Kita pernah bersama
Dalam mengasa asa
Dalam mengeja mimpi
Yang tiada bertepi
Di antara hamparan jalan raya
Di setiap himpitnya lorong
Kemudian kita berkata
Kitalah kawan juang
Lalu...
Kemanakah kita setelah ini?
Jika aku masih mencari
Di atas serpihan daun berdebu
Kita sering bersama, di saat semua sedang bercerai-berai. Kita saling tertawa, kita nikmati bahagia, dan kita selami luka dan lara. Walau pun kita bukan terlahir dari rahim ibu yang sama, tapi kitalah sulu api dari Pulau Pembunuh. Terus kemanakah kalian saat aku diterjang masalah? Apakah kita lupa pada arti kebersamaan?
Aku mulai ragu dengan segala kebersamaan yang mendayu di alunan jalan raya. Karena kita sudah digoda oleh mimpi orang lain. Belum lagi, kita dirasuki kesenangan sesaat serta kemegahan tanah para perantau. Maukah kita terus tergoda dengan dunia tanpa mimpi? Bukankah kita memimpikan sebuah tatanan masyarakat tanpa penindasan manusia atas manusia dan penindasan bangsa atas bangsa?
Teruslah berjalan wahai kawan juangku. Hanya sebuah pesan yang kita bawa. Karena di pundak kita, para pewaris menaruh harap, di tangan kita dikalungi lilitan budaya, dan di tubuh kita dialiri darah dan air mata. Yang harus kita gantikan dengan bahagia tanpa tangisa lagi.
Sayangnya, sampai sejauh ini kita masih belum saling percaya. Karena aku sering terhempas oleh debu jalanan. Sedangkan kalian sedang menikmati lolong-lorong mimpi yang mulai cerah. Bolehlah aku mengajak kalian untuk kita bersama wahai para pejalan yang setia? Karena kalian sekarang bersama meninggalkan aku di sini sendiri dan berdiri menanti.
Sekiranya, debu masih menempel di daun-daun yang jatuh. Maka, lihatlah ke belakang saat jalanmu menginjaki daun-daun itu. Karena angin ribut akan semakin menggila ketika kita tak lagi menyiapan diri lebih setia lagi. Genggamlah antara satu sama lain wahai kawan juangku. Karena perjalanan kita masih panjang di atas tanah sejarah dan air mata.
Makassar
Rabu, 9 Januari 2019
By: Djik22
Komentar