Kenapa aku dibuat semeranah ini? Apakah pintaku pada waktu tak didengar? Ataukah angin tak lagi membisikan kabar? Biar kurajut dalam hirupan udara pagi menuju malam. Akan tetapi, sama saja dengan udara penyakit yang menambah kesakitan. Hingga rasa ini tercampur baur tak terlihat dengan mata telanjang. Apalagi kupaksakan diri untuk terus tersenyum kepada siapa pun yang lewat; siapa pun yang menatap; serta para sahabat yang menegur.
Duniaku semakin gelap walau aku berjalan di sebuah bulan; di sebuah peradaban suci sebagai penghadapan diri kepada Sang Pemilik Jagat. Tapi tetap tak bisa kubendung mengaung terdengar ke telinga si Fajar. Oh... kau lelaki yang hanya memberi kenyamanan, tapi kau sengaja pergi tanpa pamit; tanpa sebuah pesan sebagai harapan mengisi kekosongan.
Bila harapan hanya sebatas janji, maka aku tak ingin sebuah janji dan ikrar yang berujung pengkhianatan. Sudah cukup kuterima penderitaan bercampur baur tanpa melodi; tanpa nyanyian penghibur hati. Seharusnya keadaan gundaku kularutkan meminta pertolongan Tuhan. Biar puncak istimewa keterlibatan dari yang tak mungkin menuju mungkin. Dari yang semu ke yang nyata.
Saat tanganku tengadah menghadap Tuhan, ketenangan mulai kuperoleh dengan basuhan dan lantunan doa. Yang kupinta dengan keikhlasan dan ketabahan hati yang dalam. Baik itu kedalaman yang tak berukur, mau pun kedalaman yang bisa diukur dalam lubang-lubang fatamorgana penjelmaan. Semoga secapatnya lubang hina mampu kututup; lubang keji yang kulengkapi dengan bacaan-bacaan tiada henti.
Ketika ketenangan mulai kuraih, pemikiran mulai tak bisa diajak kompromi. Hingga kuingat lagi misteri cinta tak terjawab. Ingatan yang mengumbar cinta lewat 'facebook', tapi hanya dibaca.
"Jar...!!! Kenapa perlalukan diriku dengan cintamu?"
"Apakah aku yang salah berbohong di awal perkenalan?"
Jika dua pertanyaan dasar itu terdengar, maka sebenarnya pengeringanmu pada diriku tersiram dengan jawaban pasti. Tapi pertanyaanku hanya terdengar oleh angin malam membawa pergi lalu hilang. Bila angin pun berpihak, maka keadaanku tak terjerat sepi berkepanjangan. Hingga melengserkan diri ke sebuah jalanan tak bertepi. Lalu tak kutahu jalan pulang ke serambi hatimu.
Ada sebuah sosok yang lewat di tempat diamku. Kuteliti dengan gerak tubuh penasaran.
"Siapa gerangan lelaki yang lewat?"
"Kenapa ada kesamaan antara dia dan si Fajar?"
Tapi kupanggil dengan nada datar.
"Hei...!!! Siapa kamu?"
Lalu sosok itu mendekati ke arah sumber suara.
"Iya... akulah pemilik tempat ini. Seharusnya aku yang bertanya siapa dirimu. Sampai masuk ke daerah kekuasaanku."
Sambil menyodorkan tangannya untuk memangku diriku berdiri. Ia kutatap tajam di dua bola matanya dalam gelap gulitanya malam berteman kicauan burung. Lalu ia bertanya
"Di mana tempat kediamanmu? Hingga tanpa izin memasuki daerah perbatasan ini?"
Kujawab dengan nada ketakutan. "Tempat kediamanku berjarak dua ribu dua puluh meter dari tempat ini."
Kemudian ia berbisik ke arah pendengaranku. "Pelankan suaramu, sebab ini tempat larangan bagi pengunjung perempuan."
Tanyaku heran. "Memangnya ini tempat apaan? Bukankah setiap orang bebas berpijak di atas bumi ini? Yang penting ia tetap menjaga sopan santun tanpa merusak yang ada."
Rupanya tempat berkunjung pun membatasi lelaki dan perempuan. Seolah semua aturan dibuat hanya menguntungkan para lelaki. Padahal, perempuan juga butuh perlindungan. Akan tetapi, penerapan dari pada sebuah aturan malah tak berjalan sesuai harapan. Maka yang beruntung adalah mereka yang dilahirkan sebagai lelaki; yang dijuluki sebagai sosok tangguh; diberikan predikat sebagai kepala rumah tangga.
Sampai teka-teki malah tersusun di dalam benakku belum terbuka semua. Sambil kurapikan letak berdiriku. Tiba-tiba lelaki di sampingku berkata.
"Benar apa yang dikatakan tentang setiap manusia bebas berpijak di atas bumi ini".
"Lalu apa yang menjadi masalah?" tanyaku padanya.
Malah ia mendiamkan diri sekitar lima menit. Sambil menarik napas panjang ia berkata. "Tak ada yang harus dipermasalahkan. Kalau teka-teki dalam pikiranmu belum semuanya terjawab, maka kekuasaan gunda masih setia di pihakmu."
Sebenarnya siapa gerangan lelaki misterius ini? Kenapa ia begitu bijak dan seolah puitis dalam memilih diksi? Apakah ia pernah bertemu dan tahu tentang kepribadianku? Kalau memang ia tahu, maka tak mungkin membuat diriku semakin penasaran. Kuberanikan diri di lingkaran aku dan dia.
"Siapa namamu?"
"Perkenalkan namaku Fajrin. Sering disapa dengan Rin."
Tapi tak kugubris perkataannya dalam percakapan. Sebab insial nama depannya mampu kutebak kalau Rin sementara merahasiakan nama aslinya.
Bagaimana tidak? Banyak kesamaan antara Fajrin dan Fajar. Mulai dari cara bertutur; pemilihan kata sampai cara menenangkan seorang perempuan dalam keadaan ketakutan. Apalagi malam semakin larut yang tak kutemukan bintang-gemintang di langit-langit bulat. Bintang yang sebagai lambang segi lima berujung selaras. Malam ini benar-benar tak bersahabat dengan detak-detak jiwa dan kegelisan hati.
Padahal kuharapkan rembulan datang bersama dengan sebuah jawaban yang tak dibalut dengan kebohongan. Karena kebohongan adalah sebuah hal yang tak baik. Apabila kebohongan tak dilarang, maka dengan mudah setiap manusia berucap tanpa ada kata ketakutan. Ketakuatan karena dihukum, mau pun ketakutan karena mendapatkan dosa. Sebab hidup adalah sebuah pernapasan sementara untuk menghirup dan menabung bekal menuju arah hidup yang kekal. Yaitu hidup yang telah digariskan oleh Tuhan melalui kitab suci.
Seharusnya sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna, dalam keadaan apa pun harus menimbang segala yang akan datang. Baik itu ulangan masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Tapi banyak yang tak lelah mensyukuri atas pristiwa-pristiwa yang datang menghampiri. Kalau pun yang datang adalah kebaikan, maka harus diterima dengan lapang dada. Tapi ketika yang tiba adalah keburukan atau pun kejahatan, maka diambil hikmah atas pristiwa yang menimpah.
Ketika tepat pukul sepuluh dua puluh tujuh malam Jumat, lekas kupamitkan diri dari tempat nyasar yang dilarang oleh Fajrin. Kusapu muka karena sedikit debu yang menempel, maka hati kecilku mengajak untuk bersemayam dalam perlindungan rumah.
"Rin...!!!"
"Iya Linn. Ada apa?"
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kelak di lain waktu akan ada kebaikan menimpahmu."
"Memangnya Linn mampu menerjemahkan masa yang akan datang?"
"Bila yang kuterjemahkan adalah kesalahan Rin, maka gantikanlah caramu untuk menilai. Biar tak ada kesalahan yang datang berkali-kali menimpah dirimu."
Kusodorkan tanganku yang sedikit kotor bekas debu tempatku jatuh.
"Sampai ketemu di lain waktu Rin. Setidaknya pertolonganmu mampu membuatku kuat".
Dengan kaget balasan bahasa Fajrin. "Tak ada lagi pertemuan di lain waktu."
"Kenapa bisa?"
Jawab Fajrin. "Karena ketika waktu menemukan kita berdua, maka akan kugantikan lagi siapa diriku yang sebenarnya."
"Siapa kamu sebenarnya Rin?"
"Akulah Fajrin."
"Pulanglah Linn. Malam telah larut. Atau haruskah kuantarkan menuju rumah surgamu?
"Biarkan kupulang sendiri. Tapi hari ini Rin. Dirimu telah menitipkan noda hitam dalam bentuk bahasa. Karena tertuang jelas dalam kata-kata yang terbata."
Ketika kaki melangkah pulang tanpa memberi salam. Terdengar suara panggilan dari arah belakang pundakku.
"Linn..!!!"
Kumenoleh perlahan, sempat terlihat Rin mengangkat tangannya.
"Kenapa Rin?"
"Tak ada apa-apa Linn. Hati-hatilah dijalan. Sebab kuberanikan diri untuk mengantar. Tapi penolakan niat dilimpahkan untuk diriku."
Jantungku bergetar dengan laju mengalahkan langkah kakiku yang sempat terhenti. Tapi kepercayaan diri sudah dimenangkan oleh keberanian atas percakapanku dengan Fajrin. Maka jalan panjang masih setia berdamai untuk menemani malam-malam panjangku. Setidaknya bertahan adalah sebuah pilihan hidup yang mulai kuamalkan secara perlahan. Biar kutumpuk akan menjadi kenangan indah di hari tua.
Gila memang ini hidup. Sebuah kejujuran akan sulit diraih, kalau tak ada pancingan untuk membuka diri. Apalagi keterbukaan sudah ditancapkan dengan berani, tapi seolah persembunyian masih terus berlaku kaku. Hingga tak mampu kumembedakan antara Fajar dan Fajrin.
Fajarnya pergi tanpa kembali dengan balasan kata-kata terakhir. Ia adalah lelaki yang kukenali dari pertemuan pada dialog idologis di warkop Pa'de. Lalu kuakui kejujuran cinta dalam bahasa chatt. Tapi tak mudah hatinya luluh dengan ungkapan-ungkapan kejujuran. Entah apa yang ia cari sebagai seorang lelaki pejuang.
Berbeda dengan Fajrin. Lelaki misterius yang kutemui di tempat larangan. Kemudian kumaknai jelmaan dirinya sebagai sosok Fajar yang merahasiakan namanya. Jika benar Fajrin adalah Fajar, maka romantika masih terus berlanjut; percaturan hidup masih harus dimenangkan oleh pion dan raja-raja kecil dan kotak hitam dan putih.
Makassar
Kamis, 17 Mei 2018
By: Djik22
Komentar