Kita terjebak pada pertemuan pertama
Kita yang diaatukan oleh gubuk tua
Kini mulai saling diikat rasa
Dengan segala aksaramu begitu terasa
Apakah kau menulis dengan hati?
Apakah kau sengaja membela diri?
Biat aku terus digoda rasa
Untuk mencari tahu siapa dirimu
Jika kau hadir dengan rasa
Maka...
Detak dan kode pertemuan pertama
Kita sudah memulainya dengan cinta
Aku terkesima saat membaca tulisanmu. Seolah-olah kau tahu segalanya tentangku. Membuat hati tersobek dengan detak jantung tak menentu. Apakah ini sebuah tanda? Bagaimana jika detak jantung tak mampu kukontrol dengan baik? Kenapa secepat ini rasa diikat oleh bahasa?
"Tenanglah wahai diri. Ini adalah sebuah permulaan. Biar, pertemuan pertama itu berkesan. Tapi, jangan terlalu buru-buru menaruh harap." Aku coba menenangkan diri sendiri.
Harapanku, esok kita akan bertemu kembali. Aku semakin rindu dengan segala kisahmu lewat cerita empat mata. Aku ingin terus didekatmu mendengar curahanmu dan menatapmu lebih dekat lagi. Setidanya, getaran bibirmu terusku tatap. Gerak bola-mata hitam putihmu terus kunikmati. Biar segala tentangmu mampu kucermati satu-demi satu. Sayangnya, waktu yang ditunggu begitu lama. Membuat hati bertambah rindu tak bisa dikontrol. Aku mau bertanya kabarmu lewat chatt. Tapi, masa aku yang memulai lebih dahulu. Dikiranya diriku begitu murah. Biar gelora rasa tak bisa dibendung. Setidaknya genggsi dan harga diri tetap kupertahankan dengan sadar.
Terkadang aku harus senyum sendiri mengingat kebersamaan kita yang begitu singkat. Namun, aku juga ingin segera bertemu. Mau curhat pada sepupuku, dikiranya aku tiba di kota hanya mengurusi soal perasaan. Lagi-lagi, aku harus memendamnya dalam hati. Biar aku sendiri yang menanggung segala yang diingat dan beragam yang kukhayalkan.
Jika benar apa yang dia bahasakan, pasti ada waktu yang tepat. Dia akan tiba menyapaku lagi. Setidaknya, penungguanku mampu dibayar lewat pertemuan. Ah... kenapa pertemuan yang selalu terbayang dalam pikiranku? Akhirnya aku mengkhayal jauh melewati malam melampaui terangnya lampu. Sambil menatap cahaya itu tajam-tajam. Tiba-tiba, sepupuku bertanya.
"Kamu kenapa?"
"Hem... tidak apa-apa, Kak. Memangnya kenapa, Kak?"
"Tidak!... Cuman kamu kelihatan beda saja. Kaya orang mau kerasukan saja."
"Apaan sih, Kak!!!... Nakut-nakutin saja."
Sepupuku itu masih saja merasa heran. Aku kira ia sudah selesai berceloteh. Tapi, malah tambah jadi dengan segala tanyanya tanpa henti. Biarkan saja di ceramah panjang agar keadaan tetap jadi ramai. Yang penting jangan dia singgung soal cinta atau rasa. Karena ia akan tahu lewat raut muka dan tingkahku yang salah penuh kemerah-merahan.
"Kamu kalau ada masalah bilang, biar sama-sama kita selesaikan, Dek."
"Benaran deh, Kak. Tidak ada masalah!"
"Kamu, kok mulai pintar berbohong sama Kakakmu sendiri ya, Dek?"
"Hahahhahahaa.... Kak, ini kaya paranormal yang suka menebak pikirannya orang. Memangnya Kakak tahu jalan pukiranku?" Tanyaku mencoba mengalihkan pokok pembahasan.
"Tidak juga. Cuman aku jadi khawatir saja. Jangan sampai ada angin titipan yang mulai mengikutimu. Hati-hati saja. Banyak berdoa, biar malam ini tidak terjadi apa-apa padamu." Sepupuku coba mengingatkanku.
○○★★★○○
Keheningan mulai tiba menyapaku lagi. Orang-orang mulai terlelap dalam tidur panjang. Sisa aku yang masih termenung dan termangu-mangu. Khayalanku semakin menjadi-jadi. Seolah-olah, aku baru pertama kali merasakan getaran jantung terpoles rasa yang sesungguhnya.
Akhirnya, aku beranikan diri untuk mengababarinya lewat chatt.
"Hay... Apa kabar?"
"Boleh tahu, ini siapa?"
Waduh, baru aku sadar. Ternyata aku yang meminta kontaknya. Hingga aku lupa mengabarinya terlebih dahulu saat pertemuan pertama itu. Ini celaka. Begini memang kalau jantung terlalu berdetak. Semua yang mudah jadi sulit; semua yang buruk jadi baik. Tapi, malam ini segala prediksi dan duga-sangka tak dijaga dengan baik. Membuat aku jadi malu sendiri.
Aku tak ingin membalas tanyanya. Maka, kuperlukan waktu beberapa menit untuk menulis sebelum aku bersahabat dengan ranjang. Beginilah tulisanku malam itu kalau disusun kembali:
Untukmu yang selalu kukagumi. Entah keterangan apa yang harus kuceritakan kalau kita bertemu nanti. Namun, diriku selalu terbayang wajahmu yang tak tampak gerogi itu. Belum lagi, sorotan bola mata indahmu mampu memberikan pancaran makna yang kutemukan. Aku mengagumi tiada tara. Aku menunggumu terlalu lama.
Sebagai manusia yang dirundung rasa, aku selalu salah melangkah. Bagaimana tidak? Mengharapkan pertemuan tapi aku hanya bisa menunggu. Menginginkan sebuah awalan, tapi aku masih gengsi tentang harga diri yang dibungkus rasa malu. Mungkin kau di posisiku, maka akan terasa berbeda. Tapi, aku ini hanya manusia yang lemah dan sedang mencari jati diri. Aku harap, kau tetap membimbing untuk membuka jalan baru di hingar-bingarnya kota. Biar kita temukan jalan setapak untuk tempat persembunyian sementara dalam berbagi cerita.
Sudi-kiranya kau jadi teropong sekaligus kompas hidup. Agar segala gerak-gerik kesaharianku dirimu pun tahu. Mungkin aku sering berkhayal. Semua itu karena dirimu selalu menjelma dalam pikiranku. Ia tak mau kuusir pergi. Malah terus bertahan sampai tak menentu.
Jika, benar kau menggunakan bahasamu dengan hati. Maka, aku di sini mengharapkan dengan hati. Aku ingin di sebuah waktu kita bertemu kembali. Karena penggalan ceritamu selalu membuat penasaran. Kau adalah jarum jam yang selalu mengingatkanku tentang pentingnya sebuah proses. Di detik dan menit selalu mengajariku tentang bagaimana cara mengingat dan cara berharap.
Semoga saja segala harapku tak jadi sia-sia. Segala doa dan gundahku mampu terbayar seperti pertemuan pertama kita di gubuk tua itu. Bukankah kau pernah bilang ".... Semoga pertemuan pertama ini bukan menjadi sebuah akhir dari segala pertemuan." Selanjutnya. Jangan kau siksa aku dengan sengaja. Biar aku tak selalu terjebak pikiran. Jika, kau sengaja dengan caramu. Maka, aku pinta untuk segera kau hentikan. Karena aku adalah orang baru di kota ini. Aku juga baru mengenali dirimu. Seolah-olah dirimu diutus oleh semesta menjadi pasang juang. Namun, sayang kita masih terpisah oleh jarak.
Makassar
Kamis, 31 Januari 2019
By: Djik22
Komentar