Kain kusam terus membalut
Nyeri dan segala penat
Tak kuhiraukan dengan keluh
Demi merajut merawat sejarah
Ketika di pelataran rumah orang
Hampir tenaga tak tertolong
Namun tangan tetap bertahan
Sambil meminta restu Tuhan Rera Wulan
Wahai generasi penikmat budaya
Dari air susuku yang kalian minum
Dari tetes keringat dan darah menjara
Sebagai ibu pulau aku lahirkan anak beraneka
Tangan kiriku dikalungi besi putih penuh tanda keramat untuk menjaga diri. Kala penat tiba sepulang dari kebun. Di sana kujatuhi keringat; kulawan rasa tak pernah mengeluh. Sebagai seorang ibu dari anak beraneka aku tak pantas menampakan kesedihan. Karena aku takut para generasi akan murung dan putus asa melihat kepenatanku. Maka, kutarik nafas perlahan di pelataran rumah para penghuni untuk menambah lagi tenaga.
Jalanmu telah kutunjuk dengan ikhlas. Tanpa banyak memutar-balikan sejarah. Karena ketika kebenaran kujadikan sebuah kebohongan, maka aku telah mewariskan beberapa catatan catat bagi para pendengar. Leluhurmu pasti mengutukku bila ajaran sejarah tak kulanjutkan dengan lantunan sesuai amanah. Dekatkan telingamu wahai anak beraneka di seantero Pulau Pembunuh. Biar, ceritaku mampu kau serap dengan bijak; biar bahasaku kau maknai dengan teliti. Sehingga, kalian berdiri di mana pun tempat mampu memegang komitmen pada kebenaran dan menyingkirkan segala bentuk kebohongan. Karena kita ditakdirkan untuk memegang prinsip leluhur yang tidak bertentangan pada ajaran budaya asli.
Maka, makanlah dari hasil jerih-payahmu. Jangan budayakan adu-domba dan membuat kehancuran. Karena kepenatanku belum juga usai. Aku belum sampai di rumah untuk menambahkan cerita lagi. Sekiranya, apa yang aku junjung, mampu mengantarkanmu tentang pentingnya sebuah perjuangan ibu; tentang berharganya Perempuan Lamaholot dalam lingkaran emas Pulau Adonara.
Sebagai seorang ibu, aku terus memberikan air susu kepada beberapa generasi. Cuman ingat, bukan hanya air yang kalian minum dari buah dadaku. Tapi, ada ragam doa yang kubisikan biar kelak kalian jadi para pelanjut yang tak buta; tak tuli menatap segala kebengisan. Jika, matamu masih terang melihat pada kebengisan, maka gunakan juga otak dan akal budimu untuk menyelesaikan segala soal. Jangan kau angkat lagi parang-tombak untuk menyelesaikan setiap masalah. Karena bukan lagi parang-tombak yang terus-terus dilayangkan. Tapi, isi dari buku dan pena yang telah didapat di tanah perantauan mampu kau terapkan di segala keadaan. Yang penting sikapmu tetap arif-bijaksana.
Lihatlah apa yang aku junjung. Di atas kepalaku terbungkus kain bergaris diisi kayu dan patahan daun kelapa. Semua kudapati dari hasil bumi peninggalan leluhurmu. Di sebelah kanan aku berdiri tampak pohon-pohon hijau sedang menari dan bernyanyi. Semua masih terjaga. Apakah matamu masih tetap melihat? Atau matamu sudah jenuh menatap tanah keramatmu?
Sebelum sampai di rumah. Aku membisikan kepada semesta:
Jagalah generasiku dengan ikatan budaya. Jangan kau butakan mereka yang terus memandang dengan bijak. Jangan kau sulitkan segala usaha mereka. Sebagai ibu dari anak beraneka, aku tak bisa wariskan mereka apa-apa. Karena ketuaan sedang menyerangku dengan waktu pada garis keriput di kulitku. Bahkan anting emas di telingaku mulai berubah warnanya. Maka, jadikanlah mereka generasi emas yang mampu menjaga peradabanmu. Dari tanahmu kami semua berdiri; dari sumber bumimu mampu membuat perut tak kelaparan. Sampai hidup saling 'gelekat' masih kami pertahankan di atas tanah sengketa sisa peperangan.
Sekiranya, jadikan mereka orang-orang yang berguna. Menggunakan pikiran cemerlangnya untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Hindari mereka dari segala malaletaka perang yang terulang. Karena aku berusaha keras untuk terus menjaga budaya dan merawat generasi. Hingga kelak usiaku tak lagi bersahabat, mereka mampu saling menjaga antara satu sama lain. Dan selalu menjaga kata-kata. Sebab, dari kata-kata keramat tanahmu masih sering kami gunakan. Sampai, tujuh peluru penjuru sudah dibidik tak bisa tembus menusuk dada. Setidaknya, aku kirimi ini untuk didengar. Biar menuju rumah aku selalu bahagia melihat mereka yang sedang menyulam tenun dan memakai 'kewatek' sebagai ciri khas nusamu.
Makassar
Kamis, 31 Januari 2019
By: Djik22
Komentar