Sumber foto: Djik22
Terluka, melukai, dilukai pada bulan November sampai Desember. Sulit melupakannya begitu saja. Bagaimana melupakan? Aku tak tahu arah mana yang paling mujarab untuk menemani pijakan mimpi. Biar, yang terluka mampu diobati. Yang melukai mampu nemaafkan. Sekiranya kekerasan yang nenegangkan perang saraf di dua bulan ini, mampu kita renungi lebih dalam lagi. Walau pun melupakan adalah hal paling berat, ketimbang memaafkan.
Kita yang sama-sama melangkah dengan jarak waktu tak mempertemukan. Namun, aura kekuatan mampu kuselami lewat bisikan-bisikan ikhlasmu. Sayangya, aku sebagai pihak yang membuat luka itu. Bisakah luka diganti dengan kata 'maaf?' Biar semua yang pernah menjadi resah, mampu kita tuangkan dalam halaman-halaman yang belum disahkan.
Bulan November aku dilahirkan sekaligus dimatikan. Ragaku ada, namun kematian kata membuatku kaku tak bisa lagi menggambarkan nuansa Pulau Pembunuhmu dan negeri dua puluh dua yang suka memanggil. Aku sering dipanggil pulang ke sana. Ke tempat rahim purba kehidupan. Namun, belum mampu kukisahkan semua ketika aku di tanah seberang. Karena saat itu, Bulan Desember sedang menantiku dengan luka dan bahagia kelahiranmu. Sampai aku pun kaget. Ketika mendengar bicaramu.
"Kenapa kamu terluka? Bukankah aku yang kamu lukai?" Dengan ingatan masa, kamu bertanya.
Rasanya, aku tak mampu menjawab dengan harapanmu. Karena biar kujawab dengan terus terang. Tetap saja aku dianggap salah. Letak kesalahanku adalah meninggalkanmu tanpa penjelasan seperti permulaan dari perjumlaan kita. Sampai aku menjawab dengan merasa bersalah.
"Iya .... !!! Aku pun terluka. Karena luka yang kubuat, sulit dilupakan. Hingga dirimu menulis dalam Surat Cinta untuk Kekasih di negeri hujan mimpi. Itu sebagai pelampiasanmu. Namun, pelampiasanku adalah kamu memaafkan, tapi kutukan-kutukan itu masih melekat."
Maka, sudah saatnya kita saling mendoakan antara satu sama lain. Kutawarkan sebuah jalan, untuk kita sama-sama melampiaskannya. Apa jalan itu? Jalannya adalah kita melampiaskan semua yang terjadi di dalam setiap tulisan. Walau pun, masih lama kisah itu meraih mimpinya di negeri dua puluh dua. Tapi, tangan Tuhan dan restu rahim purba Pulau Pembunuh selalu menjadi penguat di setiap gerak tangan kita merangkaikan kata.
Tulislah dengan hati. Lupakanlah hati yang pernah terluka. Karena dua bulan menjadi hujan mimpi. Tapi, mimpi kita tak akan mati. Maka, suatu ketika purnama tiba. Kita dalam sebuah buku yang dinamai Obat Pemikat.
Makassar
Jumat, 7 Desember 2018
By: Djik22
Komentar