Kita yang menyaksikan cahaya
Kita yang menikmati
Terangnya bola cahaya
Yang merayu dari pagi
Aku yang tergoda oleh pagi
Kau dipaksa oleh sore
Sampai...
Kita kita disepelehkan waktu
Padahal...
Kita menginginkan rayu
Mengajak waktu
Untuk merayu tanpa malu
Terangnya cahaya matahari, mulai terusir dari tempat peraduannya. Aku tetap dalam keadaan lemas penungguan. Hingga tetap menunggu bersama tenggelamnya cahaya itu ke arah barat. Biar, kita diajak ke arah barat, tapi aku lebih mengangungkan arah timur. Karena aku ingin kita menyaksikan terbitnya sang penerang semesta.
"Untuk apa menunggu cahaya? Jika hanya kau yang beruntung?" Tanyamu padaku.
"Aku...!!! gila, bukan kepayang. Harusnya tak ada protes dan mengeluhnya kita pada penungguan tentang cahaya" Aku menjawab dengan suara heran.
Namun, tanganmu lebih nakal untuk mencubit pinggulku. Sampai menghilangkan perasaan heranku. Entahlah, kenapa kau terlalu berani di pagi. Semoga tak ada cubitan-cubitan yang lebih menggoda. Bukan, soal gengsi atau apa. Tapi, aku ingin kita lebih ikhlas lagi menunggu. Jika, pagi pun kau layangkan cubitan, maka ketakutan menjadi raja ketika siang dan sore tiba.
Ternyata aku salah duga tentang cubitanmu itu. Karena di tanganmu menggengam sebuah novel. Kau rayu aku untuk menjadi pendengar setia kalau kau membacanya dengan rayu lewati pagi. Tapi, aku mengira kau goda aku lewat cubitan untuk menguji imanku. Oh... zaman edan menggilas pemikiran. Sampai, aku tak mampu melihat segala yang ada di sekitarku.
Maka, mari mendekatlah sayangku. Aku tidak akan lari ke mana-mana. Jika yang kau genggam adalah sebuah novel, maka itu sebuah tanda baik. Sekiranya kita saling merayu dengan bacaan. Membuat kita terlelap menikwati waktu di atas semesta sebagai saksi.
Teruslah membaca wahai manisku. Rayulah aku dengan bacaan novelmu. Karena kita membudayakan menyalahkan sebuah cahaya. Apalagi, novel maka akan mudah ditebak ke mana arah dan jalan ceritanya. Ketimbang kau bacai aku sebuah puisi. Maka menguras dan memaksa nalarku untuk mencari makna yang berselubung di setiap bait dan barisnya. Maka, aku tetap ingin menjadi pendengar setia tanpa menyalahkanmu wahai manisku. Karena denganmu. Karena kita sama-sama menunggu waktu dengan berbagi lembar cahay baru.
Makassar
Jumat, 11 Januari 2019
By: Djik22
Komentar