Langsung ke konten utama

Tiga Belas Memberi Kode #5 (335)

#Part 05

Foto latar: Aslin Hasdi

Ketika kehidupanku terasa kosong dan hampa, maka arah pancarian jalanku terkandas dalam sebuah mimpi yang tak tergapai. Lantaran pertanyaan membutuhkan jawaban, tapi kali ini menunggu jawaban sebagai hitungan waktu menuju hari kesukaanku begitu lamban.

Kenapa aku dibuat semeranah ini? Apakah pintaku pada waktu tak didengar? Ataukah angin tak lagi membisikan kabar? Biar kurajut dalam hirupan udara pagi menuju malam. Akan tetapi, sama saja dengan udara penyakit yang menambah kesakitan. Hingga rasa ini tercampur baur tak terlihat dengan mata telanjang. Apalagi kupaksakan diri untuk terus tersenyum kepada siapa pun yang lewat; siapa pun yang menatap; serta para sahabat yang menegur.

Duniaku semakin gelap walau aku berjalan di sebuah bulan; di sebuah peradaban suci sebagai penghadapan diri kepada Sang Pemilik Jagat. Tapi tetap tak bisa kubendung mengaung terdengar ke telinga si Fajar. Oh... kau lelaki yang hanya memberi kenyamanan, tapi kau sengaja pergi tanpa pamit; tanpa sebuah pesan sebagai harapan mengisi kekosongan.

Bila harapan hanya sebatas janji, maka aku tak ingin sebuah janji dan ikrar yang berujung pengkhianatan. Sudah cukup kuterima penderitaan bercampur baur tanpa melodi; tanpa nyanyian penghibur hati. Seharusnya keadaan gundaku kularutkan meminta pertolongan Tuhan. Biar puncak istimewa keterlibatan dari yang tak mungkin menuju mungkin. Dari yang semu ke yang nyata.

Saat tanganku tengadah menghadap Tuhan, ketenangan mulai kuperoleh dengan basuhan dan lantunan doa. Yang kupinta dengan keikhlasan dan ketabahan hati yang dalam. Baik itu kedalaman yang tak berukur, mau pun kedalaman yang bisa diukur dalam lubang-lubang fatamorgana penjelmaan. Semoga secapatnya lubang hina mampu kututup; lubang keji yang kulengkapi dengan bacaan-bacaan tiada henti.

Ketika ketenangan mulai kuraih, pemikiran mulai tak bisa diajak kompromi. Hingga kuingat lagi misteri cinta tak terjawab. Ingatan yang mengumbar cinta lewat 'facebook', tapi hanya dibaca.

"Jar...!!! Kenapa perlalukan diriku dengan cintamu?"

"Apakah aku yang salah berbohong di awal perkenalan?"

Jika dua pertanyaan dasar itu terdengar, maka sebenarnya pengeringanmu pada diriku tersiram dengan jawaban pasti. Tapi pertanyaanku hanya terdengar oleh angin malam membawa pergi lalu hilang. Bila angin pun berpihak, maka keadaanku tak terjerat sepi berkepanjangan. Hingga melengserkan diri ke sebuah jalanan tak bertepi. Lalu tak kutahu jalan pulang ke serambi hatimu.

Ada sebuah sosok yang lewat di tempat diamku. Kuteliti dengan gerak tubuh penasaran.

"Siapa gerangan lelaki yang lewat?"

"Kenapa ada kesamaan antara dia dan si Fajar?"

Tapi kupanggil dengan nada datar.

"Hei...!!! Siapa kamu?"

Lalu sosok itu mendekati ke arah sumber suara.

"Iya... akulah pemilik tempat ini. Seharusnya aku yang bertanya siapa dirimu. Sampai masuk ke daerah kekuasaanku."

Sambil menyodorkan tangannya untuk memangku diriku berdiri. Ia kutatap tajam di dua bola matanya dalam gelap gulitanya malam berteman kicauan burung. Lalu ia bertanya

"Di mana tempat kediamanmu? Hingga tanpa izin memasuki daerah perbatasan ini?"

Kujawab dengan nada ketakutan. "Tempat kediamanku berjarak dua ribu dua puluh meter dari tempat ini."

Kemudian ia berbisik ke arah pendengaranku. "Pelankan suaramu, sebab ini tempat larangan bagi pengunjung perempuan."

Tanyaku heran. "Memangnya ini tempat apaan? Bukankah setiap orang bebas berpijak di atas bumi ini? Yang penting ia tetap menjaga sopan santun tanpa merusak yang ada."

Rupanya tempat berkunjung pun membatasi lelaki dan perempuan. Seolah semua aturan dibuat hanya menguntungkan para lelaki. Padahal, perempuan juga butuh perlindungan. Akan tetapi, penerapan dari pada sebuah aturan malah tak berjalan sesuai harapan. Maka yang beruntung adalah mereka yang dilahirkan sebagai lelaki; yang dijuluki sebagai sosok tangguh; diberikan predikat sebagai kepala rumah tangga.

Sampai teka-teki malah tersusun di dalam benakku belum terbuka semua. Sambil kurapikan letak berdiriku. Tiba-tiba lelaki di sampingku berkata.

"Benar apa yang dikatakan tentang setiap manusia bebas berpijak di atas bumi ini".

"Lalu apa yang menjadi masalah?" tanyaku padanya.

Malah ia mendiamkan diri sekitar lima menit. Sambil menarik napas panjang ia berkata. "Tak ada yang harus dipermasalahkan. Kalau teka-teki dalam pikiranmu belum semuanya terjawab, maka kekuasaan gunda masih setia di pihakmu."

Sebenarnya siapa gerangan lelaki misterius ini? Kenapa ia begitu bijak dan seolah puitis dalam memilih diksi? Apakah ia pernah bertemu dan tahu tentang kepribadianku? Kalau memang ia tahu, maka tak mungkin membuat diriku semakin penasaran. Kuberanikan diri di lingkaran aku dan dia.

"Siapa namamu?"

"Perkenalkan namaku Fajrin. Sering disapa dengan Rin."

Tapi tak kugubris perkataannya dalam percakapan. Sebab insial nama depannya mampu kutebak kalau Rin sementara merahasiakan nama aslinya.

Bagaimana tidak? Banyak kesamaan antara Fajrin dan Fajar. Mulai dari cara bertutur; pemilihan kata sampai cara menenangkan seorang perempuan dalam keadaan ketakutan. Apalagi malam semakin larut yang tak kutemukan bintang-gemintang di langit-langit bulat. Bintang yang sebagai lambang segi lima berujung selaras. Malam ini benar-benar tak bersahabat dengan detak-detak jiwa dan kegelisan hati.

Padahal kuharapkan rembulan datang bersama dengan sebuah jawaban yang tak dibalut dengan kebohongan. Karena kebohongan adalah sebuah hal yang tak baik. Apabila kebohongan tak dilarang, maka dengan mudah setiap manusia berucap tanpa ada kata ketakutan. Ketakuatan karena dihukum, mau pun ketakutan karena mendapatkan dosa. Sebab hidup adalah sebuah pernapasan sementara untuk menghirup dan menabung bekal menuju arah hidup yang kekal. Yaitu hidup yang telah digariskan oleh Tuhan melalui kitab suci.

Seharusnya sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna, dalam keadaan apa pun harus menimbang segala yang akan datang. Baik itu ulangan masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Tapi banyak yang tak lelah mensyukuri atas pristiwa-pristiwa yang datang menghampiri. Kalau pun yang datang adalah kebaikan, maka harus diterima dengan lapang dada. Tapi ketika yang tiba adalah keburukan atau pun kejahatan, maka diambil hikmah atas pristiwa yang menimpah.

Ketika tepat pukul sepuluh dua puluh tujuh malam Jumat, lekas kupamitkan diri dari tempat nyasar yang dilarang oleh Fajrin. Kusapu muka karena sedikit debu yang menempel, maka hati kecilku mengajak untuk bersemayam dalam perlindungan rumah.

"Rin...!!!"

"Iya Linn. Ada apa?"

"Terima kasih atas pertolonganmu. Kelak di lain waktu akan ada kebaikan menimpahmu."

"Memangnya Linn mampu menerjemahkan masa yang akan datang?"

"Bila yang kuterjemahkan adalah kesalahan Rin, maka gantikanlah caramu untuk menilai. Biar tak ada kesalahan yang datang berkali-kali menimpah dirimu."

Kusodorkan tanganku yang sedikit kotor bekas debu tempatku jatuh.

"Sampai ketemu di lain waktu Rin. Setidaknya pertolonganmu mampu membuatku kuat".

Dengan kaget balasan bahasa Fajrin. "Tak ada lagi pertemuan di lain waktu."

"Kenapa bisa?"

Jawab Fajrin. "Karena ketika waktu menemukan kita berdua, maka akan kugantikan lagi siapa diriku yang sebenarnya."

"Siapa kamu sebenarnya Rin?"

"Akulah Fajrin."

"Pulanglah Linn. Malam telah larut. Atau haruskah kuantarkan menuju rumah surgamu?

"Biarkan kupulang sendiri. Tapi hari ini Rin. Dirimu telah menitipkan noda hitam dalam bentuk bahasa. Karena tertuang jelas dalam kata-kata yang terbata."

Ketika kaki melangkah pulang tanpa memberi salam. Terdengar suara panggilan dari arah belakang pundakku.

"Linn..!!!"

Kumenoleh perlahan, sempat terlihat Rin mengangkat tangannya.

"Kenapa Rin?"

"Tak ada apa-apa Linn. Hati-hatilah dijalan. Sebab kuberanikan diri untuk mengantar. Tapi penolakan niat dilimpahkan untuk diriku."

Jantungku bergetar dengan laju mengalahkan langkah kakiku yang sempat terhenti. Tapi kepercayaan diri sudah dimenangkan oleh keberanian atas percakapanku dengan Fajrin. Maka jalan panjang masih setia berdamai untuk menemani malam-malam panjangku. Setidaknya bertahan adalah sebuah pilihan hidup yang mulai kuamalkan secara perlahan. Biar kutumpuk akan menjadi kenangan indah di hari tua.

Gila memang ini hidup. Sebuah kejujuran akan sulit diraih, kalau tak ada pancingan untuk membuka diri. Apalagi keterbukaan sudah ditancapkan dengan berani, tapi seolah persembunyian masih terus berlaku kaku. Hingga tak mampu kumembedakan antara Fajar dan Fajrin.

Fajarnya pergi tanpa kembali dengan balasan kata-kata terakhir. Ia adalah lelaki yang kukenali dari pertemuan pada dialog idologis di warkop Pa'de. Lalu kuakui kejujuran cinta dalam bahasa chatt. Tapi tak mudah hatinya luluh dengan ungkapan-ungkapan kejujuran. Entah apa yang ia cari sebagai seorang lelaki pejuang.

Berbeda dengan Fajrin. Lelaki misterius yang kutemui di tempat larangan. Kemudian kumaknai jelmaan dirinya sebagai sosok Fajar yang merahasiakan namanya. Jika benar Fajrin adalah Fajar, maka romantika masih terus berlanjut; percaturan hidup masih harus dimenangkan oleh pion dan raja-raja kecil dan kotak hitam dan putih.


Makassar
Kamis, 17 Mei 2018
By: Djik22

Komentar

Populer

FILOSOFI DAUN PISANG

Harapan dan mimpi dari setiap kepala tidak semua terpenuhi dengan usaha dan praktik. Tapi masih membutuhkan untuk saling dekat dan merespon segala polomik. Di masa yang akhir ini, perutmu telah melahirkan bayi yang masih merangkak dipaksa berjalan di kerikil jalan persimpangan. Dari rawat dan buaian, telah membuka mata batin, mengevaluasi adalah jalan yang tepat. Karena kurangnya menilai dari setiap sisi. Sehingga lahir dua persimpangan kiri kanan jalan. Mata telah terang, langkah sudah tepat, bersama sudah terpupuk, kesadaran mulai bangkit. Berdiri dan bergerak. Saatnya cahaya jadi penerang. Titipan amanah 20 21 11 14 jadi bahan belajar bersama. Filosofi "Daun Pisang dan Bidikan Panah yang Tepat" telah ditemui jawaban dan makna yang dalam. Dia bukan sekedar kata, tapi dialah nyawa setiap yang di dalam. Makassar, April 2017 By: Djik22

TOGAKU TAK IBU SAKSIKAN

Perjuanganmu ibu Mengantarkanku meraih mimpi Mataku lembab berhari-hari Setiap saat mengingat ibu Harapan ibu Aku tetap kuat Aku tetap melaju Tapi ibu Saat bahagiaku Takku tatap lagi ibu Wajah bersinar hadir dalam mimpiku Kala itu ibu Ibu Toga dan pakian kebahagiaanku Semua untuk ibu Togaku tak ibu saksikan Karena ibu telah tiada Yakinku ibu senyum melihatnya Tetap tersenyum di sisiku ibu Dua puluh tiga November dua ribu tiga belas Dua kali dengan angka tiga Ibu telah berbaring bergegas Makassar Minggu, 1 Oktober 2017 By: Djik22

PERLUKAH JEMBATAN PALMERAH?

Sedikit menggelitik, ketika wacana pembangunan jembatan Palmerah. Wacana ini, hadir di beberapa tahun terakir. Di tahun 2017, tidak kala seksi pendiskusian jembatan Palmerah. Maka muncullah pro dan kontra. Padahal merefleksikan wacana ini sangat penting. Kenapa Wacananya Jembatan Palmerah? Mari kita menganalisa secara seksama. Pertama, jembatan Palmerah adalah sejarah pertama di Indonesia bila terbangun. Karena menyambungkan dua pulau, yaitu Pulau Adonara dan Pulau Flores (Larantuka). Jarak jembatan Palmerah dengan panjang bentangan 800 meter akan dipasang turbin 400 meter. Kedua, persoalan proses pembangunan jembatan Palmerah dibutuhkan dana tidak sedikit. Diperkirakan dana mencapai Rp. 51 triliun. Hal ini, perlu dipikirkan. Karena Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi NTT pada tahun 2016 hanya mencapai Rp. 3,8 triliun. Sama halnya pemerintah mengajak kita mengutang dengan investor (swasta). Ketiga, jembatan Palmerah bukan proses meninabobokan masyarakat Flores Timur

ADONARA DALAM PUISI

Petuah kata sejarah Masih temani kaki untuk melangkah Dalam bayang-bayang ibu kuatkan hari Dalam jelmaan ayah pancarkan cahaya hati Hingga tebal awan kota Ingatkan suasan desa Dihimpit berdiri megahnya Ile Boleng Didekatkan Bukit Seburi tanah kampung Karena kitalah gunung yang berdiri Karena kitalah bukit yang menyapa Membawa bisikan bahari Ketika menghadap ke arah pantai Sampai kata dan petuah terus mengikut Wariskan api dari generasi ke generasi Tentang pentingnya menjaga kata Tentang indahnya memakai tenun ikat Maka... Tak kulupakan petuah indah dan keramat Tak kuingkari segala kata-kata bernyawa Di atas alam ditaburi darah dan air mata Karena air mata Bukan hanya tentang tangisan Bukan hanya tentang derita tanpa rasa Namun air mata darah tanda perjuangan Maka... Untuk mengingatmu yang di gunung Untuk mengenangmu yang di pantai Aku mengisi kata-kata lewat puisi Karena darah dan bisikan kata terus diasa Biar perang telah terganti buka dan pena

ANTARA (576)

Sering ada perbandingan pada kata 'antara' ketika diapit oleh kalimat. Antara kau dan aku ternyata banyak perbedaan, antara kau dan dia memiliki banyak kesamaan. Antara pacar dan mantan adalah orang yang pernah berlabu dan sementara bertahan. Baik terkandas di tengah jalan, mau pun mampu melewati batas getir yang melampau kesabaran. Namun, pada kata 'antara' seolah jadi misteri yang tersembunyi. Serupa kolom kosong yang disembunyikan dengan untain doa. Lalu, dipercaya menjadi sebuah legenda atau mitos. Bagaimana sesuatu yang dipercaya tapi tak pernah diinderai? Apakah setan yang berpenampilan putih pada malam Jumat hanya menakut-nakuti? Kemudian muncul pertanyaan, siapa yang menjahit pakian putih yang dipakai setan? Ulasan ini, aku dapati saat duduk di bangku SD. Sang guru selalu menakut-nakuti pada setiap siswa. Bahwa malam Jumat selalu ada tanda ketika melewati tempat-tempat gelap. Saat itu, aku dan kawan-kawan sebayaku selalu percaya. Namun, batang hidung p

KARYAMU TETAP MEMIKAT

Foto: Abdul Rahim (Khalifah05) Ketika doa-doa Telah kau panjat Dengan lemah-lembut Pada Tuhan Yang Esa Tak lupa pula Pintamu Pada para pendahulu Dengan merinding bulu-bulu Begitu dalam penghayatan Bersama angin Bersama waktu Bercampur masa lalu Maka... Yakin pun mendalam Tak secuil akan buram Tampak pada kaca belaka Namun ia selalu melekat Selalu mempererat Antara roh dan jasat Hingga karyamu tetap memikat Makassar Jumat, 21 September 2018 By: Djik22

PEMUDA SAHABAT PERUBAHAN (397)

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ragam perbedaan. Baik suku, ras agama, budaya, dan corak berpikir. Inilah bagian kekhasan dari bangsa ini. Dengan kekhasan tersebut, maka tak heran bangsa Indonesia dikenal dengan kemajemukan dan menjujung tinggi perbedaan. Sebab perbedaan adalah varian dari semangat menuju persatuan. Belum lagi menerobos batas wilayah yang terdiri dari beberapa provinsi. Perlu kita menelisik lebih jauh lagi tentang bagaimana membangun tatanan bangsa. Supaya mampu keluar dari zona ketertinggalan. Ternyata, ketertinggalan adalah salah satu masalah dari apa yang dirasakan setelah revolusi Indonesia didengungkan. Walau merdeka secara pengakuan sudah memhudata sampai ke telinga anak cucu. Tapi pertanyaan besar yang harus dijawab, Kenapa merdeka secara praktik/ penerapan jauh panggang dari api? Ketika secara penerapan dalam kehidupan berbangsa mulai melenceng dengan dasar negara, maka harus kembali mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang telah diletakan oleh