Langsung ke konten utama

Tiga Belas Memberi Kode #6 (345)

#Part 06


Foto latar: Aslin Hasdi

Percaturan hidup harus disusun sedemikian rupa. Sehingga hitam putihnya hidup mampu diretas dengan cara yang baik; cara yang indah menawan hati. Biar sontak riaknya perjalanan hidup tak dinikmati dengan kepasrahan yang membabi buta. Sebab kepasrahan adalah salah satu penyerahan tanpa melawan. Apalagi memilih diam dirampas waktu membawa pergi. Setidaknya waktu dan hitungan menit pergi, mampu menitipkan seberkas kebaikan. Biar tetap jadi cerita yang membuat senyum menghapus duka.

Duka telah lama bersemayam di dalam hatiku. Hingga berperang dengan perasaan siapa yang akan keluar jadi pemenang. Bukan kemenangan peroleh piala. Tapi kemenangan menyirami keinginan yang tak bisa diatasi kalau hanya memendam. Karena memendam akan membuat korban luka di dalam edaran darah yang mengganggu corak pikiran. Hingga kebuntuan meretas masalah jadi kegundahan untuk sementara waktu.

Lantas kenapa bayang-bayang hitam masih melekat dalam otak suciku? Kenapa keabadian sosok sederhana belum menjelma di depan penungguan? Haruskah akau berlari mengejar bayangan yang telah lama pergi?

"Ah...kalau aku yang mengejar, maka pelarian akan membuat sengsara penat di sekujur tubuhku," keluhku dalam hati saat membaca tulisan puisi karyanya Fajar.

Fajar pernah menasihatiku dengan kelembutan saat duduk di depan Multimedia kampusku.

"Linn..."

"Iya, Jar. Ada apa?"

"Tahukah kamu seorang dikenang?"

Lama kuberpikir membalas pertanyaan Fajar. "Emmm...Aku tak begitu tahu secara detail."

"Lalu bagaimana secara singkat kau jabarkan?"

"Tapi jangan diolok ya Far...!!! Kalau Aku salah menjawab?"

"Oke Linn."

"Seseorang dikenang karena banyak hal yang membekas lewat cerita. Bukan hanya pada cerita, tapi orang akan tetap mengingat kalau ia menulis".

"Gila jawabanmu Linn. Jujur, kaulah perempuan pertama yang mampu menerawang pola pikirku untuk membalas pertanyaanku."

"Walah... Bohong kamu Jar". Sambil senyum tipis kucubit tangan kanannya Fajar.

Sambil mengemas tasnya. Fajar berkata dengan kelembutan suara. "Linn... Siapa pun orang, pasti meninggalkan cerita. Tapi tak semua orang akan diingat oleh sejarah. Sebab hanya sebatas cerita orang cepat melupakan. Tapi kalau ia menulis, maka sejarah pun ikut menghormati segala usahanya yang disulam dalam kata-kata. Kuncinya adalah menulis Linn. Karena menulis adalah melawan; menulis adalah memberi pengabdian untuk bangsa dan tanah air."

Tapi kenapa yang kuingat hanyalah kenangan? Dimana harus kumengadu bila hatiku lagi diganggu oleh kenangan? Bagaimana caranya menghapus segala kenangan? Ternyata tak mudah melupakan seseorang kalau ia pernah berbuat baik. Apa lagi kebaikan dibarengi dengan ikhlas tanpa mengharapkan pujian dan ucapan terima kasih.

Walau dihitung dengan penambahan, maka belum sampai sepuluh kali kuucapkan kata 'terima kasih' kepada Fajar. Tapi kalau kuingat, maka sekitar enam kali. Yang terakhir kuucapkan di tepi pantai saat ia selamatkan duri menusuki kakiku. Kala itu, ia bersama rombongannya lewat membawa beberapa buku untuk didiskusikan.

Mengingat Fajar tak bisa dipisahkan dari buku. Sebab ia adalah lelaki yang suka koleksi buku. Waktunya banyak dihabiskan untuk membaca. Bukan hanya membaca, tapi diskusi sebagai proses mempertajam ingatan sebagai makanan dalam kehidupannya. Karena prinsip hidupnya begitu ulet dan tekun. Ia menggapai dunia lewat membaca; menerobos kegelapan jadi penerangan lewat usaha nyata. Bukan hanya bicara memaniskan kata-kata. Tapi berbicara dengan hati, lalu menindaklanjuti dengan pengabdian tanpa pamrih.

Bagaimana aku menemui Fajar kalau perginya tak kembali? Marahkah Fajar bila cinta mendahului usaha? Susah-susah gambang menebak karakret Fajar. Andaikan gampang, maka kujagai ia walau hanya dalam kesendirian. Tapi ialah lelaki penyejuk jiwa yang pernah kutemui. Biar perginya lama untuk kembali, suntikan nasihatnya kujadikan renungan dan refleksi untuk meneropong garis-garis waktu.

Ketika garis waktu sudah diletakan, maka tak ada satu pun orang dapat memprotes menghentikan waktu. Akan berbeda bila suara-suara protes dilayangkan di jalanan; di mimbar-mimbar bebas mengutuk kebijakan yang tak pro terhadap kepentingan banyak orang. Sebab garis waktu adalah takdir Tuhan yang tak bisa diganggu gugat oleh manusia yang mulai lalai pada perintah-Nya.

Suara sumbang dari penjuru barat membuatku menebak ada perwakilan di lingkaran bersyarat. Ketika kumenoleh, ternyata ada lima orang lelaki sementara membahas tentang pola kehidupan menggiring angkatan muda yang mulai lupa dengan perannya. Sempat kumendengar salah seorang bertanya.

"Apakah pemuda sekarang pura-pura buta dan tuli?"

Lalu satu orang memberi penjelasan secara singkat. "Bukan mereka pura-pura tuli, tetapi strategi taktik yang kita mainkan terlalu tinggi melampui kebiasaan mereka. Sehingga apa yang kita katakan dianggap sebuah keanehan."

Lalu keadaan mulai hening kembali. Suara-suara mereka mulai dipelankan. Karena satu orang melanjutkan bacaanya. Ternyata kelima orang tersebut sementara membedah sebuah buku. Entah buku apa yang mereka diskusikan. Tetapi ketika kumelihat buku tersebut warna sampulnya merah. Agak buram membaca judulnya. Karena jarakku agak jauh dengan tempat diskusinya mereka.

Ternyata keadaan mampu merubah sebuah pola pikir. Bagaimana tidak, aku yang dulu sebagai mahasiswi yang hanya manghabiskan waktu di dalam kampus. Tetapi kondisi lapangan mengajarkanku tentang peran mahasiswa bukan hanya di dalam meja-meja belajar; bukan hanya mendengar ceramah dosen. Tapi kebaikan yang disampaikan harus diwariskan kepada orang lain. Biar peran serta berdiri di kebaikan mampu mengahapus sedikit keburukan.

Walau Fajar tak kunjung tiba di penantian hati. Setidaknya ia wariskan api semangat untuk kuterjemahkan kehidupan yang berwarna hitam dan putih; bercorak baik dan buruk. Semoga ajaran dan siraman baik Fajar tetap jadi penerang dari pagi hingga malam. Biar diriku terlatih jadi perempuan yang tak gampang menyerah.

Melatih diri dari benturan keadaan adalah polemik hidup yang harus dilalui. Walau datangnya tak ada menyapa, tapi tali kehidupan tetap berlanjut. Biar sebagian tali ada yang tampak putus, maka segeralah sambung dengan kerelaan. Lalu rajutlah ulang dalam bingkai yang lebih indah. Baik indah di pandang mata sendiri, mau pun indah dikagumi oleh orang lain.

Hingga tangan Tuhan digapai oleh perbuatan baik hamba-Nya, maka patut sesama kaum muda; kawan dan lawan akan sampai pada permintaan terakhir. Yaitu meminta pertolongan Sang Ilahi untuk memudahkan segala urusan.

Yang tuli; yang buta; yang bernyawa telah diciptakan berpasang-pasangan. Tapi akulah perempuan yang sedang mencari pasangan. Menerawang ke segala arah dengan cara tak melanggar sopan santun. Walau dulu kesempatan itu sempat datang, tapi tak kusadari dengan kepekaan. Hingga ketika tiada, baru aku menyadari begitu piluh sebuah kehilangan. Yakinku dari lubuk hati yang paling dalam.

"Apabila yang pernah datang adalah tak main-main, maka biar perginya sebuah sosok yang dirindukan selalu memiliki getaran yang sama. Getaran yang aku rasakan mewakili perasaan sang Fajar."

Kaulah putra Sang Fajar sesuai namamu. Kumenunggumu di tempat ini tanpa beralih ke lain hati. Hingga purnama menjemput membawamu pulang dalam keadaan sehat tanpa kurang satu pun. Sebab aku merindukan dirimu mengalahkan ukiran puisimu dalam kata-kata; aku menanti dirimu tak bisa digantikan dengan rima berirama dalam paragraf cerpenmu. Aku ingin hadirmu dengan senyum sederhana; dengan cerita indah tentang segala kehidupan.


Makassar
Minggu, 20 Mei 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh