Sumber foto: Karunia Maharya
Kibaran Merah Putih menjulang di ketinggian Pulau Pembunuh dengan segala rasa dan penghayatan. Maka, aku ingin selalu dalam putih tulangmu dan merah darahmu. Biar, kelak menjadi cerita terpotong yang dirapikan oleh para generasi.
Dengarlah wahai para penghuni pulau. Akulah rahim purba dan ketuban generasi ke generasi lewat air susu yang tak minta balas. Jadikanlah setiap tempatmu berpijak untuk mengabdi pada negeri. Apalagi, yang kau abdikan mampu membuat tersenyum Pulau Pembunuhmu.
Awali segalanya dengan cinta. Seperti pernah kubisikan padamu dengan ikhlas. Apakah kau lupa wahai anak-anak aksaraku? Jika kau lupa, maka kata-kata itu harus kutulis dalam lembar sejarah. Kira-kira begini tulisannya kalau kubuka kembali.
"Jika segala kemerdekaanmu telah dirampas, maka jangan segerah menyerah. Karena tak ada dalam pion generasi kudidik menjadi cengeng. Maka, jadilah sang petarung sejati untuk merebut kembali kemerdekaan yang terus-terus ditekan."
Setidaknya, akulah perempuan yang membawamu dengan lilitan tenun dan bibir merah 'siri-pinang' yang tak usai. Maka, kembalilah ke sangkarmu yang sedang digauli oleh orang-orang. Karena kami menunggu hadirnya setiap generasi yang selalu membawa perubahan.
Lihatalah!!! .... alammu mulai dikuasai, tanahmu terus dijual dengan harga murah. Hingga di sebuah pendakian Ile Boleng, hanya tertinggal 'kemoti' dari susunan batu para pendahulu. Apakah kau lihat sepanjang pendakian hutannya mulai dibakar? Sampai sampah berserak mengalahkan keangkuhan. Biar sampah menunggumu untuk dibersihkan, maka aku kirimi kau sepenggal petuah.
"Jadikan dirimu tetap merdeka. Setidaknya, semua jerit-tangis perlahan kau atasi. Kembalikan senyuman ibu dan keringat ayah yang tak lagi dihargai. Karena setiap nyawa ingin merdeka."
Makassar
Sabtu, 19 Januari 2018
By: Djik22
Komentar