Kita lama menghilang
Kita lama tak memberi kabar
Semua yang pernah terang jadi kabur
Terbawa angin dan riaknya gelombang
Sampai...
Di sebuah tanya yang penuh emosi
Tiba-tiba kita saling sapa
Namun kita tak kedepankan rasa
Untukmu yang pernah kecewa
Untukmu yang menyimpan duga-sangka
Aku meminta maaf dari pilihan bahasa
Karena tibaku air matamu mengalir
Sebuah tanya kulayangkan dalam waktu berkala. Di sebuah malam penuh dengan hujan badai. Saat itu, hujan menyertaiku dalam kelabu ingatan di malam Rabu. Semua yang kuingat adalah tentang sebuah persamaan yang kini mulai berbeda kala jarak dibentangkan dengan emosi. Iya... harusnya aku yang mengalah untuk menenangkan emosimu. biar duga-sangka tak mudah muncul dari pikiran berlianmu.
Aku yang hadir dengan rasa percaya diri. Mengabarimu lewat bahasa singkat berderet tiga eja. Kau pun membalas dengan tiga huruf tapi dengan bahasa yang sengaja tidak kumengerti. Jika, aku mengatakan mengerti dengan bahasamu, maka kita mengabari dengan cara yang datar-datar saja. Apakah kau sudah terjebak emosi dengan ragam cara yang kukirimi lewat ruang dan waktu?
Semoga malammu mampu kuganggu dengan ketegangan berbalut emosi. Biar aku dapat menyelami berapa jauh kebertahanan dirimu dari bahasaku yang penuh pancingan. Sayangnya, kita lebih awal terjebak dengan saling mencurigai. Kenapa kau curigai aku dengan menghubungkan ikatan keluarga? Bukankah kita dari dulu baik-baik saja? Semoga ingatan kita bukan saja tentang masa lalu. Karena pernah kau larang aku untuk kembali ke masa lalu. Maka, dengan tenang aku terima permintaan yang penuh trauma itu.
Di titik didih pancingan itu kembali meletus. Hingga lama kutunggu untuk menenangkan keadaan. Namun, apa yang kuprediksi meleset dengan cepat terhalaui oleh awan hitam di langit malam. Maka, hujan air mata perlahan mulai jatuh basahi pipi yang sering disirami oleh air wudhu. Bukankah kita sama-sama tahu tentang pribadi kita masing-masing? Kenapa secepat itu dirimu menangis? Maafkan aku wahai sang puja yang hanya sebatas kagum tanpa meminta lebih.
Maka, episode jebakan mulai menemukan titik terang. Karena kita masih terjebak pada rasa saling mencurigai. Semoga di malam penungguan, aku akan mengirimimu sebuah kata-kata indah sebagai permintaan maaf. Biar kita berdamai dalam larutan malam yang mulai menggoda mata. Maukah dirimu berdamai denganku? Atau harus kau elakan segala pintaku yang penuh kerendahan diri?
○○★★★○○
Hitungan mundur dalam putaran jam yang kulihat, kita sudah melewati waktu sebuah penggalian data. Maka, segera kubuka dengan jujur kenapa aku hadir dan menghampirimu tanpa malu. Karena sudah sering diriku ditutup oleh topeng sandirwara yang membuat orang sulit menebak. Biar, tebakanmu setajam lantunan doa, masih saja aku bisa mengelak dengan ragam pengabulan. Maka, segera kuakhiri jalan cerita ini dari perenungan malam.
Untuk mengatakan sebuah bahasa dapat memengaruhi orang lain, maka aku bersediah dihukum dengan caramu. Tapi, sebelum dihukum, bacalah sepenggal kisah sederhana ini yang kuberi nama 'Maafkan Kata yang Telah Terucap' biar saat memejamkan mata senyum dan tawa sebagai setia dan sahabat. Karena ketenangan mampu membawamu ke alam mimpi yang sebentar lagi jadi nyata.
Aku hadir terlalu lambat saat semua sedang tersenyum. Malah semua yang baik, aku rusaki dengan aksara yang penuh kebalikan. Maka, dengan mudah bagi yang membaca, pasti akan menaruh rasa tak percaya. Aku tak memaksamu untuk percaya. Tapi, sekiranya utang-budi yang kau berikan harus kubalas perlahan-lahan. Biar mampu membayar segala trauma dan masa lalu yang sengaja sama-sama kita lupakan.
Kita boleh melupakan segala keburukan yang terjadi. Tapi, sebagai manusia kita harus mampu menerobos batas hitam yang pernah menenggelamkan kita. Biar samudera hitam mampu kita jadikan pelajaran untuk menata sebuah masa depan. Karena dunia di depan mata kita yang sementara dihadapi, lebih kejam dari masa lalu yang pernah kita lewati bersama. Pasanglah titik pijakmu yang kokoh, biar tak jatuh di sebuah lubang yang disediakan oleh para pemangsa.
Sekiranya di bagian sepuluh catatan ini, aku mewakili diri dengan sadar. Kalau malam telah menjelma menjadi ragam inspirasi. Hingga, membuat kita terlarut pada kebiasaan yang sering terbawa-bawa. Maka, bawalah aku dalam doamu. Biar segala tanya mampu kutuntaskan di tahun ini. Sebab, dirimu juga merupakan sumber inspirasi yang harus kubuka. Karena aku sudah lama mengungunci dengan jawaban 'tidak' kepada dirimu dan orang lain.
Biarkanlah yang lalu jadi sebuah catatan sejarah. Hanya kata penyesalan tiba dengan malu. Karena kita tak sama-sama menjaga hubungan itu dengan baik. Maka, hapuslah air matamu yang pernah jatuh. Gantilah dengan sumber kekuatan yang sering kau lantunkan. Biar jalan terang selalu menemani langkahmu.
Apakah curigamu padaku sudah mulai hilang wahai puja yang tersembunyi? Bagaimana dengan perasaanmu ketika membaca deretan kata-kata ini? Semoga ada senyum yang kau tabur dalam beberapa diksi yang kau baca. Dengan terang aku bertanya; dengan jelas aku menulis untuk pengalahkan jawabanmu yang selalu datar.
Kali ini, aku harus banyak belajar mengalah ketika berada di dekatmu. Biarkan segala yang ada jadi bahan cerita baru yang terus kususun. Harapan terbesar yang dibentangi oleh jarak. Aku mengirim kata yang kuulangi kedua kali 'Maafkan Kata yang Telah Terucap' wahai sang pasang juang yang kini berpisah.
Sebagai penutup tulisan ini. Aku kirimi janji tanpa balas. Bahwa tak ada ruang temu yang lebih bahagia dari beberapa pertemuan sebelumnya. Aku kini jadi piatu seperti dirimu yang kehilangan sang ayah. Maka, mari pegang tanganku lagi tanpa ragu. Karena bukan cinta dan saling memiliki yang kuharap. Tapi, aku ingin kau masuk dalam daftar catatanku. Biar kita berdua kelak sama-sama sukses. Jangan lupa doakan aku di sujud dan rukukmu, biar malam panjangku kulantunkan segala puji kepada Ilahi. Jika, suatu saat segala cita dan cintamu mampu terjawab dengan segera. Maka, kabari aku walau hanya lewat bisikan sesaat.
Dari yang mengecewakanmu
-Aziz-
Makassar
Selasa, 29 Januari 2019
By: Djik22
Komentar