Untuk tuan yang sedang berkuasa. Dengarlah dengan sabar tanpa kedepankan jabatan dan trikrekor karena pernah memegang kota Metropolitan.
Surat ini aku menulis dengan rasa sedih dan keheranan tiada henti. Kenapa heran? Kenapa sedih? Maka, mari sedikit lebih serius menelanjangi lewat bait-bait kata. Tapi tetap dibalut nuansa sastra yang lucu. Biar surat ini tak sampai ke meja tuan. Setidaknya, dapat ditarik sebuah keberanian dengan pernyataan-pernyataan tuan.
Kesedihan sedikit berkuasa, ketika mendengar pernyataan tuan tentang larangan demontrasi bagi masyarakatmu. Ini kan lucu, kita hidup di negara penganut demokrasi, tapi melarang rakyat menggunakan suaranya menyampaiakn aspirasi. Terus di mana sejatinya demokrasi? Aneh memang aneh. Sedih tambah bimbang dengan sikapnya tuan yang semakin hari seksi dengan diksi seolah bermetamorfosis.
Pasti tuan sedikit mencari sensasi dengan ucapan ceplas-ceplos. Karena, ketika rakyat melakukan demontrasi. Akan di-patah-kan dengan caranya tuan. Bangsa kita bukan bangsa preman tuan. Apalagi, melihat bangsa kita pengagumi segala macam perbedaan. Jadi tuan jangan buat lelucon yang menggelitik nalar menggoda simpati.
Wahai tuan yang mulia. Jangan sesuka hati memberi ketakutan kepasa rakyat. Karena, semakin tuan memberi ketakutan, maka kami pun akan menyusun strategi taktik melakukan sebuah perlawanan. Apalagi, semangat kami bukan dari kedok preman. Lalu, mampu ditenangkan dengan bayaran rupiah. Namun, kami ingin menangi 'kesejahteraan.'
Jangan lagi tuan mengarahkan rakyat untuk 'kerja, kerja, dan kerja' kalau hanya melanggengkan kekuasaan. Tapi, kesejahteraan akan tambah jauh dari harapan rakyat. Ketika tuan membelok dengan visi misinya tuan, maka kami akan selalu mengingatkan tuan. Biar kita punya tugas sama-sama untuk memperbaiki bangsa kita.
Bacalah surat ini dengan hati tanpa harus emosi. Suara kami akan lebih keras dari ancaman yang tuan layangkan di media.
Makassar
Munggu, 9 Desember 2018
By: Djik22
Surat ini aku menulis dengan rasa sedih dan keheranan tiada henti. Kenapa heran? Kenapa sedih? Maka, mari sedikit lebih serius menelanjangi lewat bait-bait kata. Tapi tetap dibalut nuansa sastra yang lucu. Biar surat ini tak sampai ke meja tuan. Setidaknya, dapat ditarik sebuah keberanian dengan pernyataan-pernyataan tuan.
Kesedihan sedikit berkuasa, ketika mendengar pernyataan tuan tentang larangan demontrasi bagi masyarakatmu. Ini kan lucu, kita hidup di negara penganut demokrasi, tapi melarang rakyat menggunakan suaranya menyampaiakn aspirasi. Terus di mana sejatinya demokrasi? Aneh memang aneh. Sedih tambah bimbang dengan sikapnya tuan yang semakin hari seksi dengan diksi seolah bermetamorfosis.
Pasti tuan sedikit mencari sensasi dengan ucapan ceplas-ceplos. Karena, ketika rakyat melakukan demontrasi. Akan di-patah-kan dengan caranya tuan. Bangsa kita bukan bangsa preman tuan. Apalagi, melihat bangsa kita pengagumi segala macam perbedaan. Jadi tuan jangan buat lelucon yang menggelitik nalar menggoda simpati.
Wahai tuan yang mulia. Jangan sesuka hati memberi ketakutan kepasa rakyat. Karena, semakin tuan memberi ketakutan, maka kami pun akan menyusun strategi taktik melakukan sebuah perlawanan. Apalagi, semangat kami bukan dari kedok preman. Lalu, mampu ditenangkan dengan bayaran rupiah. Namun, kami ingin menangi 'kesejahteraan.'
Jangan lagi tuan mengarahkan rakyat untuk 'kerja, kerja, dan kerja' kalau hanya melanggengkan kekuasaan. Tapi, kesejahteraan akan tambah jauh dari harapan rakyat. Ketika tuan membelok dengan visi misinya tuan, maka kami akan selalu mengingatkan tuan. Biar kita punya tugas sama-sama untuk memperbaiki bangsa kita.
Bacalah surat ini dengan hati tanpa harus emosi. Suara kami akan lebih keras dari ancaman yang tuan layangkan di media.
Makassar
Munggu, 9 Desember 2018
By: Djik22
Komentar