-sama berpijak pada dunia sastra dan restu semseta. Maka, kali ini ada sel yang memenjarakan antara mereka berdua. Sampai dunia sastra yang disinggung pun, tak menerima umpan balik dari Abdu. Padahal, itu hanya pancingan Misel dengan harapan ada respon dari Abdu.

Secara tiba-tiba, datang segerombolan orang-orang untuk memakai ruangan tempat duduknya Misel yang sedang asyik bercerita. Mereka saling berpisah, meninggalkan Abdu. Tanpa saling pamit; tanpa saling salaman kepada Abdu yang sedang dilanda tanya. Abdu tetap membaca buku yang dia genggam. Sampai Abdu menulis dalam buku hariannya.

Rasanya, tak ada guna lagi untuk saling terbuka, tapi selalu menutup kebohongan. Seolah, cerita hadir hanya untuk saling membutuhkan. Namun ketika tak lagi saling membutuhkan, manusia pun malu untuk tegur sapa. Seperti inikah harapan generasi pemangku dunia kritik sastra dan berdiri di suara sumbang nyanyian seni?


Sekiranya, jika prinsip sastra dan seni menjadi budaya. Maka jangan gunakan hati dengan saling melupakan. Sampai membuat kenyamanan jadi mahal. Ibaratnya, buah yang jatuh dari atap ruangan tak menempel di tehel. Sampai tetap mencari arah yang tepat untuk jatuh.



Begitu kejam sebuah perlakuan. Kalau ada kesalahan untuk saling terbuka. Setidaknya, tak ada yang menyimpan dendam dan bara api. Atau kau sudah menemukan sosok lain yang lebih handal? Bukankah sosok handal pun punya kepentingan subjektif yang dinamai 'perasaan'? Semoga aku salah menilai dengan nalar bijakku.



Jangan juga membuat keadaan yang aman menjadi haru. Biar tak ada yang dirugikan. Maka, sampai sejauh ini aku beranggapan 'jika ada yang baru, maka jangan melupakan yang lama' begitu saja. Tanpa harus menjelaskan dengan bahasa yang indah; tanpa hanya dengan alasan saling mengangumi. Karena untukmu yang pernah mengklaim akan terus berlanjut dengan aksara yang lebih menarik. Maka, bacalah dengan perenungan. Lalu, refleksilah segala yang pernah terjadi. Yakin, kau akan temukan siapa sebenarnya kita.



Makassar
Senin, 3 Desember 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh