Angin yang membawa kabar. Kuhirup dengan senangnya. Walau pun daerah perkotaan sudah dicampuri polusi. Tapi tak jadi soal. Ada rasa legah setelah perkataan terbuka yang pernah kulayangkan. Saat itu aku berkata di hadapan Fajar dengan sebuah pengakuan terburu-buru. Pengakuan tentang cintaku jatuh pada tulisannya. Tapi bukan pada Fajar.
Ada rasa penyesalan ketika sendiriku dalam lamunan. Penghayalan seolah meminta kesempatan itu diulang lagi. Tapi nyatanya tak ada kesempatan datang untuk ke dua kalinya. Biar terus menunggu di kesempatan lain. Akan tetapi rasa itu tetap akan berbeda. Suhu dingin mengendapkanku dalam kegigilan. Sampai keringat dingin basahkan sebagian pakianku. Apakah aku terlalu memikirkan kenangan yang telah lewat? Atau karena demam rindu yang mulai berkuasa. Lalu bertahan dalam diriku yang harus diobati dengan pertemuan?
Obat rindu tak ada yang dijual; tak ada yang di apotek mau pun di tempat-tempat para pedagang. Lantas bagaimana kutemukan obat yang tak kutahu tempatnya? Apakah pencarian akan terus berlanjut? Semoga segala pencari menuju ketenangan segera diraih. Apa pun caranya, yang penting mampu menyehatkan jiwa yang sedang terbelenggu; jiwa yang membutuhkan perhatian dari siapa pun. Asalkan ikhlas adalah kunci; menjadi imam adalah harapan.
Segera kuberpaling mencari ranting-ranting yang jatuh di pinggiran jalan keramaian. Ranting yang telah patah tak diberi kesempatan oleh batang bertahan menempel dengan dedaunan. Inilah resiko patahan-patahan hati dengan ranting. Setidaknya ia jatuh di dekat rerimbunan pohon. Baik itu terawat mau pun tidak. Intinya ia berkesempatan mendekati induk tumbuhnya. Ibarat terjatuh tapi tangan dan badan tak mampu diterima oleh tanah sebagai pijakan. Malah tanah dengan marahnya mengusir untuk segera terkubur hangus oleh injakan kaki para pengguna jalan.
Suasan mulai berganti. Dari keramaian menuju kesepian. Dari yang tersenyum kembali murung lagi. Entah apa lagi yang mengganggu isi kepala dan pikiran. Sehingga tak ada habisnya berpikir tentang sebuah keajaiban segera datang. Biar mampu menenangkan hati yang lagi sendiri; hati yang selalu berbisik tapi tak mampu di dengar. Segera kuteriaki batin untuk berkata lebih halus. Setidaknya batin mampu merasakan getaran objek yang sedang jadi bidikan. Baik yang kubidik atau pun orang lain ingin memanah dengan bidikan halus.
Sekiranya, teriakan batin pun tak mampu ditorehkan dengan kemenangan berpihak padaku. Maka kekalahan sedang berkuasa dalam sayatan-sayatan penyesalan. Sayatan itu melahirkan darah tapi tanpa luka. Sampai berbentuk memar dalam detak jantung dan bulu kudukku berdiri. Seolah rasa ketakutan kematian segera menjemput. Tapi jembutan itu terpeleh oleh kesempatan untuk bangkit lagi. Bangkit dan bangun melupakan segala yang menimpah diriku. Tanpa ada pertimbangan, bagaimana rasa yang sedang digilas oleh kebohongan? Diapit oleh kata hati yang sempat terucap.
Kehidupan di Kota Juang berdarah. Banyak perubahan mengajak prinsipku untuk segera bergeser. Ketika dulu prinsipku pada pegangan abjad A, maka sekarang mulai mendekati abjad B. Inilah resiko hidup bertahan pada keyakinan. Tapi kondisi realitasku selalu bertanya tanpa henti; bertanya dengan puluhan angka bernomor hingga aku kembali mengelak membayar kesibukan. Biar kata tertuang dengan jelas, aku diputar meraih mimpi dengan tanya sambil berdialektika pada jebakan-jebakan kata.
Belum lagi, penambahan-penambahan tugas akademik mulai menyerang seperti pertanyaan si Fajar. Bedanya, ketika Fajar menyerangku dengan pertanyaan logika yang dibalut sastra. Sedangkan pertanyaan akademik yang kuperoleh adalah mencarinya di mesin google. Ternyata dunia akademik diajarkan menggiring kepada budaya penjiblakan yang hasilnya sudah tersedia di internet. Lantas apa bedanya tugas dengan perintah mencuri karya orang tanpa mencantumkan alamat? Bukankah ini maling terpelihara demi nilai?
Tapi inilah dunia modern, semua serba siap saji; semua telah tersedia dan terpampang begitu banyak. Hingga tinggal memilih dan menimbang mana yang harus diambil. Aku mulai coba mengambil jalanan baru. Jalanan yang tak banyak lumpur dan tikungan tajam. Yang kudapat adalah kerikil dan debu-debu mengiringi langkahku. Hingga sekucur tubuhku dinodai oleh debu. Sedangkan pijakan kakiku terpeleset menyeret goreskan paha kananku. Tapi aku masih ingin tetap berjalan. Sebab hidup harus dinikmati dengan riang gembira. Walau pun di teba-teba jalan dengan bengis menghajar.
Jalanan baru telah kuraih, yaitu aku mencoba melupakan Fajar. Aku memilih mengingat sahabat setiaku. Beliau adalah orang yang paling pengertian dan mampu mendiamkanku ketika berontak. Dia baik sekali. Sudah seumpama saudara serasa. Tidak ada kata yang tidak enak keluar dari mulutnya. Tidak ada yang tidak aku sukai dari dia. Karena dia manusia, otomatis sama seperti aku.
Sahabatku adalah seorang perempuan. Usianya hampir setara denganku, yaitu 20 Tahun. Kebetulan saat ini, aku dan dia sama-sama di Kota Juang. Ia biasa dipanggil dengan Diana. Sosok Diana adalah sederhana dan bijaksana. Tak ada kutemukan keburukan pada dirinya. Yang kutemukan adalah kelembutan dan pengertian. Untuk sementara, banyak hal yang harus kucurahkan pada Diana.
Kupaksakan diri untuk melupakan segala yang berurusan dengan lelaki; yang punya tujuan memikat hati. Apalagi titel jomblo masih suci melekat pada diriku sebagai mahasiswi di kampus pergerakan. Biarlah jalan damai menyertaiku sebagai mahasiswi yang hanya fokus akademik dengan tuntutan calon seorang pendidik. Kebeteluan jurusan yang kuambil adalah bahasa Inggris. Walau pun kebanyakan orang menganggap "Bahasa Inggris membawa kepentingan internasional melalui dunia pendidikan". Pesan ini kudapatkan setelah salah satu ruang diskursus yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Sosiologi kampus pergerakan di warkop Pa'de. Salah satu pembicara mengatakan.
"Ada yang tahu tentang kepentingan mata kuliah bahasa Inggris?"
Tanya beliau pada peserta dialog yang tak memberi jawaban.
Lanjut pembicara mengatakan.
"Bahasa Inggris sampai masuk di dalam mata pelajaran adalah bertujuan untuk menyetarakan sistem pendidikan nasional kita dengan sistem pendidikan Internasional"
"Kok bisa?" tanyaku dalam hati.
Aku makin penasaran dengan apa yang dikatakan oleh pembicara di dialog enam hari yang lalu itu. Kalau memang benar, maka dunia pendidikan mulai membuka kran untuk para pemilik modal menanam saham demi meraut keuntungan. Ini dikarenakan salah satu dari dua belas Kesepakatan Washington. Satu di antaranya adalah privatisasi. Berarti sektor pendidikan juga mulai diserang.
Entahlah, aku terlalu lama menjadi mesinnya dosen atau kurangnya membaca buku. Hingga mengakibatkan penjara-penjara kecil sudah mulai tertanam di dalam duniaku; dunia kampus; dan dunia romantisme. Maka tak heran, mata dan pikiranku mulai terbuka. Ketika banyak mahasiwa yang melakukam protes, penolakan, dan memboikotan birokrasi di setiap kampus. Ternyata apa yang diperjuangkan mahasiswa berlandaskan pada semangat kebenaran. Karena banyak tuntutan yang dilantangkan adalah membuka ruang 'Demokrasi Sejati' di dalam kampus.
Ternyata kampus tak lagi menjadi panglima yang mencerdaskan mahasiswa. Banyak suara kritis dibungkam. Seolah pendidikan hanya dipandang sebagai syarat formal demi mendapatkan ijazah. Bagaimana tidak, banyak tren mahasiswa menguasai penampilan yang 'aduhai' tapi isi kepalanya patut dipertanyakan.
Aku terlalu sibuk di dunia subjektivitas. Sehingga kondisi sosial yang mengalami pahit getir dan penindasan, kurang cepat kuperolah dengan 'update' pemberitaan yang sedang bergejolak. Pantasan lima hari yang lalu aku melihat banyak panflet dan barisan massa yang turun ke jalan penuhi alun-alun kota dengan nyanyian-nyanyian perubahan.
Gumamku dalam hati, "aku akan bergabung di barisan kebenaran, tapi butuh persiapan yang matang menyulam, merajut, dan bersenggama dengan miliaran bacaan. Biar analisis tentang penyelesain masalah mampu kuretas."
Kesibukan-kesibukan kian sili berganti, membuat hati dan pikiranku harus menyisihkan sebagian kesempatan kepada adik-adikku yang mau masuk kuliah. Ketika waktu luangku tak bersama mereka, maka kesulitan yang dialami mereka aku membiarkan begitu saja. Tidak, aku tak setegah melepas tangan menjaga tali persaudaraan.
Tapi ketika selesai bercerita panjang dengan adik-adikku yang datang dari negaraku. Ingatanku kembali lagi pada Fajar yang melegenda. Rasanya ia selalu hadir di kesempatan yang kosong. Hingga kuingat pesan terakhirnya, ia pernah berkata.
"Linn...!!! Untuk sementara aku harus pergi."
"Pergi?" tanyaku dengan nada kaget.
"Iya, sampai ketemu di cipta kehidupanku."
"Aku Tak mengerti Jar, apa maksudmu...!"
"Besok baru aku jelaskan Linn, takutnya aku mengganggu lagi."
Hatiku gemetar dan wajahku pucat. Lalu hanya sepenggal kata kubalas.
"Siap Jar."
Aneh bercampur tanda tanya besar dalam benak. Ternyata kepergian datang dengan tiba-tiba tanpa pamit. Inilah kehilangan yang ke sekian akan sosok yang selalu dirindukan. Tapi percayaku dalam relung-relung bahasa hati. Fajar akan kembali lagi. Sebab pernah kukatakan padanya di taman hati.
"Ketika aku bosan Jar, maka kuberi kabar untuk pamit dan pergi tak akan kembali."
Tapi kata-kata yang pernah kubahasakan, malah berlaku pada diriku sendiri. Mengharapkan cahaya yang pernah kunyalakan sebelumnya. Malah kuterima adalah air mata yang menetes tanpa kusadari. Penyesalan yang dalam kusampaikan lewat chatt ''facebook', tapi Fajar hanya membacanya tanpa membalas. Kemudian kukirimkan lagi kalimat yang kusembunyikan selama ini.
"Jar, sejujurnya jatuh cintaku bukan hanya pada karya atau tulisanmu yang memutiara. Tapi aku mencintaimu tak ada ujungnya. Bila pengakuan ini kau anggap datang terlambat, maka datanglah untuk memberi bahagia. Sebab, tanpamu kehidupanku akan lebih hampa dan kosong."
Makassar
Senin, 7 Mei 2018
By: Djik22
Komentar