#Part 01
Tahun 2014 silam janji
berlantun semarak euforia berdengung seantero belahan Sabang-Merauke. Kala itu,
semangat blusukan tertusuk-tusuk merasuk kemauan meminta perhatian. Alam
pikiran tergadai pada godaan perhati seolah dekat pada tangan yang lemah, badan
yang lesu, dan penampilan yang sedikit kumuh.
Penampilan compang-camping dihiasi benalu luka lama warisan
peradaban tak bermartabat. Memang benar, kalau letak peradaban bermartabat tak
hanya dilihat dari penampilan semata. Tapi penampilan lantaran kemiskinan
meraja menjara. Sudah sekian tahun hitungan mundur martabat peradaban sisa dari
rakus dan tuli para pemangku.
Jangan menyiksa di alam penjara dengan pemikiran kerdil;
jangan lelap tidurmu dalam gelisah yang berkepanjangan. Sebab jadilah
orang-orang gila di keganasan kota yang mulai ribut. Belum lagi ditambah bunyi
klakson setiap pengudi yang lewat karena geram.
Ah, lalu bagaimana dengan anak jalanan yang berpenampilan
yang compang-camping? Apakah masih ada hati dari para pemangku jabatan menitika
air mata? Kalau ada sebagian pemangku kuasa yang menitikan air mata, maka
rasa kemanusiannya masih berpihak pada kemiskinan yang membelenggu.
Kehidupan ini keras, bila hanya duduk diam tanpa kata.
Sebab menyibukan diri dengan menghabiskan uang cuma-cuma masuk tempat hiburan,
rekreasi, dan dunia glamor yang mengerikan. Bukan menolak pada kunjungan ke
tempat-tempat ramai. Tapi gunakanlah waktu pada hal yang berguna lebih
bermanfaat.
Apalagi yang diwariskan kalau kata dibuang begitu saja
dalam imajinasi tanpa nyawa; diumbar-umbar lewat mulut yang mulai congkak. Maka
kembalilah pada kata yang bermakna yang dituang dalam karya. Bukan
mendedikasikan karya untuk mendapatkan pujian dan pengakuan. Tapi mewariskan
sejarah dalam lukisan-lukisan bermelodi. Sebab melodi dalam iringan kalimat
yang dibalut perasaan dan penjiwan dari sang pencipta karya mendedikasika
pemikiran untuk negeri ini.
Kenapa masih takut tentang kebenaran yang dibalut senyum
paksa? Di mana lagi pergimu kalau kakimu dijadikan akar? Maka melangkahlah.
Sebab kakimu bukan akar yang bertahan dalam tanah yang gersang. Apalagi batang
yang kau tahan pada pohon kini mulai membenci daun dan ranting. Seolah menolak
siapa yang lebih dahulu jatuh ke tanah.
Tanpa sadar pemulaan antara ranting dan daun dibalut pada
tarikan rindang. Seharusnya biji yang protes "Sebab dirimu kulahirkan dari
diriku". Inilah konsekuensi hidup yang terbalut pada siklus. Jika benar
bertahan pada angin melegahkan tarikan napas, maka teruslah hirup bau-bau di
sekitar sebagai sumber informasi.
Ketika kehidupan disetarakan dengan pohon, maka tak ada
yang menolak mati; tak ada yang menolak gugur. Tapi jalanilah proses dengan
ketabahan walau nestapa mencekik leher. Ambilah nestapa yang dilimpahkan oleh
istana megah di negeri zamrud khatulistiwa. Lalu gantilah nestapa tanpa ada air
mata yang perlu ditangisi. Sebab tangisan tak bisa melahirkan apa-apa. Malah
menambah diri larut dalam buai yang berkempanjangan bernama keresahan.
Bila kekerasan yang kau temukan di kota dalam hingar-bingar
pergulatan, maka rawatlah diri dalam kesucian penuh perbuatan. Sebab tanah yang
kau beraki, tanah yang kau kencingi, tanah yang kau pijaki adalah kekuatan yang
terpadu dengan alam. Seharusnya alam kau jadikan sekolah dan napas pengetahuan
tanpa batas.
Atau kau heran dengan panflet dan baliho yang tertempel di
setiap ruas jalan raya? Atau kau tertarik pada senyum terpaksa pada foto para
caleg? Kalau memang matamu tertarik, hatimu ikut terpanggil, lalu menyeret ke
perasaan akan mendukung kepentingan rakyat. Atau kau percaya mereka dalam
pajangan menggaet suara adalah pilihan hidup?
Kalau kepercayaan mudah kau peroleh hanya sesat, maka
jangan heran arus gelombang perpisahan sudah mendekati. Lalu suara itu
berteriak.
"Aku tak percaya lagi segala
ucapmu, maka aku akan pergi tinggalkanmu".
Tanyamu.
"Kenapa secepat ini?"
Tapi tak ada kesempatan untuk mengutarakan pendapatmu
dengan baik. Setidaknya ia pergi, tapi paling tidak apa yang menyebabkan
perpisahan kau pun berhak untuk mengetahuinya. Hingga kau terheran-heran penuh
pukulan seolah comberan air limbah dihantam di muka, ditusuk-tusuk senjata
laras panjang ajudan yang disewa oleh negara.
Berbeda dengan suara-suara yang
pernah kau layangkan mengutuk rezim, mengevaluasi kebijakan dengan suara
lantang lewat megafon. Lalu kerumunan massa sontak berteriak.
"Lawan sampai titik darah
penghabisan".
"Untuk apa melawan?" Tanyamu padaku.
"Aku tak ingin tanah rahim bundaku, udara dengan
catatan panjang perjuangan ayahku dikotori dengan kepentingan bisnis".
Kataku dengan suara datar sambil menatap raut-raut mulus tanpa kau olesi
dandanan yang rupa-rupa.
Bukan kumengkalaim kalau tak ada yang terlibat dalam
perubahan sebelum-sebelumnya. Tapi meneruskan apa yang sudah diletakan adalah
suatu kebaikan. Karena sebagai pemuda harus menuai napas panjang dalam getir
dan sakitnya dalam belenggu.
Aku tak ingin menghabiskan waktu dalam ruang-ruang hampa.
Sebab kahampaan akan menciptakan kemalasan kalau diri tak dilatih dalam
aktivitas menggapai pengetahuan. Baik itu mempertajam pengetahuan atau pun
mencari hal-hal baru.
Carilah patahan-pataha yang tercecer di alam raya ini. Lalu
kau kumpul dalam catatan kusammu yang dijaga dengan begitu sayang. Paling tidak
menyayangi seuatu adalah bentuk kecintaan yang tulus. Apalagi lantunan doa kau
ucap dalam hati. Bukan cinta dan sayang yang kau maknai sempit dalam limit waktu.
Hingga kau katergorikan dengan nakhoda hubungan sepasang asmara.
Atau kau ingin istana ini tetap kotor? Di mana peranmu yang
kau habiskan dalam meja belajar? Atau kau ingin jadi pengusaha yang nantinya
akan memonopoli segala aset negara?
"Jadi pengusahakan
bagus?"
"Apanya yang bagus dari pengusaha?"
Kalau kau menginginkan jadi seorang penguasaha. Maka kau
adalah bagian dari pada kepentingan yang selama ini didengungkan. Karena banyak
pengusaha yang masuk dalam partai politik. Lalu hanya menambah saham demi
keuntungan pribadi. Maka tak heran slogan perubahan hanya nyanyian-nyanyian ala
para penipu.
"Kenapa kau singgung penipu?"
Protesmu dengan nada sinis. Seolah akulah penghalang
cita-citamu yang mau jadi pengusaha.
Makassar
Rabu, 30 Mei 2018
By:
Djik22
Komentar