Kini purnama telah berganti dengan sesuka hatinya, tapi tak kulihat dirimu bersama purnama melambaikan tangan menyapa. Apakah sengaja kau tak datang di saat purnama? Atau sekali lagi aku yang jadi korban yang telah lama kau bidik? Jika memang bidikanmu adalah aku, maka jangan kau lukai hati untuk ke sekian kali. Sebab aku sudah tak kuat lagi menahan perih dalam penungguan. Apalagi luka-luka lama belum disembuhkan dengan obat yang paling mujarab.
Sempat kuberpikir untuk gantikan kerinduan dengan menyusun bait-bait puisi. Tapi tanganku selalu gemetar ketika kumemulai. Ditambah lagi keringat-keringat dingin basahi tubuhku saat berhadapan di meja belajar. Lama tak kusadarkan diri dalam lamunan penuh khayal. Berhayal tentang pertemuan; tentang cerita indah menawan hati; serta sepenggal pengetahuan baru yang kau bagikan.
Kupaksakan diri menulis beberapa bait puisi, akan tetapi tanganku terhenti di bait ketiga ketika ketukan pintu rumah tepat pukul 20.40 WITA.
"Tok...tok...tok." Sambil memberi salam, "Assalamualaikum...."
Kujawab, "Waalaikumsalam...."
Kakiku melangkah mendekati arah pintu. Rasa takutku semakin memuncak. Sebab tak seperti biasanya tamuku datang di malam hari di atas jam delapan malam.
Kuintip lewat gorden pintu melihat siapa di luar sana. Ternyata dalam remang-remang kumelihat ada sosok lelaki.
"Siapa gerangan lelaki di luar?"
Tanyaku dalam hati semakin penasaran dicampur ketakutan. Lalu pintu diketuk lagi sambil memberi salam lagi.
"Tok...tok...tok."
"Iya...sebentar."
Perlahan kubuka pintu sambil membalas salam. "Waalaikumsalam. Silahkan masuk."
"Maaf Linn...Aku mengganggu di waktu malammu."
Ternyata orang yang barusan mengetuk-ngetuk pintuku adalah Fajrin.
"Ada apa Rin."
"Anu...Linn...Aku hanya mau kembalikan buku catatan harianmu waktu tertinggal di tempat larangan."
Semakin kaget keadaanku, aku dirasuki pikiran buruk.
"Kenapa bisa Fajrin menemui catatan harianku?"
Sambil menyodorkan buku ke tanganku Fajrin berucap. "Linn...Aku buru-buru. Jadi langsung balik."
"Benaran Rin... tidak masuk dulu?"
"Iya Linn...di lain waktu dulu baru kita bercerita."
Sambil buru-buru bergegas Fajrin mengucapakan salam.
"Assalamualaikum Lin. Bay...bay...."
Aduh...Segala rahasia dalam catatanku pasti diketahui oleh Fajrin. Belum sempat kubertanya apakah ia sudah membaca isi tulisannya. Ia segera hilang dari pandanganku. Bukan hanya Fajar sebagai sosok yang misterius, tetapi Fajrin juga mendekati sosoknya Fajar. Semoga ini bukan tanda bahaya.
Kugenggap erat-erat catatan harianku. Sambil membuka perlahan-lahan. Teenyat ada tetesan darah di dalam lembaran ketiga. Pas di lembaran ketiga kumenulis tentang pertemuanku dengan Fajar di dialog warkop Pa'de. Beberapa paragraf catatanku tertutupi oleh darah. Tapi ini darahnya siapa? Kenapa tak ada luka tapi ada tetesan darah dalam bukuku? Bukankah saatku menulis keadaanku baik-baik saja?
Ah...darah lagi. Apakah petanda kebaikan atau ada tanda kematian menuju maut sudah dekat? Kalau memang darah sebagai tanda kematian, maka tak ada sedikit ketakutanku menuju maut. Sebab sudah kusiapkan diri matang-matang, bila maut datang membawaku ke liang kubur. Tapi bagaimana matiku sebelum menemukan orang terbaik yang selama ini kucari? Bagaimana kumembalas kebaikan orang tuaku?
Ya Tuhan. Jika kematian tak bisa ditawar-tawar, maka izinkanlah hambamu ini untuk melanjutkan lagi penggalan kata di bait keempat. Biar bait ketujuh dan seterusnya akan dilanjutkan oleh generasiku. Bagaimana generasiku mengetahui kalau aku belum memiliki keturunan?
Kududuk lagi di kursi tempat dudukku. Kutenangkan pikiran dan rasa takutku pada dua sosok misteri tersebut. Di dalam hati yang paling dalam kuberdoa untuk segera tertuang segala percaturan hidup tentang lelaki; tentang Fajar yang pergi tak kembali; tentang Fajrin yang menemukan catatan harianku. Andaikan masih ada lagi waktu untuk pertemuan, maka kulayangkan pertanyaan sebanyak-banyaknya. Biar segala teka-teki segera dibuka.
Hidup ini seolah dalam kotak-kotak rahasia yang penuh sandi. Hingga butuh tenaga dan pikiran yang jernih mencari kunci jawaban. Biar rahasia-rahasia di dunia sebagian besarnya kuketahui; biar banyak waktu yang kugunakan untuk melakukan hal yang bermanfaat. Tapi kenapa hidup begitu rumit seperti bait-bait puisi? Kenapa makna tersembunyi di dalam karya terus-menerus dicari?
Rasa bosan mulai tumbuh di batinku dengan perlahan, hingga kepalaku mulai berat memikirkan kejadian yang telah lewat. Andaikan segala masalah dalam otakku kutuliskan, maka butuh sekitar dua ribu lembar kertas untuk dituangkan dalam bentuk teks yang ditulis tangan. Tapi sayang, beratnya kepala mencoba mengajakku berteman dengan ranjang. Kugeser kepalaku bersandar di tempat tidur tanpa mencuci muka terlebih dahulu. Tuhan pun tahu keadaanku ini, maka kukirimkan doa sebelum tidur. Biar esok bangun atau tidak, aku tertidur dalam lindungan malaikat dan para penjaga rumah.
Sebelum kumenutup mata, ingatanku kembali diganggu dengan tragisnya. Seolah ingatan bergulat dengan ganasnya memaksaku tidak tidur. Tetap kupaksakan diri untuk menutup mata. Akhirnya aku yang menang melawan lamunan pada sosok-sosok miterius. Setidaknya hanya misterius dalam dunia nyata. Aku tak mau pola pikirku diganggu dengan hal yang aneh-aneh. Paling tidak, aku harus menang di dalam pikiran.
Tak ada satu pun orang yang mau, kalau pikirannya dikuasai oleh doktrin dan dogma membelenggu menuju keterpurukan. Sebab kebebasan manusia harus dimulai dari dalam pikiran hingga kebebasan berbuat. Bukan bebas tanpa ada batas. Tapi bebas sesuai ajaran agama, budaya, dan konstitusi negara. Inilah ketiga item pengikat menjelma dalam hidupku. Kalau ketiga pijakan itu salah satunya aku langgar, maka segera kurefleksikan diri.
Refleksi diri atas perbuatan yang pernah kulalui; pernah kulewati dengan perenungan malam yang maha tenang terus kuhayati. Biar kutemukan bulir-bulir solusi di atas ranjang idamanku. Ranjang yang dipenuhi dengan doa, tangisan, dan penyesalan. Semoga malam ini, tak ada tangisan yang jatuh di atas bantal guling yang kupeluk erat-erat.
Pelukam hangat mengobati dingin hati; dingin menggigil merasuki seluruh badan. Biar pun dingin menggodaku dengan angin sepoi-sepoi, keadaan masih tetap utuh. Karena dingin adalah salah satu teman hidupku ketika tak ada satu orang pun kuajak untuk bercerita. Maka kutitipkan dingin dengan kabar gembira bercampur haru. Kalau hatiku sedang dalam keadaan tak tentu arah.
Makassar
Senin, 21 Mei 2018
By: Djik22
Komentar