Duka telah lama bersemayam di dalam hatiku. Hingga berperang dengan perasaan siapa yang akan keluar jadi pemenang. Bukan kemenangan peroleh piala. Tapi kemenangan menyirami keinginan yang tak bisa diatasi kalau hanya memendam. Karena memendam akan membuat korban luka di dalam edaran darah yang mengganggu corak pikiran. Hingga kebuntuan meretas masalah jadi kegundahan untuk sementara waktu.
Lantas kenapa bayang-bayang hitam masih melekat dalam otak suciku? Kenapa keabadian sosok sederhana belum menjelma di depan penungguan? Haruskah akau berlari mengejar bayangan yang telah lama pergi?
"Ah...kalau aku yang mengejar, maka pelarian akan membuat sengsara penat di sekujur tubuhku," keluhku dalam hati saat membaca tulisan puisi karyanya Fajar.
Fajar pernah menasihatiku dengan kelembutan saat duduk di depan Multimedia kampusku.
"Linn..."
"Iya, Jar. Ada apa?"
"Tahukah kamu seorang dikenang?"
Lama kuberpikir membalas pertanyaan Fajar. "Emmm...Aku tak begitu tahu secara detail."
"Lalu bagaimana secara singkat kau jabarkan?"
"Tapi jangan diolok ya Far...!!! Kalau Aku salah menjawab?"
"Oke Linn."
"Seseorang dikenang karena banyak hal yang membekas lewat cerita. Bukan hanya pada cerita, tapi orang akan tetap mengingat kalau ia menulis".
"Gila jawabanmu Linn. Jujur, kaulah perempuan pertama yang mampu menerawang pola pikirku untuk membalas pertanyaanku."
"Walah... Bohong kamu Jar". Sambil senyum tipis kucubit tangan kanannya Fajar.
Sambil mengemas tasnya. Fajar berkata dengan kelembutan suara. "Linn... Siapa pun orang, pasti meninggalkan cerita. Tapi tak semua orang akan diingat oleh sejarah. Sebab hanya sebatas cerita orang cepat melupakan. Tapi kalau ia menulis, maka sejarah pun ikut menghormati segala usahanya yang disulam dalam kata-kata. Kuncinya adalah menulis Linn. Karena menulis adalah melawan; menulis adalah memberi pengabdian untuk bangsa dan tanah air."
Tapi kenapa yang kuingat hanyalah kenangan? Dimana harus kumengadu bila hatiku lagi diganggu oleh kenangan? Bagaimana caranya menghapus segala kenangan? Ternyata tak mudah melupakan seseorang kalau ia pernah berbuat baik. Apa lagi kebaikan dibarengi dengan ikhlas tanpa mengharapkan pujian dan ucapan terima kasih.
Walau dihitung dengan penambahan, maka belum sampai sepuluh kali kuucapkan kata 'terima kasih' kepada Fajar. Tapi kalau kuingat, maka sekitar enam kali. Yang terakhir kuucapkan di tepi pantai saat ia selamatkan duri menusuki kakiku. Kala itu, ia bersama rombongannya lewat membawa beberapa buku untuk didiskusikan.
Mengingat Fajar tak bisa dipisahkan dari buku. Sebab ia adalah lelaki yang suka koleksi buku. Waktunya banyak dihabiskan untuk membaca. Bukan hanya membaca, tapi diskusi sebagai proses mempertajam ingatan sebagai makanan dalam kehidupannya. Karena prinsip hidupnya begitu ulet dan tekun. Ia menggapai dunia lewat membaca; menerobos kegelapan jadi penerangan lewat usaha nyata. Bukan hanya bicara memaniskan kata-kata. Tapi berbicara dengan hati, lalu menindaklanjuti dengan pengabdian tanpa pamrih.
Bagaimana aku menemui Fajar kalau perginya tak kembali? Marahkah Fajar bila cinta mendahului usaha? Susah-susah gambang menebak karakret Fajar. Andaikan gampang, maka kujagai ia walau hanya dalam kesendirian. Tapi ialah lelaki penyejuk jiwa yang pernah kutemui. Biar perginya lama untuk kembali, suntikan nasihatnya kujadikan renungan dan refleksi untuk meneropong garis-garis waktu.
Ketika garis waktu sudah diletakan, maka tak ada satu pun orang dapat memprotes menghentikan waktu. Akan berbeda bila suara-suara protes dilayangkan di jalanan; di mimbar-mimbar bebas mengutuk kebijakan yang tak pro terhadap kepentingan banyak orang. Sebab garis waktu adalah takdir Tuhan yang tak bisa diganggu gugat oleh manusia yang mulai lalai pada perintah-Nya.
Suara sumbang dari penjuru barat membuatku menebak ada perwakilan di lingkaran bersyarat. Ketika kumenoleh, ternyata ada lima orang lelaki sementara membahas tentang pola kehidupan menggiring angkatan muda yang mulai lupa dengan perannya. Sempat kumendengar salah seorang bertanya.
"Apakah pemuda sekarang pura-pura buta dan tuli?"
Lalu satu orang memberi penjelasan secara singkat. "Bukan mereka pura-pura tuli, tetapi strategi taktik yang kita mainkan terlalu tinggi melampui kebiasaan mereka. Sehingga apa yang kita katakan dianggap sebuah keanehan."
Lalu keadaan mulai hening kembali. Suara-suara mereka mulai dipelankan. Karena satu orang melanjutkan bacaanya. Ternyata kelima orang tersebut sementara membedah sebuah buku. Entah buku apa yang mereka diskusikan. Tetapi ketika kumelihat buku tersebut warna sampulnya merah. Agak buram membaca judulnya. Karena jarakku agak jauh dengan tempat diskusinya mereka.
Ternyata keadaan mampu merubah sebuah pola pikir. Bagaimana tidak, aku yang dulu sebagai mahasiswi yang hanya manghabiskan waktu di dalam kampus. Tetapi kondisi lapangan mengajarkanku tentang peran mahasiswa bukan hanya di dalam meja-meja belajar; bukan hanya mendengar ceramah dosen. Tapi kebaikan yang disampaikan harus diwariskan kepada orang lain. Biar peran serta berdiri di kebaikan mampu mengahapus sedikit keburukan.
Walau Fajar tak kunjung tiba di penantian hati. Setidaknya ia wariskan api semangat untuk kuterjemahkan kehidupan yang berwarna hitam dan putih; bercorak baik dan buruk. Semoga ajaran dan siraman baik Fajar tetap jadi penerang dari pagi hingga malam. Biar diriku terlatih jadi perempuan yang tak gampang menyerah.
Melatih diri dari benturan keadaan adalah polemik hidup yang harus dilalui. Walau datangnya tak ada menyapa, tapi tali kehidupan tetap berlanjut. Biar sebagian tali ada yang tampak putus, maka segeralah sambung dengan kerelaan. Lalu rajutlah ulang dalam bingkai yang lebih indah. Baik indah di pandang mata sendiri, mau pun indah dikagumi oleh orang lain.
Hingga tangan Tuhan digapai oleh perbuatan baik hamba-Nya, maka patut sesama kaum muda; kawan dan lawan akan sampai pada permintaan terakhir. Yaitu meminta pertolongan Sang Ilahi untuk memudahkan segala urusan.
Yang tuli; yang buta; yang bernyawa telah diciptakan berpasang-pasangan. Tapi akulah perempuan yang sedang mencari pasangan. Menerawang ke segala arah dengan cara tak melanggar sopan santun. Walau dulu kesempatan itu sempat datang, tapi tak kusadari dengan kepekaan. Hingga ketika tiada, baru aku menyadari begitu piluh sebuah kehilangan. Yakinku dari lubuk hati yang paling dalam.
"Apabila yang pernah datang adalah tak main-main, maka biar perginya sebuah sosok yang dirindukan selalu memiliki getaran yang sama. Getaran yang aku rasakan mewakili perasaan sang Fajar."
Kaulah putra Sang Fajar sesuai namamu. Kumenunggumu di tempat ini tanpa beralih ke lain hati. Hingga purnama menjemput membawamu pulang dalam keadaan sehat tanpa kurang satu pun. Sebab aku merindukan dirimu mengalahkan ukiran puisimu dalam kata-kata; aku menanti dirimu tak bisa digantikan dengan rima berirama dalam paragraf cerpenmu. Aku ingin hadirmu dengan senyum sederhana; dengan cerita indah tentang segala kehidupan.
Makassar
Minggu, 20 Mei 2018
By: Djik22
Komentar