Langsung ke konten utama

KISAH #1


Kita yang pernah bersama-sama
Kita yang sering berbagi bahagia
Dalam belaian kasih tak pandang waktu
Dalam ingatan tak sudi jadi masa lalu

Maka...
Mari kembali lagi ke waktu itu
Mari mulai lagi dengan segala rindu
Walau hanya sebatas kisah belaka

Karena darimu semua jadi bercahaya
Dari semua jadi terang tanpa luka
Tapi...
Semuanya berubah semenjak kau pergi

Aku yang pernah terbawa manja. Saat kota tua kudatangi dengan polos, tanpa berbungkus bekal yang matang menjadi sang petarung lembut. Tapi, kata hatiku selalu percaya pada dahaga dan kehausan untuk terus mencari. Maka, kaki terus melangkah dan tangan terus bergerak. Hingga di sebuah jeda, aku diantarkan rasa untuk duduk bersama di sebuah aliran air yang tampak kotor.

Untukmu yang pernah menemaniku duduk di samping tembok besar dan pondok tua. Aku hanya sanggup mengatakan dalam hati tanpa berkata langsung saat kau sodori permen relaxa padaku.

"Jika terima kasih pun tak mau kau dengar, maka jagalah aku selama kita berada di satu daratan kota. Karena aku ingin bersamamu selamanya tanpa mengharap kehadiran yang lain. Aku harap pintaku kau dengar dan mohonku kau teruskan. Biar, kita berdua terus melangkah tanpa harus berpisah dan sedih yang tak bisa dihapuskan dengan waktu."

Kita duduk begitu lama, dalam gubuk tua tanpa kuberi nama sebagai penjelas. Cerita dan rayumu tanpa usai. Membuat hatiku selalu bergelembung minta dipeluk. Setidaknya, kau memeluk aku dengan cerita dan rayu yang selalu mendayu. Tak ada kutemukan rasa goregi yang kau perlihatkan saat kita bersama menikmati cerita. Entah apa yang mebuatmu selalu berapi-api menjelaskannya dengan deretan bahasa sederhana. Lagi-lagi, aku bertanya dalam hati dengan rasa yang penuh malu-malu.

"Kapan dia selesai merayuku bila semua semakin memikat tanpa memperhatikan orang-orang yang lewat di sekitar? Apakah dia tidak ada perasaan malu ketika orang-orang melihat kami yang sedang berduaan duduk di gubuk tua ini?"

Sampai di sebuah titik, ia akhiri cerita dan rayunya. Lalu, mengajak aku pulang ke sebuah kontrakan keluarganya yang tak jauh dari tempat kami duduk.

"Pulang, yuk! Sudah banyak kita saling berbagi. Oh iya... terima kasih sudah mendengar apa yang aku ceritakan. Semoga pertemuan pertama ini bukan menjadi sebuah akhir dari segala pertemuan."

Dengan hati dan perasaan yang was-was. Seolah-olah, dia tahu betul apa yang aku rasakan saat itu. Maka, dengan memaksakan diri, aku menjawabnya dengan singkat saja.

"Semoga saja."



○○★★★○○

Dalam hembusan nafas dan tidur panjangku, aku selalu mengingatnya tanpa bayangan itu segera pergi. Bayangan tentang cerita dan bahasanya selalu menghantui diriku untuk terus kembali ke pondok tua itu. Jiwaku tak tenang dalam peraduan yang tak menentu. Hingga aku merasa paling aneh di malam itu. Maka, kutarik kertas dan mencari pena untuk menulis.

Tanganku masih gemetar kala menulis kembali kisah itu. Maka, kuteruskan dengan bahasa yang sederhana dan selalu manis terbaca oleh para pengagum. Untuk menghormati kekaguman bahasa dan jalan ceritamu. Aku menulis di lembar kusam yang masih terus kusimpan sampai sekarang. Dalam lembar itu kutulis 'Kisah #1' menggambarkan pertemuan itu. Namun, sampai sekarang, aku tak mengabari kalau banyak hal yang kutulis tentangmu. Termasuk menuliskan kisah dari pertemuan pertama kita di gubuk tua itu.

Harus aku akui, dirimu beberapa karyaku lahir dari proses ingatan dan pergulatan waktu yang coba kulupakan. Tapi, aku selalu tak bisa melupakan kisah itu. Karena kisah yang kita bangun selalu membuatku terpikat dan terikat oleh dirimu. Apakah kau masih setia mendengar kisah yang keluar dari mulutku yang terus merayumu? Jika tak mau kau dengar, maka biarkan aku membacanya sendiri.

Kau ajarkan aku tentang cara membaca, kau dekati aku untuk mengenal tulisan. Sampai aku harus mengakui kekagumanku padamu. Namun, aku tak mau cepat-cepat mengakui. Karena ini baru sebuah permulaan dari jalan cerita yang terpotong. Maka, aku mengirimi sebuah pesan lewat aplikasi chatt.

"Tuliskan aku beberapa kata yang menggambarkan diriku. Dengan kata yang manis-manis. Biar mampu menghapus segala kesadisan yang pernah menimpah diri."

Lama kutunggu balasan pesanku. Tapi, balasan itu tak kunjung tiba. Semoga kau tak marah dengan pintaku. Dan kau tak mengelak dengan mohonku. Karena aku baru pertama kali memohon untuk kau tulis dalam catatan indahmu. Biar kelak, tetap jadi kenangan berharga dan sebuah pelajaran indah untuk anak-anak zaman.

Tiba-tiba, gawaiku bergertar. Kubuka ternyata namamu terpampang. Dan aku membaca pesanmu.

"Jika menulis adalah permintaanmu, maka aku akan rangkaikan dengan bahasa sederhan tanpa melebih-lebihkan. Semoga saja, apa yang kutulis mampu menggambarkan dirimu. Tenanglah membaca, Jangan mudah terombang-ambing oleh perasaan!"

Akhirnya kau kirimi aku sebuah tulisan. Hanya sepenggal yang kukutip ulang. Kira-kira bahasamu seperti ini:

Dengarlah wahai yang bernyawa. Dengan haru aku menulis; dengan berat aku berkata. Karena di pertemuan pertama, aku telah berbagi cerita tanpa menggubris rasa malu dan gerogimu. Biarkan tanganku merangkai kata tanpa ada yang protes. Karena aku tahu, kau juga tahu, dan kita sama-sama tahu. Kalau kita saling berharap. Namun, kita belum menyatakan sebuah kesepakatan. Sebab, kita tak mau terburu-buru. Maka, tenangkanlah hatimu, biar dengan tabah kita menelusuri jalan ini. Seperti aku mengantarmu menuju kontrakan tempat keluargaku. Di saat itulah, aku menemukan senyum dan bahagiamu kala kita saling mengapit menaiki tangga demi tangga.

Mengenalmu adalah menemukan putaran arah jarum jam. Hingga perlahan, aku sadar pentingnya untuk kita saling dekat. Maafkan aku jika terlalu jujur dalam tulisan dan pengakuan. Namun, aku mengujimu dengan bahasa dan kata-kata rayu yang mendayu. Biar, kita tak kaku kala berbagi cerita. Semua yang kita lalui, pasti memiliki kesamaan seperti kusodori permen relaxa saat kita duduk di gubuk tua itu. Apakah kau masih ingat? Bagaimana perasaanmu saat mau tidur? Apakah kau tak mengingat diriku? Karena dalam doaku, semoga kau selalu tersenyum saat tidur dan bangunmu. Walau aku tahu, kalau esok kita akan bertemu lagi.

Aku tak ingin kita melewatkan hari tanpa ada yang kita kisahkan dalam tulisan. Maka, keberanianmu harus kuuji dengan bahasa dan kata-kata. Maka, permintaanmu kuterima dengan hati yang lapang dan ikhlas. Karena dengan menulis, aku merasa terus dekat dan selalu berada di sisimu. Walau sedikit lebay, tapi aku harus mengakui. Jangan sampai, cerita di pertemuan pertama kita terbuang cuma-cuma. Sebab, aku yakin semesta pasti selalu jadi saksi dari segala arah langkah kita. Setidaknya, kita masih tetap dalam daratan satu kota. Biar kita saling menatap dan mengungkap rindu. Dengan harap, suatu ketika kita akan mengatakan dengan jujur secara empat mata. Kalau kedekatan kita karena cinta dan pertemuan kita adalah permintaan dari rasa.

Maka, segera kuakhiri jalan cerita bahasa ini. Biar tidurmu lebih nyenyak dan matamu lebih jauh lagi menatap. Aku ingin, kau jadi dirimu sendiri. Percayalah, tangan Tuhan selalu menggariskan kepada orang-orang yang selalu berusaha dengan giat. Maka, raihlah mimpimu dan kejarlah citamu. Sebab, aku dan kamu masih belum ada ikatan apa-apa. Kita hanya terkesan pada pertemuan pertama di gubuk tua itu. Setidaknya, sebagai manusia kita harus saling mengingatkan. Jangan terlalu terjebak pada masa lalu yang begitu pahit. Maka, mari kita ciptakan ruang-ruang indah penuh dengan rindu yang menawan. Biar kita selalu bertemu pada waktu yang dijanjikan. Jangan tutup bola matamu ketika masih ingin menatap, jangan tutup telingamu kala bahasa dan kata-kataku sering mengusikmu dengan lembut, dan jangan malu lagi kalau kita akan bertemu nanti!


Makassar
Selasa, 29 Januari 2019
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh