Sumber foto: Felitsia Oseana B. Gerin
Semenjak pertemuan terakhir di sebuah tempat pariwisata Makassar. Abdu dan Misel tak lagi saling bertemu. Mereka berdua kini menghilang antara satu sama lain.
Jika, dulu Abdu dan Misel adalah kedua soko perguruan, maka kini mulai berubah dengan pengkotak-kotakan pandangan. Karena perbedaan pandangan dari masalah sepele berujung sebuah pembukaman komunikasi. Entah siapa yang harus disalahkan. Yang terpenting tak ada dalil pasti untuk menguatkan pembelaan sembari meminta kekuatan semesta.
Semesta memang punya cara tersendiri untuk menegur kepada siapa saja yang sedang lara; kepada siapa saja yang sedang bermusuhan. Untuk apa lara menjadi panjang mengara bara? Kenapa harus saling diam kala bertemu? Inikah cara terbaik baik antara Abdu dan Misel?
Tiba-tiba di sebuah ruangan, tanpa sengaja ruang rindu membuka pintu. Namun, tak ada lagi rasa yang seperti dulu. Seolah kerinduan diganti kebencian. Sampai lama bertemu tak membuat Abdu dan Misel kaget antara satu sama lain.
Ketika pintu ruang itu dibuka, perlahan bunyi sepatu melangkah menuju ke arah tiga lelaki yang sedang duduk di dalam ruangan. Di antara ketiga lelaki itu, Abdu duduk membaca tanpa menyapa dan menggubris kedatangan Misel.
"Tidak datang angkatanmu, Dek?" Tanya Misel kepada Ilang.
"Tidak, Kak. Sibuk katanya fokus latihan pementasan."
"Oh ... iya, Dek. Karena kebetulan pematerinya juga kecapean."
Entahlah materi apa yang mau didiskusikan. Namun, itu bukan lagi urusannya Abdu. Karena bagi Abdu.
"Lebih baik memilih diam tanpa berkata apa-apa. Dari pada coleteh dengan konsep besar tanpa ada realisasi yang jelas. Biarkan aku memilih menari dengan kata-kata. Sehingga kata-kataku tak akan mati termakan oleh roda zaman." ucap Abdu dalam hati.
Abdu seolah menjadi orang asing. Namun, Misel berharap Abdu yang menegur terlebih dahulu. Tapi, Abdu tetap menunuduk dalam lautan aksara bacaannya. Sempat Misel berdiri dekat dengan Abdu. Namun Abdu tetap diam dalam posisinya. Hingga Misel kembali duduk untuk memberi penjelasan kepada Ilang dan temannya.
"Minggu depan baru kita lanjutkan diskusi, Dek. Karena tidak enak juga kalau diskusi mengundang pemateri handal. Tapi, anggota yang terlibat tak sampai sepuluh orang."
"Iya, Kak. Minggu depan saja. Karena sebentar sore juga teman-temanku ada latihan."
Abdu hanya menggubris pertanyaan Ilang. Namun, apa yang memengaruhi sehingga tak seperti biasa sikapnya Abdu kali ini. Entalah apa yang disembunyikan oleh Abdu. Apakah ada kata yang terseret? Atau kata-kata yang pernah terungkap menyimpan misteri. Semua masih penuh dengan tanda-tanya.
Jika kemarin mimpi Abdu dan Misel adalah sama-sama berpijak pada dunia sastra dan restu semseta. Maka, kali ini ada sel yang memenjarakan antara mereka berdua. Sampai dunia sastra yang disinggung pun, tak menerima umpan balik dari Abdu. Padahal, itu hanya pancingan Misel dengan harapan ada respon dari Abdu.
Secara tiba-tiba, datang segerombolan orang-orang untuk memakai ruangan tempat duduknya Misel yang sedang asyik bercerita. Mereka saling berpisah, meninggalkan Abdu. Tanpa saling pamit; tanpa saling salaman kepada Abdu yang sedang dilanda tanya. Abdu tetap membaca buku yang dia genggam. Sampai Abdu menulis dalam buku hariannya.
Rasanya, tak ada guna lagi untuk saling terbuka, tapi selalu menutup kebohongan. Seolah, cerita hadir hanya untuk saling membutuhkan. Namun ketika tak lagi saling membutuhkan, manusia pun malu untuk tegur sapa. Seperti inikah harapan generasi pemangku dunia kritik sastra dan berdiri di suara sumbang nyanyian seni?
Sekiranya, jika prinsip sastra dan seni menjadi budaya. Maka jangan gunakan hati dengan saling melupakan. Sampai membuat kenyamanan jadi mahal. Ibaratnya, buah yang jatuh dari atap ruangan tak menempel di tehel. Sampai tetap mencari arah yang tepat untuk jatuh.
Begitu kejam sebuah perlakuan. Kalau ada kesalahan untuk saling terbuka. Setidaknya, tak ada yang menyimpan dendam dan bara api. Atau kau sudah menemukan sosok lain yang lebih handal? Bukankah sosok handal pun punya kepentingan subjektif yang dinamai 'perasaan'? Semoga aku salah menilai dengan nalar bijakku.
Jangan juga membuat keadaan yang aman menjadi haru. Biar tak ada yang dirugikan. Maka, sampai sejauh ini aku beranggapan 'jika ada yang baru, maka jangan melupakan yang lama' begitu saja. Tanpa harus menjelaskan dengan bahasa yang indah; tanpa hanya dengan alasan saling mengangumi. Karena untukmu yang pernah mengklaim akan terus berlanjut dengan aksara yang lebih menarik. Maka, bacalah dengan perenungan. Lalu, refleksilah segala yang pernah terjadi. Yakin, kau akan temukan siapa sebenarnya kita.
Makassar
Senin, 3 Desember 2018
By: Djik22
Komentar