Setidaknya sepuluh kali telah melewati satu angka sebagai tanda sukamu pada angka sembilan. Angka ganjil pertama setelah berselisih dengan sepuluh, sebelas, dan dua belas hingga menuju angka tiga belas sebagai kesukaan angka terakhir. Adanya tiga belas merupakan deretan sederhana. Hingga kepercayaan akan turun sebuah keajaiban untuk penyatuan ganjil dan genap. Biar hidup dipandang dari dua sisi. Yaitu, sisi baik/ buruk dan sisi genap/ ganjil.
Hingga di bagian ketiga. Pelataran rumahku masih saja belum berpenghuni. Hanya kesendirian yang berteman sepi; berteman gundah masih bertahan menguasai. Sebab kesendirian adalah kenyamanan untuk melawan arus pengaruh. Memberi dampak pada mala petaka sampai lupakan diri akan kebaikan. Ini bukan pegangan prinsip sok suci, tapi sebagai hamba ciptaan Tuhan. Setidaknya berpegang teguh pada perintah-Nya dan sedikit perlahan berusaha menjaga apa yang menjadi larangan-Nya.
Selama hijab masih melekat di kepala. Maka dengan keteguhan hati menjaga segala kesucian; menjaga segala macam tabu; menghindari segala bentuk dosa. Baik itu dosa kecil maupun dosa besar. Benar memang kalau bicara dosa sebagai tanggungan pribadi. Tetapi ketika tanggung jawab pribadi juga akan dimintai keterangan, maka aku ingin seperti jam tangan yang kuletakan di tangan kiriku. Yang melingkar dengan erat seperti bola bumi berputar gantikan siang dan malam.
Siang adalah suatu pergantian dan ruang untuk menjalankan segala aktivitas. Rasanya ingin cepat pergi panas getirnya siang, biar tak membakar kulit putihku yang kujaga dengan perawatan. Wajar sebagai perempuan aku harus merawat diri, tapi bukan mengeluarkan banyak rupiah menambah kecantikan. Kucukupkan keindahan alami dengan basuhan air dan timangan merdu membaca kitab suci.
Karena membaca adalah salah satu langkah berkelana ke belahan dunia. Sebab kunci dari penjelajahan dunia adalah buku. Ia merupakan satu rahasia umum yang mampu mendongkrak kaumku harus habiskan waktu bergelut dalam dunia romansa pengetahuan. Baik itu membaca, menulis, menyimak, dan membahas ulang apa yang telah diperoleh.
Bila tiba keheningan datang. Maka tubuhku selalu lemas seolah tak pernah makan beberapa hari. Tapi ini berbeda, aku tahu membedakan rasa lapar dan rasa aneh karena perasaan. Tapi bagaimana perasaan itu muncul ketika hatiku kututup rapat? Atau ada sosok samar-samar lagi yang menyulam kata-kata? Semoga saja perasaanku segera pergi berlalu. Karena berat melawan perasaan dan menyembunyikan kebenaran untuk diakui. Apalagi ini tentang romantika bernuansa ke enam belas kalau aku mengiyakan untuk dimulai.
Muncur pertanyaan dari Fajar.
"Linn...!!!"
"Iya..."
"Bagaimana tanggapanmu tentang tulisan yang dikirim?"
"Tulisan...!" tanyaku heran.
"Iya... Tulisan tentang angka tiga belas."
Aku menarik napas yang dalam dan mencari kata-kata yang tepat.
"Aku hargai sekali karyanya orang sampai tak sanggup untuk memberi kritik".
Protes Fajar.
"Waduh. Bagaimana bisa suatu karya dihargai tanpa kritik? Setidaknya harus ada kritik dan saran kepada sang penulisnya. Supaya karyanya tetap menuju perbaikan dan kesempurnaan."
Aku tetap tunduk dan malu-malu. Sepertinya lambungku diserang oleh penyakit yang membutuhkan pengobatan segera. Tetapi ia adalah lelaki yang mampu menguasai diriku dan membuatku terkagum-kagum. Bagaimana tidak, setiap kalimat yang keluar dari bibirnya mampu menenangi keadaanku. Apalagi nada-nadanya seperti gelombang air laut yang tak bisa lagi pasang surut.
Tetapi apakah niat Fajar hanya untuk mendekatiku? Atau ada maksud yang tersembunyi dengan membawa kepentingan berselubung? Inilah pertanyaan yang menjadi teka-teki. Setidaknya menjaga diri adalah kunci. Aku harus waspada dan mencari tahu. Siapa sebenarnya ini lelaki. Apakah dia diturunkan dari langit sebagai pendamping hidup atau hanya sebagai teman bermain?
Kami berdua tetap dalam keadaan diam-diam. Aku mencari kesibukan dengan bermain dedaunan yang jatuh karena angin puting beliung. Sedangkan Fajar sementara menulis cerpen di android Samsung miliknya. Kemudian Fajar mulai kuasai diriku dengan bertanya lagi.
"Bagaimana membedakan sesuatu yang baik dan buruk kalau keduanya demi kemanusiaan?"
Gila ini orang. Tak habis-habisnya bertanya. Dikiranya aku adalah mesin jawaban. Sehingga dengan suka hati melayangkan pertanyaan.
"Em...em... Sebenarnya tergantung niat Jar. Selagi niat dan tujuaannya demi kebaikan".
Kumenatap Fajar, ia hanya mengangguk-nganguk dan sambil menatapku dengan tatapan yang baru pertama kurasakan.
Sepertinya kekagumanku telah berubah. Rasa kagum ini telah menjadi benih-benih yang sedang tumbuh dengan suburnya. Seolah ada sebuah taman berbobot yang segera menguasai halaman hatiku. Tapi tetap saja aku bersembunyi dengan bungkusan kata yang menghadirkan banyak tebakan. Karena aku tak ingin cepat mendapatkan cinta. Karena sesuatu yang didapatkan dengan mudah, maka ia akan cepat pergi dan meninggalkan tanpa berpikir seribu kali untuk bertahan.
Rasanya seperti dua negara yang sedang berperang. Padahal, secara manusiawi. Kami sama-sama saudara sebagai ciptaan Tuhan. Tetapi lantaran perasaan, maka tanda bahaya perang akan segera dimulai. Tak ada yang takut tentang perang cinta. Apalagi banyak kecocokan yang sedang mengorek batin lalu berbisik perlahan. Hingga aku mulai terjebak dengan prinsipku sendiri yang memilih jalan sendiri (jomblo).
Rupanya lelaki memiliki seribu satu macam cara untuk menaklukan seorang perempuan. Tapi aku tak mudah terima tanpa sebuah pertimbangan. Biar hati kecilku mengakui ada ketertarikan pada sosoknya. Menimbang adalah cara sederhana untuk bertahan menemukan jawaban pasti. Sebelum sepenuhnya menerima ia sebagai pendamping sementara atau pun kekal menuju pembaringan.
Benar memang, tak ada laki-laki yang kasar. Semuanya tergantung bagaimana komunikasi dilancarkan. Inti komunikasi mampu menghindari trauma masa lalu. Baik itu perlakuan dari sang mantan, mau pun perlakuan dari manusia yang namanya lelaki. Karena trauma dari lelaki pernah lama berkuasa sampai dengan hari ini.
Walau pun tak ada yang hebat tentang cinta. Ia akan hebat ketika tiba waktunya. Biar waktunya telah tiba, tapi aku harus mengakui, kalau cintaku jatuh barusan pada tulisannya. Karena Fajar adalah seorang penulis muda yang bergelut di dunia kepenulisan. Tulisannya mampu meneteskan air mata; menenangkan pikiran; menghidupkan yang lemah; serta mendekatkan yang jauh menjadi rapat. Sampai kemarin dia mengejekku dengan pertanyaan konyol.
"Cieee...."
"Kayanya ada yang lagi jatuh cinta ni."
Dengan tegas kuberikan jawaban. "Jar... benar apa katamu, tapi aku jatuh cinta pada karyamu; pada semua tulisanmu. Untuk selebihnya, aku harus batasi. Karena butuh waktu yang panjang untuk kita sama-sama terbuka."
Derasnya angin puting beliung, ternyata sebagai tanda alam. Karena bertepatan dengan sebuah kebohongan yang kulayangkan lewat angin suara. Padahal angin ribut masih belum pergi. Angin itu masih sering kurasakan setiap hembusan napas. Baik di pagi, siang, sore, dan malam hari.
Makassar
Senin, 7 Mei 2018
By: Djik22
Komentar