Langsung ke konten utama

Tiga Belas Memberi Kode #1 (300)

#Part 01


Foto latar: Aslin Hasdi

Terangnya cahaya senja belum padam, hingga hilang ke tempat kembalinya. Tapi sisa cahaya memberi kesempatan pada limit waktu terbatas. Seolah semua sesuai dengan keganjilan dunia yang mulai digetarkan dahaga pada penantian. Entah penantian di ujung jalan; atau perpisahan di tengah badai. Lantaran kemana harapan disanjung? Pada siapa pengaduhan hati yang bergetar? Bila tak ada yang mendengar, maka setidaknya menitipkan pada suara dan kata. Biar terbaca mengingat dengan kesejukan hati.

Tapi hati juga mulai mengabdi tanpa menjerat makna. Hingga lahirlah kebingungan antara relung-relung yang masih bersembunyi. Biar telah banyak diserang dengan bahaya; diserang dengan tanya sampai lewati batas. Lalu kenapa tangan tak berhenti mengotak-atik membalas setiap kelangkaan kenalan pertama? Bukankah belum terlalu jauh saling mengenal?

Aku tak bisa mengartikannya secara sendiri. Sebab takutku melahirkan sepadanan kata yang berbeda dengan getaran hatimu. Andai dekat adalah perasaan, maka kejauhan kujadikan ungkapan untuk persembahan benak rasa yang masih bersembunyi. Ketika serangkaian lirih memanggil dengan sapaan yang berbeda, di setiap nomor-nomor tanya telah dipadukan dengan keingintahuan. Tapi batasan masih terpeleh oleh malu yang tak bisa dibendung. Menyamai sedikit profesimu yang suka membuka catatan kala sibuk.

Rupanya sama-sama lupa dimana awal mula pertemuan. Seolah usia muda telah terserang penyakit pikun yang disengaja. Biar tak ada yang berani mengakui, kalau kau dan aku sempat bertemu.

"Aku pernah melihatmu di dialog," katamu padaku. 

Tapi aku tak mengiyakan kalau saat itu hadirku sempat rautmu menoleh ke arahku. Dengan sedikit lambat menekan pengeras suara. Kumenulis di layar lebar catatan kisah.

"Kayaknya bukan aku, atau calon prof mengagumi sesorang pada malam itu?"

Tapi sepintas jawaban bersembunyi dengan sadar.

"Terus siapa? Kalau malam itu di tempat bazar dialog dominan adalah lelaki?"

"Entahlah mereka siapa. Karena setahuku, ada pancaran mata yang menatap tajam, lalu duduk di sebelah kiriku ketika berhadapan dengan para pembicara."

Kalau amnesia adalah juru kunci, maka kesukaan warnamu pun akan tetap berjumlah ganjil. Bagaimana tidak warna itu terdiri dari hitam, putih, dan ungu. Tapi kenapa harus tiga warna? Kenapa bukan empat warna sebagai kesukaan? Biar warna hijau juga masuk sebagai salah satu kesukaan warna para pejuang. Yang membawa masyarakat dari zaman jahiliyah menuju zaman terang-benerang.

"Kenapa harus hijau?"

Seolah hijau adalah lambang kesuburan. Tapi tak sempat kau memilih. Biar tak ada kau sukai hijau, citamu adalah menghubungkan manusia-dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhannya.

Lantaran kenapa kau artikan hitam sebagai seimbang atau netral; putih memaknai suci; sedangkan ungu adalah warna. Tapi agak berbeda bila kuartikan hitam sebagai kedalaman; sebagai tingkat tertinggi kesungguhan. Baik lewat berguru atau pertapaan. Semoga saja warna ungu tak berselisih yang kuartikan miring sebagai kesukaan para lelaki.

Hingga pertengahan sore menuju malam. Catatan tentangmu belum kuhabiskan. Karena setiap sayatan kata; pilihan sepenggal kalimat tersusun merdu terdengar di langit-langit rumah penyejuk sukma. Kenapa ketakutan tak berpihak menjaga hati? Bukankah tak ada tanda keakraban satu sama lain? Apa pun kata, tak akan sepadan dengan lembut lembah di gerak langkahku menghadap sang pemangku rindu. Yang terobat dalam pedoman penyejuk hati yang berkuasa tak tentu arah.

Bacaan ke arah ronah lembut air wudhu pancarkan di linang air muka, kupandang lewat ketelitian. Hingga tak ada kemungkinan untuk mencocokan pada angka pilihan detak-detak jantungmu. Yang dua terdiri dari angka genap; dua lagi terdiri dari angka ganjil. Tapi kenapa dua, enam, sembilan, dan tiga belas sebagai pancingan? Atau kau butakan raga dan mataku menyalahi penglihatan? Hingga membuat buta menerobos tulang-belulang; menembus leluasa di barisan jantung dan detak edaran darah.

Seolah hidup begitu terkesan lewat bacaan kesukaanmu. Hingga memilih ketenangan dengan nada datar beri batas pada segala penyerangan tanya. Sampai sedikit protes.

"Kayanya banyak masalah. Sudahlah tak semestinya penjabaran begitu terang-benerang seperti terangnya bulan yang sedikit malu-malu."

Andaikan imam adalah permintaan, maka butuh beberapa kali untuk menyatu. Tapi dalam jelmaan berbudi, penebakanmu tak mampu diluluhkan hanya sebatas kata. Karena ucapmu begitu pedas dan menarik. Hingga tangga Ilahi sebagai pemilik mampu meridhoi lewat doamu dengan gemuruh lembut "Hidup tidak hanya tentang 'hablum minnallah' dan 'hablum minannas'. Tapi keduanya harus seiring sejalan manusia, di mana manusia tidak harus terlalu mencumbui Tuhannya. Tetapi harus sejalan dengan kehidupan sosialnya."

Hingga suatu ketika, aku melepaskan segala beban di dataran pantai. Sambil dirayu sang ombak dengan percikan air menghantam di bebatuan tajam. sampai kagetmu bertanya.

"Bagaimana dirayu gelombang?"

Dengan kaget sontak iringi desiran pasir.

"Maksudnya?"

Hanya diam dan termangu dalam lamunan membara.

Jeritan-jeritan dibasahi air laut yang terasa asin. Hingga lembaran catatan tak menguak membuka hati. Menentukan pilihan; membagi dan menerima tanya lewat tiga belas pertanyaan. Lalu kau tutup pada pertanyaan nomor ke tiga belas sebagai penutup babad putaran satu. Hingga kuceritakan ulang lewat kosa-kata sederhana yang menderet tentang suara. Tapi suara pun tak kau balas dengan cepat hingga aku menunggu tanpa sebuah jawaban pasti.

Ketika di awal balasanmu begitu cepat. Tapi di akhir ini, hanya berserah pada pola kedaan. Kalau kelak kau dan aku bertemu dalam cahaya lilin yang mampu merelakan nyawanya demi terang. Sampai kubuka sedikit tentang diriku sebagai perempuan yang disapa dengan Linn. Yang dibesarkan di negeri Melayu. Kutunggu ceritamu dilanjutan kisah. Sekian jelmaanmu yang tak memberi apa-apa. Hanya pada sebuah harapan sesaat hingga hilang lagi.

"Terus siapa dirimu?"

"Bukankah kau calon sang guru yang kurajut dalam pena dan lentikan napas?"

Tapi tak satu pun memberi sedikit arti terang. Sampai keringnya mata air menjadi air mata. Lalu lahirkan murung.


Makassar
Jumat, 4 Mei 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh