Langsung ke konten utama

LITERASI GAYA BAHAYA #2

Sumber foto: Djik22

Kemajuan tekhnologi begitu pesat. Hingga mengalahkan cerita dari mulut ke mulut, atau menanti kabar dari semesta dengan ruang waktu yang sedikit menunda lamunan. Maka, tekhnologi berganti peran untuk memberi kabar lebih cepat dan terkesan semu. Lihat saja, kita dengan mudah melampiaskan segalanya di media sosial. Tanpa butuh waktu lama, akan muncul tanda 'like' atau 'komentar' dari status yang kita 'posting.' Oh... dunia maju tanda zaman yang mulai bobrok.

Kebobrokan itu, juga sering kali dilakukan dengan memposting sesuatu lewat serangan udara dari ragam kepentingan. Sebut saja, kepentingan tentang gerakan literasi. Gerakan ini sering kali muncul di gawai yang kita genggam dengan senyum dan penuh kegalauan. Bagaimana tidak galau, jika cita-cita sebuah kabupaten menjadi 'Kabupaten Literasi' yang sedang di-viral-kan?

"Hahahaha... Ha... Ha... Literasi gaya semu pertahankan 'reting' dan 'pamor.' Biar dibilang 'kalau mereka bergerak dengan panggilan nurani' untuk mencerdaskan sebuah daerah. Yakinkah blusukan turun setiap pulau tak membawa kesan formal ketika bertemu orang-orang yang memegang jabatan strategis?" Aku bertanya dalam hati ketika melihat foto di-upload pada sebuah komunitas literasi.

Buktinya saja, gerakan literasi dari anak cabang masih memungut biaya. Berarti, tak ada kordinir yang baik dari lembaga kabupaten ke taman baca di desa-desa. Apalagi, gerakan literasi tidak masif sampai ke akar rumput. "Kayanya alasan banyak aktivitas dan jabatan Pegawai Negeri Sipil yang bergabung dalam komunitas literasi" Cegat Papin dengan canda.

"Jangan main cegat gitu, Om. Nanti dikira tidak sepakat dengan gerakan literasi yang sedang dikumandangan dengan foto bersama para elit. Curiga dengan metode dialektika boleh, tapi asalkan jangan memfinah. Apalagi, kita yang belum bisa berbuat apa-apa. Nanti, dikira celoteh-celoteh murahan. Bagaimana kalau kita masuk saja jadi PNS, supaya tambah formal gerakan literasinya?" Aku memancing Papin yang sedang berdiskusi tentang literasi tak mengenal jabatan dan usia.

"Waduh. Jangan gitu donk, Om. Bukankah kita menolak gerakan literasi dengan gaya formal? Kayanya, Om lupa deh." Papin coba ingatkan aku.

"Lupa apa, Om?" Aku sengaja bertanya.

"Om, Lupa. Kalau literasi harus memberantas melek huruf, merangkul pemuda yang putus sekolah, dan menyebarkan virus mulia kepada generasi emas berpotensi. Supaya diselipkan dunia seni dan sastra sebagai bentuk kritik yang ampuh dalam tulis-menulis dan panggung pementasan. Karena dunia seni dan sastra sekarang mulai buram dan abu-abu. Apalagi, orang dengan mudah menerbitkan karya, tanpa ada kualitas sastra yang apik. Sampai-sampai dengam alasan literasi, sembari menjual buku yang sudah diterbitkan."

Papin melanjutkan pembicaraannya, "Kayanya semakin membias ini pembahasan, Om. Sampai masuk ke karya dan penjualan karya. Aku takut berkomentar kalau soal karya. Karena kita berdua juga belum menghasilkan satu karya yang bisa dijual-belikan. Biar menguntungkan pendapatan secara pribadi. Kok... !!! Sampai ke keuntungan pribadi. Gagal fokus ini, Om. Butuh kopi" Sambil menyeruput kopi hitam kesukaannya.

Yang penting sebagai catatan khusus, apa pun bentuk gerakan literasi. Jangan hanya di-viral-kan di dunia maya saja. Tanpa terus mengobservasi di lapangan. Biar masyarakat yang buta tekhnologi bisa merasakan peran dan kegunaan literasi. Apalagi, anak-anak mereka sudah banyak yang putus sekolah. Mengharapkan pemerintah, katanya dengan jawaban "Nanti... Nanti... Nanti." Belum lagi, komunitas literasi kebanyakan tak lagi murni bergerak. Karena, sering menggunakan kepentingan politik masuk dalam dukungan-mendukung.

Semoga literasi tetap dimaknai dengan bijak sampai ke lapangan yang sedang menagi. Dan setiap garakan literasi, tak memainkan peran lembaga untuk dikenal dimana saja. Karena masyarakat yang buta aksara tak tahu lembaga buatan pemerintah. Mereka butuh edukasi pendidikan lewat literasi.


Makassar
Senin, 10 Desember 2018
By: Djik22

Komentar

Unknown mengatakan…
Luar biasa ulasan kritisnya bung. Ilmu itu alat pembebasan. Pun literasi. Membebaskan manusia dari buta huruf, kebodohan, dan pembodohan.

Namun yang mesti kita sadari, bahwa literasi itu banyak jenis. Dan semua jenis punya metode dan pendekatan yang berbeda ketika diterapkan.

Bagi saya sederhana, jika para pendahulu melakukan gerakan literasi yang kita nilai kurang tepat, selain kritik untuk membangun kesadaran, semoga kita yang waras dan sadar selalu mengambil bagian dalam gerakan literasi ini dengan pemahaman, metode, dan strategi kita sendiri.

Pencerdasan seperti ini juga gerakan literasi bung. Saya suka pemikiran-pemikiran kritisnya.

Tetap lantang bersuara bung.

Hormat,
Senareko...

Djafar Abdoel mengatakan…
Terima kasih, Ama ketua...

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh