#Part 01
Sengaja tepat tanggal dua puluh bulan Mei tak kutuliskan cerita tentang sebuah kesepakatan. Kubiarkan waktu berlarut hingga bergeser ke arah pukul satu lewat sembilan puluh tujuh menit. Tepat satu menit tambahan menuju pukul dua nol-nol. Setidaknya menunjukan angka dua dan nol. Bila disatukan, maka terlihat seperti angka dua puluh. Sebuah angka keramat sepanjang babat pengejaran di tanah Karaeng.
Tanah para Karaeng telah kupijak dengan jalur pasang surut. Jalur pasang ketika gemuruh suara dalam lingkaran semangat menerawang batas-batas yang tak diketahui oleh banyak orang. Sedangkan jalur surut adalah saat sendiriku tak berteman satu manusia pun. Maka yang kutemani adalah kesendirian di malam gelap sambil menunggu teriakan-teriakan mengadu nasib. Baik yang bertahan sepanjang hari, mau pun yang lalai karena tak sanggup bertahan.
Bertahan demi hidup yang baik merupakan suatu ajaran yang tak hanya didapat melalui ejaan terbata-bata. Tapi suatu proses panjang; suatu usaha yang dibayar dengan keringat dan air mata dahaga. Air mata telah jadi teman setia ketika tak ada jalan kutemui. Sebab yang kudapat adalah kebuntuan tanpa solusi meretas bola-bola panas yang dilemparkan oleh orang tak dikenal.
Andaikan yang melempar dengan sengaja kuketahui, maka sudah kulapor dengan cara manusiawi. Tapi saat bola dilempar, aku dalam keadaan yang tak bersemangat. Hingga kekalahan menjara dalam lamunan penuh kelemahan. Setidaknya ada sebuah perbuatan buruk tak mesti dilawan dengan keburukan. Akan tetapi keburukan juga sebagai kado hidup yang harus disyukuri. Kuncinya adalah ambil hikmah dibalik perlakuan, lalu tinggalkanlah keburukan. Biar tak datang kedua kali jebloskan diri dalam lubang hina.
Masa silam telah jadi ketakutan untuk kuterima lamaran kata dari yang menggoda. Apalagi yang datang dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan tenaga. Lalu pergi begitu saja bila tujuan berselubung telah didapatkan. Apa guna bila hidup hanya merugikan orang lain? Bagaimana yang dirugikan membalas perlakuan dengan cara yang sama?
Perlakuan tak adil sering kuterima dari mata elang berhati busuk. Mata yang menatap dengan lirik, lalu dicumbui hati yang paling pahit dan tragis. Tapi apa pun hasutan selalu kutimbang dengan bijak. Biar segera kuketahui mana yang baik dan mana yang tak baik; mana yang berselubung dan mana yang berterus terang. Walau terus terang adalah hal lumrah yang sulit ditemukan. Tapi inilah sikap yang kunanti-nanti dalam hidup di tanah perantauan.
Hidup sendiri jauh dari orang terkasih, membuatku merasa sendiri mengais-ngais ilmu. Biar banyak sahabat yang setia, tapi tak bisa menyamai kasih dan sayang dari dua orang tercinta. Ia, mereka adalah kedua sayap-sayap yang membawaku terbang jauh. Dari rahim bunda menuju alam perjuangan belaian lembut sang ayah. Kelembutan ditandai dengan keringat dan basahan peluh yang tiada henti.
Kini aku telah terbang jauh meninggalkan dua pasang nyawa. Jarak yang begitu jauh terbentang dari tanah Sulawesi sampai ke tanah Patimura. Rupanya dua perpaduan tanah pejuang memberi ilham dan contoh setiap langkahku. Dimualai dari saat datangku, sampai ke kediamanku memulai aktivitas. Biar dimana pun tempat berpijak, di situlah sebuah ujian segera dimuai. Yang kuat akan bertahan dan yang menyerah akan kalah.
Satu hari yang telah lewat sebagai sebuah petanda; sebuah identitas yang tak melekat lagi dalam diriku. Ketika sebelumnya satu tahun delapan bulan aku berteman tanpa pendamping. Sekarang sudah kutemui sebuah impian yang lama terpendam. Semoga yang tiba ini, mampu menjagaku sesuai pesan sang ayah. Pesan sebagai pedoman dan cahaya hidup di tanah berteman angin-angin malam.
Ritme medan laga diputarkan melalui sebuah proses penerimaan anggota baru di ruang megah. Kala itu, ada sosok berambut ikal duduk di depan meja untuk membuka sebuah acara secara resmi. Karismanya memang luar biasa. Bisa dilihat dari raut mukanya; tutur bahasanya; serta pilihan kata untuk membakar semangat para penghuni ruangan.
Sebelum jauh kumengukir dengan pahatan-pahat mutiara. Kukenali dirinya adalah lelaki sang penulis ulung; waktunya dihabiskan dengan hitungan kata; makanannya adalah penggalan-penggalan buku yang dieja. Ia adalah lelaki yang digemari banyak perempuan. Beliau sering disapa dengan nama pena. Tapi kujuluki ia sebagai profesor. Sebuah nama antara aku dan dia menyepakati di dalam daftar perkenalan.
Dari deretan nama lengkapnya yang terdiri dari dua puluh satu huruf, aku memilih untuk memberi namanya dalam tulisan ini dengan sapaan 'Aziz'. Setidaknya nama Aziz mampu membuka siapa gerangan dirinya. Sebab nama adalah sebuah doa, maka doa terbaik kulantunkan untuk mengiringi langkahnya. Biar selalu diberikan kemudahan dalam hidup menuju ke kekelan yang abadi.
Kedekatanku bersama Aziz sudah berbulan-bulan. Saat perkenalan, kuketahui ia sudah punya kekasih. Tapi tak kuketahui secara pasti siapa nama kekasihnya. Ia begitu dekat, hingga banyak yang menganggap kalau aku dan ia sedang menjalin hubungan segi tiga. Cerita ini kudengar pada pengakuan Aziz saat bertemu di kamar kontrakannya. Ia memulai membuka percakapan.
"Wia...!!!" Ia memanggil nama pendekku.
"Iya Ziz".
"Aku mau menceritakan suatu hal penting".
"Apa yang mau kamu ceritakan Ziz? Jangan dibuat terlalu resmi".
Setelah selesai aku bicara. Ia menegurku.
"Pelankan suaramu...!!!".
Kemudian aku protes.
"Kamar sebelah saja bicara dengan nada tinggi tak kau larang. Kenapa giliran aku kau larang?"
"Bukan begitu, tapi tak bagus seorang perempuan bicara dengan nada tinggi".
"Oke... Kalau begitu kupelankan nadaku".
Sebelum kudengar ceritanya Aziz. Aku bertanya lagi.
"Buku-buku yang disusun ini milik siapa?"
Ia menjawab "Itu buku miliku".
"Apakah semuanya telah kau baca?"
"Iya... semuanya telah kubaca".
"Waooowwww... ampun Ziz. Pantasan saat bicara seolah kau membaca dalam naskah".
"Hahahha... itukan penilaianmu".
Jawabnya sambil senyum.
Tiba-tiba Aziz mengizinkan untuk memegang tanganku. Tapi saat kurasai tangannya begitu lembut; tangannya lebih halus dari pada tanganku. Sampai ia mengolok sambil tertawa melihat tanganku. Belum lagi Aziz protes tanganku mengenakan pewarna kuku.
"Kenapa tanganmu diwarnai tak rapi?"
"Bagaimana mau rapi... kalau saat kupakai di malam hari".
"Oh... begitu".
Tangannya semakin erat menggenggam tanganku. Dalam benakku, kukira setiap pertanyaannya hanyalah bahan observasi yang nanti dimasukan dalam tulisannya. Tapi segera Aziz berkata.
"Kali ini bukan observasi, tapi....!!!"
"Tapi apa Ziz?"
"Tapi aku mau melihat apa yang kau katakan sesuai gerak matamu atau tidak".
Aku protes pada Aziz.
"Memang ada observasi sampai ada yang begini?"
Ia berkata "Baru kamu adalah orang yang kuobservasi sampai masuk di dalam tempat kediamanku".
Hatiku mulai mengikuti detak-detak jantungnya. Seolah ingin kumasuki dalam-dalam dengan keadaan sadar. Biar kusentuh dengan lembut tanpa ada kata larangan. Hingga mampu kurasakan semua ketulusan yang diungkap. Tapi sayang, akulah perempuan labil yang sedang mencari jati diri menuju kedewasaan. Kuingin dalam masa remajaku bertemu lelaki yang setia menerima aku apa adanya.
Setidaknya berkenalan dengan Aziz. Perubahan pola pikirku mendekati kebanyakan orang yang bicara soal perubahan. Bukan hanya bicara tanpa ada perbuatan. Tapi pembicaraan dibenturkan dalam bilik-bilik perbuatan. Hingga ada kemenangan kecil tercapai membuat hari esok jadi milik bersama.
Satu jam telah lewat jadi bahan panjang saksi kematangan. Biar dunia pun ikut serta terlibat dalam bisingan-bisingan kendaraan yang lalu-lalang terdengar di kejauhan jalan raya. Jalanan yang mulai sepi mengajak para pengguna untuk pulang ke kediaman. Biar menyiapkan diri di esok pagi bangun menjalankan lagi rutinitas dengan biasanya.
Tepat di paragraf sepuluh sebagai penutup alkisah. Kujanjikan besok akan berlanjut mengintai cerita yang lebih indah. Keindahan yang mampu membuat hati tak bergetar, tapi membuat hati semakin dekat. Biar membara berjalan di atas kerikil-kerikil tajam yang mencoba menghadang di tengah jalan. Saat dulu kerikil tak mampu kulewati dengan keberanian, sekarang telah mudah kulewati. Berarti perubahan kecil sudah kuperoleh di tanggal dua puluh satu bulan Mei.
Makassar
Senin, 21 Mei 2018
By: Djik22
Foto latar: Alawia Yabkenyanan
Tanah para Karaeng telah kupijak dengan jalur pasang surut. Jalur pasang ketika gemuruh suara dalam lingkaran semangat menerawang batas-batas yang tak diketahui oleh banyak orang. Sedangkan jalur surut adalah saat sendiriku tak berteman satu manusia pun. Maka yang kutemani adalah kesendirian di malam gelap sambil menunggu teriakan-teriakan mengadu nasib. Baik yang bertahan sepanjang hari, mau pun yang lalai karena tak sanggup bertahan.
Bertahan demi hidup yang baik merupakan suatu ajaran yang tak hanya didapat melalui ejaan terbata-bata. Tapi suatu proses panjang; suatu usaha yang dibayar dengan keringat dan air mata dahaga. Air mata telah jadi teman setia ketika tak ada jalan kutemui. Sebab yang kudapat adalah kebuntuan tanpa solusi meretas bola-bola panas yang dilemparkan oleh orang tak dikenal.
Andaikan yang melempar dengan sengaja kuketahui, maka sudah kulapor dengan cara manusiawi. Tapi saat bola dilempar, aku dalam keadaan yang tak bersemangat. Hingga kekalahan menjara dalam lamunan penuh kelemahan. Setidaknya ada sebuah perbuatan buruk tak mesti dilawan dengan keburukan. Akan tetapi keburukan juga sebagai kado hidup yang harus disyukuri. Kuncinya adalah ambil hikmah dibalik perlakuan, lalu tinggalkanlah keburukan. Biar tak datang kedua kali jebloskan diri dalam lubang hina.
Masa silam telah jadi ketakutan untuk kuterima lamaran kata dari yang menggoda. Apalagi yang datang dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan tenaga. Lalu pergi begitu saja bila tujuan berselubung telah didapatkan. Apa guna bila hidup hanya merugikan orang lain? Bagaimana yang dirugikan membalas perlakuan dengan cara yang sama?
Perlakuan tak adil sering kuterima dari mata elang berhati busuk. Mata yang menatap dengan lirik, lalu dicumbui hati yang paling pahit dan tragis. Tapi apa pun hasutan selalu kutimbang dengan bijak. Biar segera kuketahui mana yang baik dan mana yang tak baik; mana yang berselubung dan mana yang berterus terang. Walau terus terang adalah hal lumrah yang sulit ditemukan. Tapi inilah sikap yang kunanti-nanti dalam hidup di tanah perantauan.
Hidup sendiri jauh dari orang terkasih, membuatku merasa sendiri mengais-ngais ilmu. Biar banyak sahabat yang setia, tapi tak bisa menyamai kasih dan sayang dari dua orang tercinta. Ia, mereka adalah kedua sayap-sayap yang membawaku terbang jauh. Dari rahim bunda menuju alam perjuangan belaian lembut sang ayah. Kelembutan ditandai dengan keringat dan basahan peluh yang tiada henti.
Kini aku telah terbang jauh meninggalkan dua pasang nyawa. Jarak yang begitu jauh terbentang dari tanah Sulawesi sampai ke tanah Patimura. Rupanya dua perpaduan tanah pejuang memberi ilham dan contoh setiap langkahku. Dimualai dari saat datangku, sampai ke kediamanku memulai aktivitas. Biar dimana pun tempat berpijak, di situlah sebuah ujian segera dimuai. Yang kuat akan bertahan dan yang menyerah akan kalah.
Satu hari yang telah lewat sebagai sebuah petanda; sebuah identitas yang tak melekat lagi dalam diriku. Ketika sebelumnya satu tahun delapan bulan aku berteman tanpa pendamping. Sekarang sudah kutemui sebuah impian yang lama terpendam. Semoga yang tiba ini, mampu menjagaku sesuai pesan sang ayah. Pesan sebagai pedoman dan cahaya hidup di tanah berteman angin-angin malam.
Ritme medan laga diputarkan melalui sebuah proses penerimaan anggota baru di ruang megah. Kala itu, ada sosok berambut ikal duduk di depan meja untuk membuka sebuah acara secara resmi. Karismanya memang luar biasa. Bisa dilihat dari raut mukanya; tutur bahasanya; serta pilihan kata untuk membakar semangat para penghuni ruangan.
Sebelum jauh kumengukir dengan pahatan-pahat mutiara. Kukenali dirinya adalah lelaki sang penulis ulung; waktunya dihabiskan dengan hitungan kata; makanannya adalah penggalan-penggalan buku yang dieja. Ia adalah lelaki yang digemari banyak perempuan. Beliau sering disapa dengan nama pena. Tapi kujuluki ia sebagai profesor. Sebuah nama antara aku dan dia menyepakati di dalam daftar perkenalan.
Dari deretan nama lengkapnya yang terdiri dari dua puluh satu huruf, aku memilih untuk memberi namanya dalam tulisan ini dengan sapaan 'Aziz'. Setidaknya nama Aziz mampu membuka siapa gerangan dirinya. Sebab nama adalah sebuah doa, maka doa terbaik kulantunkan untuk mengiringi langkahnya. Biar selalu diberikan kemudahan dalam hidup menuju ke kekelan yang abadi.
Kedekatanku bersama Aziz sudah berbulan-bulan. Saat perkenalan, kuketahui ia sudah punya kekasih. Tapi tak kuketahui secara pasti siapa nama kekasihnya. Ia begitu dekat, hingga banyak yang menganggap kalau aku dan ia sedang menjalin hubungan segi tiga. Cerita ini kudengar pada pengakuan Aziz saat bertemu di kamar kontrakannya. Ia memulai membuka percakapan.
"Wia...!!!" Ia memanggil nama pendekku.
"Iya Ziz".
"Aku mau menceritakan suatu hal penting".
"Apa yang mau kamu ceritakan Ziz? Jangan dibuat terlalu resmi".
Setelah selesai aku bicara. Ia menegurku.
"Pelankan suaramu...!!!".
Kemudian aku protes.
"Kamar sebelah saja bicara dengan nada tinggi tak kau larang. Kenapa giliran aku kau larang?"
"Bukan begitu, tapi tak bagus seorang perempuan bicara dengan nada tinggi".
"Oke... Kalau begitu kupelankan nadaku".
Sebelum kudengar ceritanya Aziz. Aku bertanya lagi.
"Buku-buku yang disusun ini milik siapa?"
Ia menjawab "Itu buku miliku".
"Apakah semuanya telah kau baca?"
"Iya... semuanya telah kubaca".
"Waooowwww... ampun Ziz. Pantasan saat bicara seolah kau membaca dalam naskah".
"Hahahha... itukan penilaianmu".
Jawabnya sambil senyum.
Tiba-tiba Aziz mengizinkan untuk memegang tanganku. Tapi saat kurasai tangannya begitu lembut; tangannya lebih halus dari pada tanganku. Sampai ia mengolok sambil tertawa melihat tanganku. Belum lagi Aziz protes tanganku mengenakan pewarna kuku.
"Kenapa tanganmu diwarnai tak rapi?"
"Bagaimana mau rapi... kalau saat kupakai di malam hari".
"Oh... begitu".
Tangannya semakin erat menggenggam tanganku. Dalam benakku, kukira setiap pertanyaannya hanyalah bahan observasi yang nanti dimasukan dalam tulisannya. Tapi segera Aziz berkata.
"Kali ini bukan observasi, tapi....!!!"
"Tapi apa Ziz?"
"Tapi aku mau melihat apa yang kau katakan sesuai gerak matamu atau tidak".
Aku protes pada Aziz.
"Memang ada observasi sampai ada yang begini?"
Ia berkata "Baru kamu adalah orang yang kuobservasi sampai masuk di dalam tempat kediamanku".
Hatiku mulai mengikuti detak-detak jantungnya. Seolah ingin kumasuki dalam-dalam dengan keadaan sadar. Biar kusentuh dengan lembut tanpa ada kata larangan. Hingga mampu kurasakan semua ketulusan yang diungkap. Tapi sayang, akulah perempuan labil yang sedang mencari jati diri menuju kedewasaan. Kuingin dalam masa remajaku bertemu lelaki yang setia menerima aku apa adanya.
Setidaknya berkenalan dengan Aziz. Perubahan pola pikirku mendekati kebanyakan orang yang bicara soal perubahan. Bukan hanya bicara tanpa ada perbuatan. Tapi pembicaraan dibenturkan dalam bilik-bilik perbuatan. Hingga ada kemenangan kecil tercapai membuat hari esok jadi milik bersama.
Satu jam telah lewat jadi bahan panjang saksi kematangan. Biar dunia pun ikut serta terlibat dalam bisingan-bisingan kendaraan yang lalu-lalang terdengar di kejauhan jalan raya. Jalanan yang mulai sepi mengajak para pengguna untuk pulang ke kediaman. Biar menyiapkan diri di esok pagi bangun menjalankan lagi rutinitas dengan biasanya.
Tepat di paragraf sepuluh sebagai penutup alkisah. Kujanjikan besok akan berlanjut mengintai cerita yang lebih indah. Keindahan yang mampu membuat hati tak bergetar, tapi membuat hati semakin dekat. Biar membara berjalan di atas kerikil-kerikil tajam yang mencoba menghadang di tengah jalan. Saat dulu kerikil tak mampu kulewati dengan keberanian, sekarang telah mudah kulewati. Berarti perubahan kecil sudah kuperoleh di tanggal dua puluh satu bulan Mei.
Makassar
Senin, 21 Mei 2018
By: Djik22
Komentar