Langsung ke konten utama

ISTANA YANG DIKOTORI (366)

#Part 01


Tahun 2014 silam janji berlantun semarak euforia berdengung seantero belahan Sabang-Merauke. Kala itu, semangat blusukan tertusuk-tusuk merasuk kemauan meminta perhatian. Alam pikiran tergadai pada godaan perhati seolah dekat pada tangan yang lemah, badan yang lesu, dan penampilan yang sedikit kumuh.
Penampilan compang-camping dihiasi benalu luka lama warisan peradaban tak bermartabat. Memang benar, kalau letak peradaban bermartabat tak hanya dilihat dari penampilan semata. Tapi penampilan lantaran kemiskinan meraja menjara. Sudah sekian tahun hitungan mundur martabat peradaban sisa dari rakus dan tuli para pemangku.
Jangan menyiksa di alam penjara dengan pemikiran kerdil; jangan lelap tidurmu dalam gelisah yang berkepanjangan. Sebab jadilah orang-orang gila di keganasan kota yang mulai ribut. Belum lagi ditambah bunyi klakson setiap pengudi yang lewat karena geram.
Ah, lalu bagaimana dengan anak jalanan yang berpenampilan yang compang-camping? Apakah masih ada hati dari para pemangku jabatan menitika  air mata? Kalau ada sebagian pemangku kuasa yang menitikan air mata, maka rasa kemanusiannya masih berpihak pada kemiskinan yang membelenggu.
Kehidupan ini keras, bila hanya duduk diam tanpa kata. Sebab menyibukan diri dengan menghabiskan uang cuma-cuma masuk tempat hiburan, rekreasi, dan dunia glamor yang mengerikan. Bukan menolak pada kunjungan ke tempat-tempat ramai. Tapi gunakanlah waktu pada hal yang berguna lebih bermanfaat.
Apalagi yang diwariskan kalau kata dibuang begitu saja dalam imajinasi tanpa nyawa; diumbar-umbar lewat mulut yang mulai congkak. Maka kembalilah pada kata yang bermakna yang dituang dalam karya. Bukan mendedikasikan karya untuk mendapatkan pujian dan pengakuan. Tapi mewariskan sejarah dalam lukisan-lukisan bermelodi. Sebab melodi dalam iringan kalimat yang dibalut perasaan dan penjiwan dari sang pencipta karya mendedikasika pemikiran untuk negeri ini.
Kenapa masih takut tentang kebenaran yang dibalut senyum paksa? Di mana lagi pergimu kalau kakimu dijadikan akar? Maka melangkahlah. Sebab kakimu bukan akar yang bertahan dalam tanah yang gersang. Apalagi batang yang kau tahan pada pohon kini mulai membenci daun dan ranting. Seolah menolak siapa yang lebih dahulu jatuh ke tanah.
Tanpa sadar pemulaan antara ranting dan daun dibalut pada tarikan rindang. Seharusnya biji yang protes "Sebab dirimu kulahirkan dari diriku". Inilah konsekuensi hidup yang terbalut pada siklus. Jika benar bertahan pada angin melegahkan tarikan napas, maka teruslah hirup bau-bau di sekitar sebagai sumber informasi.
Ketika kehidupan disetarakan dengan pohon, maka tak ada yang menolak mati; tak ada yang menolak gugur. Tapi jalanilah proses dengan ketabahan walau nestapa mencekik leher. Ambilah nestapa yang dilimpahkan oleh istana megah di negeri zamrud khatulistiwa. Lalu gantilah nestapa tanpa ada air mata yang perlu ditangisi. Sebab tangisan tak bisa melahirkan apa-apa. Malah menambah diri larut dalam buai yang berkempanjangan bernama keresahan.
Bila kekerasan yang kau temukan di kota dalam hingar-bingar pergulatan, maka rawatlah diri dalam kesucian penuh perbuatan. Sebab tanah yang kau beraki, tanah yang kau kencingi, tanah yang kau pijaki adalah kekuatan yang terpadu dengan alam. Seharusnya alam kau jadikan sekolah dan napas pengetahuan tanpa batas.
Atau kau heran dengan panflet dan baliho yang tertempel di setiap ruas jalan raya? Atau kau tertarik pada senyum terpaksa pada foto para caleg? Kalau memang matamu tertarik, hatimu ikut terpanggil, lalu menyeret ke perasaan akan mendukung kepentingan rakyat. Atau kau percaya mereka dalam pajangan menggaet suara adalah pilihan hidup?
Kalau kepercayaan mudah kau peroleh hanya sesat, maka jangan heran arus gelombang perpisahan sudah mendekati. Lalu suara itu berteriak.
"Aku tak percaya lagi segala ucapmu, maka aku akan pergi tinggalkanmu".
Tanyamu. "Kenapa secepat ini?"
Tapi tak ada kesempatan untuk mengutarakan pendapatmu dengan baik. Setidaknya ia pergi, tapi paling tidak apa yang menyebabkan perpisahan kau pun berhak untuk mengetahuinya. Hingga kau terheran-heran penuh pukulan seolah comberan air limbah dihantam di muka, ditusuk-tusuk senjata laras panjang ajudan yang disewa oleh negara.
Berbeda dengan suara-suara yang pernah kau layangkan mengutuk rezim, mengevaluasi kebijakan dengan suara lantang lewat megafon. Lalu kerumunan massa sontak berteriak.

"Lawan sampai titik darah penghabisan".
"Untuk apa melawan?" Tanyamu padaku.
"Aku tak ingin tanah rahim bundaku, udara dengan catatan panjang perjuangan ayahku dikotori dengan kepentingan bisnis". Kataku dengan suara datar sambil menatap raut-raut mulus tanpa kau olesi dandanan yang rupa-rupa.
Bukan kumengkalaim kalau tak ada yang terlibat dalam perubahan sebelum-sebelumnya. Tapi meneruskan apa yang sudah diletakan adalah suatu kebaikan. Karena sebagai pemuda harus menuai napas panjang dalam getir dan sakitnya dalam belenggu.
Aku tak ingin menghabiskan waktu dalam ruang-ruang hampa. Sebab kahampaan akan menciptakan kemalasan kalau diri tak dilatih dalam aktivitas menggapai pengetahuan. Baik itu mempertajam pengetahuan atau pun mencari hal-hal baru.
Carilah patahan-pataha yang tercecer di alam raya ini. Lalu kau kumpul dalam catatan kusammu yang dijaga dengan begitu sayang. Paling tidak menyayangi seuatu adalah bentuk kecintaan yang tulus. Apalagi lantunan doa kau ucap dalam hati. Bukan cinta dan sayang yang kau maknai sempit dalam limit waktu. Hingga kau katergorikan dengan nakhoda hubungan sepasang asmara.
Atau kau ingin istana ini tetap kotor? Di mana peranmu yang kau habiskan dalam meja belajar? Atau kau ingin jadi pengusaha yang nantinya akan memonopoli segala aset negara?
"Jadi pengusahakan bagus?"
"Apanya yang bagus dari pengusaha?"
Kalau kau menginginkan jadi seorang penguasaha. Maka kau adalah bagian dari pada kepentingan yang selama ini didengungkan. Karena banyak pengusaha yang masuk dalam partai politik. Lalu hanya menambah saham demi keuntungan pribadi. Maka tak heran slogan perubahan hanya nyanyian-nyanyian ala para penipu.
"Kenapa kau singgung penipu?"
Protesmu dengan nada sinis. Seolah akulah penghalang cita-citamu yang mau jadi pengusaha.


Makassar
Rabu, 30 Mei 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh