Terangnya cahaya senja belum padam, hingga hilang ke tempat kembalinya. Tapi sisa cahaya memberi kesempatan pada limit waktu terbatas. Seolah semua sesuai dengan keganjilan dunia yang mulai digetarkan dahaga pada penantian. Entah penantian di ujung jalan; atau perpisahan di tengah badai. Lantaran kemana harapan disanjung? Pada siapa pengaduhan hati yang bergetar? Bila tak ada yang mendengar, maka setidaknya menitipkan pada suara dan kata. Biar terbaca mengingat dengan kesejukan hati.
Tapi hati juga mulai mengabdi tanpa menjerat makna. Hingga lahirlah kebingungan antara relung-relung yang masih bersembunyi. Biar telah banyak diserang dengan bahaya; diserang dengan tanya sampai lewati batas. Lalu kenapa tangan tak berhenti mengotak-atik membalas setiap kelangkaan kenalan pertama? Bukankah belum terlalu jauh saling mengenal?
Aku tak bisa mengartikannya secara sendiri. Sebab takutku melahirkan sepadanan kata yang berbeda dengan getaran hatimu. Andai dekat adalah perasaan, maka kejauhan kujadikan ungkapan untuk persembahan benak rasa yang masih bersembunyi. Ketika serangkaian lirih memanggil dengan sapaan yang berbeda, di setiap nomor-nomor tanya telah dipadukan dengan keingintahuan. Tapi batasan masih terpeleh oleh malu yang tak bisa dibendung. Menyamai sedikit profesimu yang suka membuka catatan kala sibuk.
Rupanya sama-sama lupa dimana awal mula pertemuan. Seolah usia muda telah terserang penyakit pikun yang disengaja. Biar tak ada yang berani mengakui, kalau kau dan aku sempat bertemu.
"Aku pernah melihatmu di dialog," katamu padaku.
Tapi aku tak mengiyakan kalau saat itu hadirku sempat rautmu menoleh ke arahku. Dengan sedikit lambat menekan pengeras suara. Kumenulis di layar lebar catatan kisah.
"Kayaknya bukan aku, atau calon prof mengagumi sesorang pada malam itu?"
Tapi sepintas jawaban bersembunyi dengan sadar.
"Terus siapa? Kalau malam itu di tempat bazar dialog dominan adalah lelaki?"
"Entahlah mereka siapa. Karena setahuku, ada pancaran mata yang menatap tajam, lalu duduk di sebelah kiriku ketika berhadapan dengan para pembicara."
Kalau amnesia adalah juru kunci, maka kesukaan warnamu pun akan tetap berjumlah ganjil. Bagaimana tidak warna itu terdiri dari hitam, putih, dan ungu. Tapi kenapa harus tiga warna? Kenapa bukan empat warna sebagai kesukaan? Biar warna hijau juga masuk sebagai salah satu kesukaan warna para pejuang. Yang membawa masyarakat dari zaman jahiliyah menuju zaman terang-benerang.
"Kenapa harus hijau?"
Seolah hijau adalah lambang kesuburan. Tapi tak sempat kau memilih. Biar tak ada kau sukai hijau, citamu adalah menghubungkan manusia-dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Lantaran kenapa kau artikan hitam sebagai seimbang atau netral; putih memaknai suci; sedangkan ungu adalah warna. Tapi agak berbeda bila kuartikan hitam sebagai kedalaman; sebagai tingkat tertinggi kesungguhan. Baik lewat berguru atau pertapaan. Semoga saja warna ungu tak berselisih yang kuartikan miring sebagai kesukaan para lelaki.
Hingga pertengahan sore menuju malam. Catatan tentangmu belum kuhabiskan. Karena setiap sayatan kata; pilihan sepenggal kalimat tersusun merdu terdengar di langit-langit rumah penyejuk sukma. Kenapa ketakutan tak berpihak menjaga hati? Bukankah tak ada tanda keakraban satu sama lain? Apa pun kata, tak akan sepadan dengan lembut lembah di gerak langkahku menghadap sang pemangku rindu. Yang terobat dalam pedoman penyejuk hati yang berkuasa tak tentu arah.
Bacaan ke arah ronah lembut air wudhu pancarkan di linang air muka, kupandang lewat ketelitian. Hingga tak ada kemungkinan untuk mencocokan pada angka pilihan detak-detak jantungmu. Yang dua terdiri dari angka genap; dua lagi terdiri dari angka ganjil. Tapi kenapa dua, enam, sembilan, dan tiga belas sebagai pancingan? Atau kau butakan raga dan mataku menyalahi penglihatan? Hingga membuat buta menerobos tulang-belulang; menembus leluasa di barisan jantung dan detak edaran darah.
Seolah hidup begitu terkesan lewat bacaan kesukaanmu. Hingga memilih ketenangan dengan nada datar beri batas pada segala penyerangan tanya. Sampai sedikit protes.
"Kayanya banyak masalah. Sudahlah tak semestinya penjabaran begitu terang-benerang seperti terangnya bulan yang sedikit malu-malu."
Andaikan imam adalah permintaan, maka butuh beberapa kali untuk menyatu. Tapi dalam jelmaan berbudi, penebakanmu tak mampu diluluhkan hanya sebatas kata. Karena ucapmu begitu pedas dan menarik. Hingga tangga Ilahi sebagai pemilik mampu meridhoi lewat doamu dengan gemuruh lembut "Hidup tidak hanya tentang 'hablum minnallah' dan 'hablum minannas'. Tapi keduanya harus seiring sejalan manusia, di mana manusia tidak harus terlalu mencumbui Tuhannya. Tetapi harus sejalan dengan kehidupan sosialnya."
Hingga suatu ketika, aku melepaskan segala beban di dataran pantai. Sambil dirayu sang ombak dengan percikan air menghantam di bebatuan tajam. sampai kagetmu bertanya.
"Bagaimana dirayu gelombang?"
Dengan kaget sontak iringi desiran pasir.
"Maksudnya?"
Hanya diam dan termangu dalam lamunan membara.
Jeritan-jeritan dibasahi air laut yang terasa asin. Hingga lembaran catatan tak menguak membuka hati. Menentukan pilihan; membagi dan menerima tanya lewat tiga belas pertanyaan. Lalu kau tutup pada pertanyaan nomor ke tiga belas sebagai penutup babad putaran satu. Hingga kuceritakan ulang lewat kosa-kata sederhana yang menderet tentang suara. Tapi suara pun tak kau balas dengan cepat hingga aku menunggu tanpa sebuah jawaban pasti.
Ketika di awal balasanmu begitu cepat. Tapi di akhir ini, hanya berserah pada pola kedaan. Kalau kelak kau dan aku bertemu dalam cahaya lilin yang mampu merelakan nyawanya demi terang. Sampai kubuka sedikit tentang diriku sebagai perempuan yang disapa dengan Linn. Yang dibesarkan di negeri Melayu. Kutunggu ceritamu dilanjutan kisah. Sekian jelmaanmu yang tak memberi apa-apa. Hanya pada sebuah harapan sesaat hingga hilang lagi.
"Terus siapa dirimu?"
"Bukankah kau calon sang guru yang kurajut dalam pena dan lentikan napas?"
Tapi tak satu pun memberi sedikit arti terang. Sampai keringnya mata air menjadi air mata. Lalu lahirkan murung.
Makassar
Jumat, 4 Mei 2018
By: Djik22
Komentar